POV Author
Kedua mata Dimas terasa menghangat, seiring rasa bahagia yang merasuk ke hatinya begitu mendengar kabar yang disampaikan oleh Ning, istrinya.
Ia tak menyangka, kabar bahagia itu akan datang saat dirinya tengah berada di lembah putus asa.
"Kau hamil, Ning?" ucapnya dengan rasa buncah yang memenuhi segenap ruang dalam dada.
"Iya, Mas. Ning hamil. Sebentar lagi, kita akan menjadi orangtua." Bibir yang masih berhias pucat itu tersenyum kala mengulang kabar bahagia yang dibawanya. Berharap sang suami pun juga merasakan kebahagiaan yang sama.
Lidah Dimas terasa kelu. Ingin rasanya ia berteriak menyuarakan kebahagiaan yang dirasakannya saat ini. Tapi yang bisa dia lakukan hanya mengusap tetes demi tetes bening di kelopaknya, sebelum sempat luruh ke pipi.
Melihat reaksi suaminya, Ning tahu jika Dimas juga sama bahagia dengannya. Terlihat dari pendar di mata lelaki itu.
"Ning, aku ... minta maaf. Aku sadar beberapa waktu belakangan aku terus bersikap sangat egois terhadapmu. Menjadikanmu pelampiasan, atas keterpurukan yang kualami. Menorehkan luka di hatimu, hanya supaya kau pun merasakan sakit yang sama.
Sikapku ini, memang sungguh tak pantas. Aku layak kau benci, Ning. Aku sungguh layak kau benci."
Kepala Dimas tertunduk untuk menyembunyikan tangisnya. Merasa malu ia pada wanita yang telah banyak berkorban perasaan untuknya itu.
"Ning ndak pernah membenci Mas Dimas. Apa pun yang pernah Mas lakukan, Ning sudah memaafkan." Ning berkata seraya melangkah mendekati Dimas.
Diusapnya pelan bahu lelaki yang tengah tersedu itu.
"Mas Dimas, ayo semangat sembuh. Sebentar lagi kita akan mempunyai anak. Jadikan dia penyemangat, Mas," ucap Ning lembut.
Kepala Dimas mendongak, menatap istrinya dengan wajah yang basah oleh airmata. Melihat senyum di bibir perempuan itu, perasaan hangat mengaliri dirinya.
Didekapnya tubuh Ning erat. Ia sepenuhnya sadar, tak kan mampu jika harus kehilangan.
Tangan Ning mengusap lembut rambut suaminya. Pandangannya memburam karena dipenuhi kaca-kaca bening yang kemudian luruh, seiring dengan keikhlasan hatinya memaafkan sang suami.
Malam ini, setelah dua minggu pasca kejadian kecelakaan itu, Ning dan Dimas tidur sambil berpelukan. Sesuatu yang telah lama tak mereka rasakan. Meski tubuh belum bisa bersatu, tapi cukuplah dua hati keduanya yang saling menggenggam.
Ning tersenyum dalam tidurnya. Hatinya bahagia, karena jiwa suaminya yang telah lama ia rindukan kini kembali pulang.
***
"Besok kita pergi terapi ya, Mas," ucap Ning sembari mengelap tubuh suaminya dengan handuk basah. Perempuan itu sangat telaten dalam mengurus suaminya. Tak sekalipun ia tampak merasa lelah. Wajah itu senantiasa tersenyum dibalut aura bahagia.
"Iya. Tapi, biar ibu dan aku saja yang pergi ke rumah sakit, Ning. Kau istirahatlah di rumah ditemani Arum," jawab Dimas.
"Kenapa, Mas?" protes Ning dengan dahi berkerut.
"Kamu kan sedang hamil, Ning. Jangan terlalu capek supaya kehamilanmu nggak terganggu. Lagian, di rumah sakit kan banyak orang sakit. Kuman di mana-mana. Lebih baik kamu di rumah saja," nasehat Dimas.
Mendengar nasehat sang suami yang masuk akal, Ning pun tak bisa membantah. Ia menurut apa yang dikatakan suaminya.
Hampir semua orang di rumah menyambut gembira berita kehamilan Ning serta perubahan sikap Dimas yang mulai perlahan melunak. Terutama bu Wina.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEREBUT HATI SUAMIKU [TAMAT]
RomantizmSebuah pernikahan beda kasta yang penuh lika-liku. Sanggupkah Ning meluluhkan hati suaminya, atau ia justru memilih melabuhkan hati pada yang berkenan menerima?