(POV Author)
Sekembalinya dari kamar mandi, Ning pun kembali ke peraduan. Dilihatnya Dimas sudah meringkuk di atas kasur dengan posisi menghadap ke arah kanan.
Sepelan mungkin Ning naik ke atas pembaringan. Berusaha untuk tidak menimbulkan suara, karena ia takut hal itu akan membuat suaminya terbangun lalu mengajaknya melakukan seperti yang tadi mereka coba lakukan.
Jujur saja, Ning sangat takut dan terkejut ketika rasa sakit terasa menyengat di bagian bawahnya. Gadis desa yang polos dan lugu tersebut masih belum memahami arti kecewa seorang suami yang gagal mendapatkan hak batinnya.
Lamat-lamat suara hujan di luar kini hanya menyisakan suara gerimisnya saja. Mata Ning masih enggan untuk terpejam, sedang debaran di dadanya masih terasa.
Seumur hidupnya, Ning tidak pernah diperlakukan seperti tadi oleh lawan jenis. Hanya Dimas lah yang pertama kali melihat dan menyentuh tubuh Ning seperti tadi. Mengingatnya, kembali Ning jadi merinding sebadan.
***
Pagi menjelang, Ning terbangun saat alarm pada ponselnya berdering nyaring di dekat telinga, karena dia meletakkan benda kecil tersebut di samping bantal tidurnya.
Tak hanya Ning yang terbangun, tapi Dimas juga. Lelaki itu menggerutu tak jelas, merasa tidurnya terganggu oleh suara berisik yang berasal dari ponsel istrinya.
Dengan cepat Ning menyambar benda kecil tersebut, kemudian mematikan alarm yang bunyinya memang serasa memekakkan telinga.
"Maaf Mas," ucap Ning pelan, kemudian buru-buru bangkit dan turun dari tempat tidurnya.
***
"Mana suamimu, Ning?" tanya Bu Wina begitu ia memasuki ruang makan. Ning dan Mbok Nah sedang menyusun sajian sarapan di atas meja.
Panji terlihat menyusul di belakang ibunya.
"Masih tidur mungkin, Bu. Habis ini Ning bangunkan." Ning menjawab pertanyaan ibu mertuanya.
"Nggak perlu, Sayang. Aku sudah bangun."
Semua serentak menoleh ke asal suara. Dimas tahu-tahu sudah muncul di ruang makan. Ia pun terlihat sudah tampil necis dengan rambut sedikit basah yang disisir rapi.
Mengabaikan tatapan ibu dan adiknya, Dimas langsung menghampiri Ning, kemudian mengecup sekilas pelipis istrinya tersebut.
Wajah Ning sontak menjadi semburat merah di kedua pipinya, karena mendapat perlakuan seperti itu oleh Dimas di depan ibu mertua dan anggota keluarga lainnya.
Dimas melirik ke arah Panji melalui ekor matanya. Tampak wajah Panji yang terlihat tenang dan seakan tak terpengaruh. Namun Dimas tahu, adiknya itu hanya sedang berpura-pura saja. Jauh di kedalaman matanya, Dimas bisa melihat api cemburu di sana.
"Pesawat Ibu jam berapa?" Dimas bertanya kepada ibunya saat mereka semua telah duduk menghadap meja makan, bersiap untuk menyantap sarapan.
"Jam sepuluh, Le. Ini makanya Ibu mesti buru-buru. Habis sarapan ini nanti langsung diantar sama Panji ke bandara," jawab Bu Wina.
Dimas hanya manggut-manggut sembari melirik Panji yang dari tadi berusaha keras untuk menghindari kontak mata, baik dengan dirinya, maupun dengan Ning.
Mereka kemudian makan dengan hening.
"Tambah lagi Ning, makanmu. Semalam kan kau sudah banyak menghabiskan tenaga," ucap Dimas sembari mengedipkan sebelah mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEREBUT HATI SUAMIKU [TAMAT]
RomansaSebuah pernikahan beda kasta yang penuh lika-liku. Sanggupkah Ning meluluhkan hati suaminya, atau ia justru memilih melabuhkan hati pada yang berkenan menerima?