Hati Yang Patah (POV Author)

2.6K 111 2
                                    

"Rumah kok sepi, Bu? Ini makan malamnya cuma kita berdua, nih?" Panji melempar tanya pada Bu Wina. Matanya memandang berkeliling, mencari-cari sosok Ning yang biasanya selalu membantu Mbok Nah menyiapkan makan.

"Ning kemana ya, Bu? Kok nggak kelihatan dari tadi? Apa jangan-jangan lagi sakit?"

"Panji ...." Bu Wina menggantung ucapan sesaat. Menatap dalam pada permata hatinya itu, sebelum akhirnya menghela napas panjang.

"Apa toh, Bu? Kok malah bikin orang deg-degan?" tanya Panji dengan dahi berkerut dalam.

"Ning sama Dimas lagi ke Bali. Mereka lagi bulan madu, Le."

Penjelasan ibunya barusan membuat hati lelaki muda itu terasa diremas nyeri. Luka tapi tak berdarah, kalau orang bilang.

Detik kemudian, Panji hanya tersenyum kecut, lalu dengan lesu tangannya mulai bergerak mengambil makanan di atas piring. Mendadak ia kehilangan selera makannya, membayangkan sedang apa Ning di seberang sana bersama Dimas.

Bu Wina pun bukannya tak peka. Jelas ia menyadari perubahan suasana hati sang putra yang tiba-tiba. Tapi ia pun tak tahu harus berkata apa.

Keduanya makan dalam hening. Sesekali Panji menatap tempat kosong di depannya, di mana Ning biasanya selalu duduk di situ. Kadang tersenyum, kadang tertunduk malu saat pandangan mereka saling bersirobok saat makan.

"Loh, kok sudah, Nji? Itu nggak dihabisin?" protes Bu Wina ketika Panji tiba-tiba meletakkan sendok dan garpu ke atas piring.

"Sudah kenyang, Bu," jawab Panji singkat, kemudian bergerak memundurkan kursi yang didudukinya untuk kemudian segera bangkit berdiri.

"Panji?" panggil Bu Wina.

"Panji mau ke kamar, Bu. Mau istirahat." Panji melempar senyum terpaksa sebelum akhirnya meninggalkan ibunya sendirian di ruang makan.

Di dalam kamarnya, Panji duduk di depan meja multifungsi yang biasa digunakan untuk bekerja.

Sambil membayangkan Ning, lelaki itu sekaligus menikmati tikaman rasa sakit yang menerjang hingga ke ulu hati.

Kadang ingin menyalahkan takdir, kenapa Tuhan tak menjadikan Ning sebagai miliknya. Namun tak jarang Panji justru menyalahkan diri sendiri, kenapa harus melabuhkan rasa pada gadis itu dan sangat susah untuk move on karena rasa itu telah telanjur mengakar.

Tok tok tok!

Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunan Panji.

"Masu!" serunya, karena tahu pasti itu ibunya yang mengetuk. Sebab tak pernah ada orang lain yang mengetuk pintu kamarnya.

Kecuali ... Ning. Tapi itu dulu, saat mereka semua masih merupakan bocah-bocah. Ning menemui Panji hanya untuk mengajaknya bermain bersama.

Cklek.

Pintu terbuka.

Dan tepat seperti Panji, wajah ibunya lah yang tersembul di balik pintu yang celahnya terbuka sedikit.

"Boleh Ibu masuk, Le?" tanya wanita itu basa-basi pada sang putra yang tengah membalas tatapannya.

"Monggo, Bu. Masa ndak boleh," sahut Panji. Berusaha tersenyum untuk menutupi mendung di hatinya.

Bu Wina melangkah masuk, kemudian menutup kembali pintunya. Wanita itu duduk di tepian ranjang Panji, menatap lurus ke arah putranya.

"Ada yang ingin Ibu bicarakan denganmu, Le," ujar Bu Wina setelahnya.

"Tentang apa, Bu?"

"Hmm ... tentang perjodohan, Le. Ibu ingin menjodohkanmu dengan Arum, anak gadis Pak Wira. Kamu tahu toh, yang mana anaknya?" jawab Bu Wina hati-hati.

MEREBUT HATI SUAMIKU [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang