POV Arum
Sempat terpejam, namun kemudian mataku membuka ketika Panji tiba-tiba melepas ciumannya. Sorot mata itu nanar menatap wajahku, terlihat ... entah.
Rasa yang tadi menggelora mendadak lenyap seketika tatkala lelaki itu bergerak menjauh, menciptakan jarak yang tadinya tiada.
Jujur, harga diri ini terluka.
"Istirahatlah, sudah malam, Rum." Ia berkata dengan nada datar. Seolah yang barusan terjadi bukanlah apa-apa, pun tak berarti apa-apa. Baginya, namun tidak bagiku.
Membenahi rambut yang sedikit berantakan, aku naik ke peraduan. Tanpa bicara, aku berbaring di atas ranjang berlapis satin selembut sutera berwarna merah.
Panji bergerak menuju dinding, lalu kudengar suara kecil bersamaan dengan padamnya cahaya kamar, berganti temaram yang berasal dari bohlam kecil di atas sandaran tempat tidur kami.
Dalam keremangan cahaya, aku meringkuk. Memeluk tubuh sendiri dengan erat, menahan gemetarnya tubuh sebab menahan tangis.
Airmataku meleleh dalam hening, perasaan ditolak ternyata memang menyakitkan. Aku nelangsa di malam pertama.
Detak jam yang terpasang di salah satu dinding kamar ini menjadi satu-satunya ritme yang terdengar.
Aku tahu, Panji belumlah tidur. Ia juga berbaring dalam diam, tanpa suara. Entah apa yang dia pikirkan, menyesali perbuatannya tadi, mungkin.
Malam ini terasa sangat panjang, karena kulewatkan dengan denyut kesakitan di dalan sini. Kuusap sisa airmata yang telah berhenti mengalir.
Ah, ini baru permulaan. Bukankah jalan kami masih panjang? Ibarat sebuah kapal, kami bahkan belum berlayar. Masih jauh untuk dari tujuan yang terletak di seberang sana.
Tapi bagaimana pun, aku tidak boleh menyesal. Bukankah aku sendiri yang menyanggupi segala konsekwensinya sebelum kami nekat memutuskan lanjut ke jenjang pernikahan?
Malam terus bergulir hingga pagi menjelang. Aku terbangun dengan kepala yang sedikit nyeri. Mungkin efek kurang tidur semalam, aku sendiri tak pasti jam berapa aku jatuh terlelap.
"Sudah bangun?"
Tahu-tahu Panji berdiri di ujung ranjang. Sepertinya ia baru habis mandi. Aku menatap padanya. Bibir lelaki itu membingkai senyum, yang kubalas dengan segaris tipis lengkungan di bibir.
Perlahan dia mendekat, aku beringsut sedikit supaya ia bisa duduk di tepi.
"Maafkan aku tentang semalam, Rum," ujarnya pelan. Satu tangannya bergerak menyibak helai rambutku yang jatuh ke wajah.
"Aku tak apa, Nji," jawabku.
Membohonginya, juga diri sendiri.
"Sungguh?" Ia seakan sangsi dengan jawaban yang kuberi. Memangnya aku harus bilang apa? Haruskah kukatakan padanya bahwa harga diriku sebagai wanita merasa terluka?
Atau apakah aku harus bilang padanya sebagai istri aku juga berhak atas nafkah batin yang seharusnya ia berikan semalam?
Pendar di matanya sedikit meredup, mungkin menyadari jawaban yang sebenarnya ingin kukatakan? Entahlah.
***POV Panji
Jangan ditanya bagaimana perasaanku setelah melewati malam yang begitu menyiksa semalam. Aku tahu bukan hanya aku yang tersiksa, tapi juga Arum. Bahkan mungkin lebih dari yang aku rasakan.
Sebagai suami, aku sadar telah mengabaikan haknya sebagai istri. Tapi andai dia tahu, aku begini hanya untuk 'menjaganya'.
Tak ingin Arum lebih terluka setelah aku menyentuhnya, tapi hatiku masih belum juga terbuka untuk menerimanya. Itu akan lebih tak adil lagi untuk Arum.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEREBUT HATI SUAMIKU [TAMAT]
RomanceSebuah pernikahan beda kasta yang penuh lika-liku. Sanggupkah Ning meluluhkan hati suaminya, atau ia justru memilih melabuhkan hati pada yang berkenan menerima?