Takdir

1.4K 66 0
                                    

POV Dimas

"Siapa yang menaruh amplop cokelat meja kerja saya?" tanyaku pada Rita dengan dada gemuruh.

Gadis itu buru-buru menutup ponselnya dan berjalan ke arahku.

"S-saya, Pak. Tadi, ada orang yang mengantar ke sini, dan nitip itu buat Pak Dimas katanya," jelas Rita dengan wajah ketakutan.

Aku mendengkus keras mendengar jawabannya.

"Perempuan atau laki-laki yang mengantar?" tanyaku lagi.

"L-laki-laki, Pak."

Aku menggeram dengan tangan terkepal. Ulah siapa lagi kalau bukan Handoyo bajingan itu. Apa sih maunya? Sepertinya ia sangat mendendam padaku gara-gara kejadian kemarin.

"Ya sudah, lanjut kerja lagi sana. Jangan telponan terus, atau sekalian saja kamu keluar dari sini!"

"Ba-baik, Pak." Rita buru-buru berbalik dan kembali ke tempatnya. Sedang aku langsung menutup dengan keras, meninggalkan bunyi berdebam di belakangku.

Dengan gusar, kurobek-robek amplop berwarna coklat itu bersama isinya. Perasaanku geram bukan kepalang.

Tak membuang-buang waktu, segera aku merogoh saku untuk mengambil ponsel. Akan kumaki-maki jahanam itu sekarang juga.

"Ada apa kau menelepon, pak Dimas yang terhormat," suara penuh nada sindiran itu menyambut pada deringan ke tiga.

"Apa maksudmu mengirim foto-foto ini ke kantorku, hah?! Apa maumu?" sergahku kasar. Langsung saja ke pokok tujuan, tak perlu lagi berbasa-basi.

"Ha ha ha. Sudah kau terima rupanya. Bagaimana? Kau suka?" tawa Handoyo benar-benar terdengar memuakkan.

"Kau bajingan tengik. Berani-beraninya kau!"

"Kenapa kau marah-marah? Itu belum seberapa, Dimas. Sebentar lagi, namamu akan segera viral di kalangan para pengusaha. Kita lihat, sejauh mana perkebunanmu itu bisa bertahan tanpa para investor yang pastinya merasa jijik padamu. Ha ha ha!"

Dada ini seakan hendak meledak rasanya. Andai ia sekarang ada di hadapanku, tentu sudah kurobek-robek mulutnya yang kurang ajar dan sesumbar itu.

"Kenapa diam? Kau mulai takut, sepertinya," ejek bandot tua itu.

"Coba saja kau lakukan. Kau akan tau berhadapan dengan siapa." Aku mencoba balas mengintimidasinya, namun ternyata tak mempan.

"Tentu saja aku tau sedang berhadapan dengan siapa. Bocah mesum yang pura-pura alim di depan istrinya. Hah!"

"Kalau kau berani, hadapi aku secara langsung, Handoyo. Bersaing secara fair dalam bisnis, bukan dengan cara busuk seperti yang sedang kau lakukan saat ini." Aku berkata dengan emosi yang nyaris tak terkendali.

"Harusnya kau mengenalku dulu sebelum melakukan tindakan bodoh seperti kemarin, Dimas. Sekarang kau tahu kan, bagaimana rasanya dipermalukan? Asal kau tahu saja, aku tidak akan berhenti sebelum kau benar-benar hancur!"

Selesai bicara, Handoyo langsung memutuskan hubungan telepon sepihak.

Dasar pengecut! Beraninya cuma main dengan cara licik. Ingin sekali kuhabisi nyawa bandot tua itu dengan cara paling sadis supaya menjadi contoh bagi orang-orang yang telah membantunya mendapatkan foto-foto tadi.

***POV Panji

Tepat pukul lima sore, aku tiba di kediaman keluarga Arum. Belum sempat aku turun, gadis itu sudah duluan menghampiri dan membuka pintu mobil.

MEREBUT HATI SUAMIKU [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang