Sepasang mata indah itu mengerjap pelan ketika aku melepaskan ciuman.
Astaga, Ning ....
"Mas," ucapnya dengan suara tertahan ketika tanganku mulai bergerak liar menyusuri tubuhnya.
"Ya?" sahutku dengan suara parau.
Tatapan mata Ning yang kian sayu, membuat sesuatu dalam diri ini seakan menuntut tak terkendali. Ingin segera dituntaskan saat ini juga.
Tiada lagi kata, dan hanya gerak tubuh yang bicara. Jemari yang saling bertaut, serta bibir yang saling berpagut, menjadi pertanda tiada lagi jarak di antara kami.
Aku terus bergerak, mendesak Ning agar membuka diri supaya gerakanku kian leluasa. Ning menggigit bibir dengan kedua mata terpejam rapat saat aku mulai menyatukan tubuh kami.
Gelombang rasa ini membuatku tak peduli pada suaranya yang menjerit tertahan. Tak peduli pada bening yang mengalir di kedua sudut matanya, lalu turun ke pelipis.
Satu jeritan terdengar dari mulutnya, bercampur rintih kesakitan saat kami benar-benar menyatu. Lalu suaranya pun teredam, kala aku kembali menempelkan bibir erat ke bibirnya.
Setelah hampir empat bulan menikah, di sore yang indah ini kami pun akhirnya menjadi sepasang suami istri yang sesungguhnya.
"Maaf ya Ning," ucapku pelan dekat telinganya.
Hanya selimut tebal berwarna putih yang menjadi penutup tubuh kami saat ini.
Ning mengangguk pelan, tanpa suara.
Sempat aku bertanya-tanya, apakah ia marah? Tapi pertanyaan ini pun lantas terjawab ketika melihat senyum malu-malu di wajah Ning saat aku membalik tubuhnya agar menghadapku.
Ah, kau Ning.
***
Kusesap rokok dalam-dalam sambil menatap ke luar, di mana kehidupan malam mulai terdengar hingar bingar di sepanjang jalan daerah Kuta.
Aku dan Ning tengah duduk di sebuah cafe yang menyajikan live musik di tepian pantai Kuta.
Segelas fruit punch di depannya sudah hampir habis separo. Ning tampak menikmati suasana. Semilir angin malam tepi pantai bertiup sedikit kencang, memainkan rambut Ning yang panjang sebahu.
Dengan potongan rambut barunya itu, Ning terlihat lebih cantik dan segar. Memang selera ibu tak perlu diragukan lagi.
"Kau senang berada di sini, Ning?" tanyaku di tengah alunan musik yang mengalun dari sound system tak jauh dari kami duduk.
"Iya, Mas. Ning seneng. Di sini akeh wong londo, haha!"
Aku tersenyum lebar, bukan karena ucapan perempuan itu. Tapi lebih kepada rona bahagia yang terpancar dari wajahnya. Sorot mata itu, lengkungan bibir itu, juga barisan giginya yang rapi.
Tanpa kusadari, Ning membuatku tergila-gila.
Hingga hampir pukul sebelas malam, kami masih berada di cafe ini. Vocalis live music pun telah berganti personil, tapi sepertinya tak ada tanda-tanda Ning ingin segera beranjak dari sini.
"Ning, kita balik yuk," ajakku ketika jarum jam menunjuk ke arah pukul sebelas lewat dua puluh menit. Sudah hampir tengah malam.
"Yuk lah." Ning berdiri dari duduknya.
Aku pun mengajaknya ke kasir dulu untuk membayar minuman dan camilan yang kami pesan tadi.
Karena jarak pantai dengan hotel yang dekat, maka kami hanya berjalan kaki saja. Sembari melangkah menyusuri jalan, tak kulepaskan genggamanku sedetik pun dari tangan Ning.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEREBUT HATI SUAMIKU [TAMAT]
RomanceSebuah pernikahan beda kasta yang penuh lika-liku. Sanggupkah Ning meluluhkan hati suaminya, atau ia justru memilih melabuhkan hati pada yang berkenan menerima?