"Kau ini Ning_"
Aku pun tak jadi melanjutkan kata saat melihat tatapan mata Ning yang tak biasa. Bukan sorot malu-malu apalagi takut seperti biasa yang ia tunjukkan kali ini. Melainkan sorot tegas yang terpancar dari kedua manik matanya yang berwarna hitam pekat bagaikan langit malam.
"Sudahlah," ujarku akhirnya. Mengakhiri perdebatan yang tak penting di antara kami.
Ning hendak berlalu, dan aku buru-buru memanggilnya sebelum ia pergi.
"Ning."
Gadis itu segera berbalik, sigap seperti biasa tiap kali dipanggil.
"Njih, Mas?"
"Duduk di situ," kataku, menunjuk kursi di seberang meja dengan dagu.
"Tapi Ning mau jemur cucian, Mas."
Aku mendecakkan lidah karena kesal.
"Di rumah ini sudah mempekerjakan banyak asisten rumah tangga, Ning. Berhentilah memperlakukan dirimu sendiri seperti mereka. Tugasmu adalah melayani suami," tukasku dengan nada sewot.
"Duduklah di situ dan jangan kemana-mana sampai aku mengijinkanmu beranjak dari situ." Aku berkata lagi.
Ning tak mengatakan apa-apa, hanya mengerjakan perintahku dengan bibir terkatup rapat.
***
"Apa? Ke Bali?" Ibu tampak terkejut ketika kuutarakan keinginan untuk membawa Ning pergi liburan ke Pulau Dewata yang terkenal itu.
"Njih, Bu. Lagipula, dari semenjak menikah kan, kami berdua belum pernah kemana-mana berdua." Aku mencoba memberi alasan karena kupikir mungkin ibu akan keberatan dengan niatku ini.
Tapi tanpa diduga ibu justru tampak semringah dan menepuk lenganku lembut beberapa kali.
"Pergilah, Dimas. Ajak istrimu bersenang-senang. Semoga dengan perjalanan kalian kali ini, bisa bersemayam calon cucu Ibu di rahimnya."
Aku pun tak dapat menahan senyum lebar di bibir. Ternyata Ibu sangat mendukung rencana ini.
"Kapan kalian akan berangkat, Le?" tanya ibu kemudian.
"Mungkin lusa atau beberapa hari ke depan, Bu. Setelah Dimas merampungkan beberapa pekerjaan di perkebunan dulu," jawabku.
"Ning sudah tahu?"
"Belum, Bu. Tapi dia biasanya juga tak pernah keberatan tiap Dimas mengajaknya kemana pun," jawabku lagi.
"Ya sudah. Ibu senang sekali kalau kalian harmonis begini, Le. Sejatinya pasangan suami istri harus saling mencintai dan menyayangi. Saling menjaga perasaan, dan jangan mudah jatuh dalam godaan."
Aku tahu, dalam kalimat nasehatnya barusan, ibu menyelipkan sebuah sindiran untukku. Ini pasti berkaitan dengan Kia.
Hfft.
"Njih, Bu. Dimas janji, yang kemarin nggak akan terulang lagi, kok. Dimas juga sudah menegaskan pada Kia untuk tidak menemui Dimas lagi."
"Bagus." Sebuah senyum lebar pun merekah di bibir Ibu.
***
"Ke Bali, Mas? Kita mau ngapain memangnya ke sana? Di mana itu Bali, Mas?"
Ning langsung memberondong dengan pertanyaan begitu kubicarakan niatku ini padanya.
Tidak, tidak. Bukan membicarakan, melainkan memberitahu Ning tepatnya. Dan tentunya dia harus setuju dengan ideku ini, bukan?
"Mau ngapain? Kau lupa kalau Ibu ingin segera punya cucu darimu? Dari kita, Ning."
KAMU SEDANG MEMBACA
MEREBUT HATI SUAMIKU [TAMAT]
Любовные романыSebuah pernikahan beda kasta yang penuh lika-liku. Sanggupkah Ning meluluhkan hati suaminya, atau ia justru memilih melabuhkan hati pada yang berkenan menerima?