(POV Dimas)
Kedua mata itu mengerjab pelan dengan bibir basah yang setengah membuka. Bagai melihat sebuah gerakan slow motion, aku merasa terkesima saat kelopak mata Ning yang dalam itu mengedip untuk kemudian membuka lagi.
Pesona wanita ini ... ada pada matanya.
Segera kulepaskan bahu Ning ketika wajahnya mengernyit seperti sedang kesakitan. Mungkin aku terlalu kencang mencengkeramnya tadi, seakan dengan begitu, aku bisa menghapus jejak tangan Panji di situ.
"Maaf," gumamku lalu meninggalkan Ning menuju kamar mandi.
***
"Dimas, Panji, Ning, besok Ibu akan berangkat ke Jakarta. Sepupu kalian, Lestari, melahirkan. Nggak enak kalau Ibu nggak datang nengok." Ibu berkata saat kami semua sudah berkumpul di ruang makan.
"Berapa lama, Bu?" Panji bertanya.
"Mungkin sekitar tiga atau empat hari. Tergantung lah nanti. Sekalian Ibu mau ngecek toko yang di Mangga Dua," jawab Ibu.
Ibu memang membuka usaha jual beli pakaian jadi di sana, yang dikelola oleh salah satu saudara jauh ibu.
"Dimas," panggil ibu.
"Ya, Bu?" sahutku sambil menunggu Ning mengambilkan makanan untukku.
"Selagi Ibu ndak di rumah, kamu jaga Ning baik-baik lho ya?" kata ibu.
"Ya emangnya mau kemana toh Bu, sampai perlu dijaga segala. Wong si Ning juga di rumah aja," sahutku.
"Ning." Ibu beralih pada Ning, mengacuhkan sahutanku barusan.
"Kamu kalau ada apa-apa, telepon Ibu, ya?" Ibu berkata pada Ning.
"Sebenarnya yang anak Ibu itu aku apa Ning sih, Bu?" gerutuku sebelum mulai menyuapkan nasi ke mulut.
***
"Ning, berenang yuk."
Spontan mataku melirik tajam ke arah Panji yang tampaknya sengaja memanas-manasi.
Ini memang hari Minggu. Jadi baik aku maupun Panji tak ada yang pergi bekerja seperti biasa.
Ning yang sedang menyemproti tanaman anggrek milik ibu, menggeleng menolak ajakan Panji.
"Ning ndak bisa berenang, Mas Panji."
"Nanti aku ajarin."
Telinga ini makin kupasang tajam sembari berpura-pura sibuk dengan ponselku.
"Ndak apa-apa, tah?" Ning merespon Panji.
'Sialan.'
"Ya ndak apa, dong. Yok Ning, pagi-pagi gini enak berenang. Seger." Kudengar Panji menjawab. Sepertinya memang ingin cari gara-gara.
"Kalau gitu Ning ijin sama Mas Dimas dulu, njih?"
"Ya udah, sana."
Melalui ekor mataku, dapat kulihat sosok Ning yang melangkah mendekat.
"Mas Dimas__"
"Tidak boleh." Belum sempat gadis itu menyelesaikan kalimat, sudah kuberi ia jawaban skakmat.
Kudengar Panji tergelak di ujung sana. Terlihat puas berhasil mengerjaiku.
Bocah edan.
"Ning kan belum selesai ngomong, Mas." Ning memprotes.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEREBUT HATI SUAMIKU [TAMAT]
RomanceSebuah pernikahan beda kasta yang penuh lika-liku. Sanggupkah Ning meluluhkan hati suaminya, atau ia justru memilih melabuhkan hati pada yang berkenan menerima?