Kesalahan Besar 2 (POV Dimas)

3K 144 1
                                    

Dada Ning terlihat turun-naik karena menahan emosi. Namun hal itu justru membangkitkan sesuatu di dalam sini. Sesuatu yang sebenarnya sangat kuinginkan darinya sebagai seorang suami.

"Apa?" tanyaku, menatap kedua mata Ning yang biasanya teduh itu. Tapi untuk malam ini, tak kulihat lagi di sana. Hanya sorot amarah penuh benci yang terpancar.

"Kembalikan bantal dan gulingku, Mas!"

Ning bahkan mulai berani lantang sekarang. Apakah rasa cemburu benar-benar bisa merubah watak dan kebiasaan seseorang?

"Kalau aku tidak mau, kau mau apa?" tanyaku dengan sikap menantang. Tapi alih-alih mengamuk, Ning justru mendengkus kesal, lalu kemudian berbalik mengacuhkanku.

'Sial!' Aku memaki kesal kala melihat gadis itu nekat tidur tanpa bantal dan gulingnya di atas karpet.

Oh, sepertinya aku punya ide dengan karpet itu besok. Akan kubuang tentunya.

Sesaat aku hanya terdiam. Frustasi sendiri bagaimana cara membuat Ning reda amarahnya dan kembali menjadi gadis yang penurut. Seperti biasa, seperti seharusnya.

Dering suara ponsel mengagetkanku yang baru saja hendak turun mendekati Ning.

Oh, sial lagi. Nama Kia yang muncul di layar. Apa dia benar-benar akan ke sini karena aku tak menepati janji untuk menemuinya malam ini di hotel tempatnya menginap?

Sedikit sesal menyusup di hati, kenapa aku bisa melakukan kesalahan dengan menyambut godaan yang disodorkan Kia? Harusnya aku bisa lebih menahan diri tadi.

Namun, sebagai lelaki normal yang sudah sekian lama tak pernah merasakan sensasi seperti tadi, tentu undangan Kia tersebut terlalu sulit untuk kutolak.

Ya. Aku memang lelaki dengan kadar keimanan selemah itu.

Aku langsung saja beranjak turun dan mengabaikan panggilan Kia. Tanpa basa-basi aku segera menarik tangan Ning yang sudah memejamkan mata.

"Mas!" jeritnya terkejut karena aku tiba-tiba merenggut paksa tangannya, kemudian menariknya ke atas ranjang.

"Mas!" Ia kembali berseru saat kuhempas tubuhnya dengan kasar di situ.

"Kau jangan memancingku berbuat kasar, Ning. Aku ini suamimu, harusnya kau tahu kalau seorang istri itu wajib menuruti apa kata suami!"

Aku berkata dengan napas yang sedikit terengah. Gabungan antara rasa marah juga kecewa yang sebenarnya kutujukan pada diri sendiri.

Ning terisak-isak sambil menutup wajahnya. Sepanjang aku mengenalnya, baru kali ini kulihat Ning seperti itu. Dan seketika saja, tangisan perempuan ini, membuat segenap rasa di hati pun luruh sepenuhnya.

Kuusap wajah hingga kepala dengan gerakan kasar. Seakan dengan begitu aku juga bisa menyapu bersih rasa berdosa yang terus menggelayut di dada ini.

"Ning ...," ucapku pelan.

Kali ini kucoba merengkuh tubuhnya dalam dekapan. Ning diam, tidak menolak tapi tidak juga menyambut. Pasrah saja saat kurengkuh.

Hanya kemudian sebaris kalimat keluar dari bibirnya. Sebaris kalimat yang membuatku beku sekaligus luruh ke tanah.

"To-tolong ... tolong pulangkan Ning ke ibuk, Mas. Ning mau pulang ...." Ia berkata di tengah isaknya, hingga suara pun terdengar tersendat-sendat.

Mendengar pintanya yang menyayat tersebut, aku justru makin mengetatkan pelukan. Tiba-tiba saja aku merasa takut kehilangan, dan tak ingin melepaskan.

"Ning, jangan bicara begitu, Ning. Pulang kemana? Di sini rumahmu." Aku berupaya membujuknya dengan hati bergetar tak karuan.

Kurasakan kepala Ning menggeleng di dalam rengkuhan.

MEREBUT HATI SUAMIKU [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang