POV Author
Sepanjang perjalan menuju ke rumah sakit, Ning hanya diam. Hanya terlihat jari jemarinya saling meremas di atas pangkuan. Panji menoleh sesekali. Meski keduanya tak saling bicara, tapi lelaki itu tahu, Ning tengah menyimpan kegelisahan dalam hatinya.
Mereka akhirnya tiba di rumah sakit yang dimaksud. Setelah memarkir mobilnya di tempat khusus kendaraan roda empat, Panji mengajak Ning untuk segera menuju ke ruang IGD.
Setelah melewati petugas penjaga, Ning dan Panji dipersilakan untuk memasuki ruangan tersebut. Seorang perawat laki-laki menghampiri mereka berdua yang tampak kebingungan mencari-cari.
"Maaf, Mbak dan Mas-nya ada keperluan apa di sini? Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya sambil menatap ke arah Panji.
"Begini, Mas. Tadi sekitar satu jam yang lalu saya dihubungi oleh pihak rumah sakit ini. Mengabarkan kalau saudara saya mengalami kecelakaan dan sedang dirawat di sini," jelas Panji sedikit gugup.
"Maaf, kalau boleh tahu, siapa nama saudaranya, Mas?" tanya perawat lagi.
"Dimas," jawab Panji cepat.
"Oh. Berarti Mas dan Mbak ini saudara pasien Dimas yang baru masuk tadi, ya? Mari ikut saya." Sang perawat berkata, lalu berjalan menuju ke satu arah dengan Ning dan Panji mengikuti di belakangnya.
Mereka berhenti di sebuah ranjang pasien yang letaknya dekat pintu keluar. Beberapa petugas medis dan seorang dokter tengah memasang peralatan yang nama dan fungsinya untuk apa oleh Panji serta Ning.
"Mas Dimas ...!" lirih Ning saat melihat suaminya terbaring di sana dengan luka parah di sekujur tubuhnya.
Ke semua yang ada di situ sontak menoleh. Perawat laki-laki yang mengantarkan mereka langsung berkata kepada dokter yang tengah menangani Dimas.
"Permisi Dokter, mereka ini adalah keluarga pasien."
Sang dokter mengangguk pelan, kemudian memberi isyarat pada Panji dan Ning untuk mengikutinya.
Penjelasan diberikan oleh dokter mengenai kondisi medis Dimas secara umum saat ini. Istilah-istilah yang disebutkan oleh dokter --yang sama sekali tak dimengerti oleh Ning-- membuat perempuan muda itu diam saja.
Hanya Panji yang sedikit paham dengan penjelasan yang diberikan oleh dokter. Mengenai peluang hidup saudaranya yang memerlukan tindakan operasi secepatnya, serta segala resiko yang mungkin timbul pasca tindakan nantinya.
"Lakukan apa saja asal saudara saya bisa selamat, Dokter." Panji berkata.
"Termasuk resiko kelumpuhan yang bisa saja bersifat sementara maupun permanent?" sang dokter ingin memastikan.
Sejenak, Panji terdiam. Kepalanya menoleh ke samping, di mana Ning duduk di sebelahnya. Wanita itu ternyata juga sedang menatapnya. Sepasang mata bening itu seakan ingin mengatakan, bahwa ia sepenuhnya percaya pada apa pun keputusan yang Panji buat.
Panji menelan ludah, kemudian berkata dengan tatapan lekat pada sang dokter yang menunggu keputusannya.
"Lakukan, Dokter. Lakukan saja, asalkan nyawa kakak saya selamat."
***
"Ning, minumlah ini dulu." Panji mengangsurkan sebotol air mineral dingin pada Ning yang tengah duduk sembari menunduk dalam di atas sebuah kursi tunggu.
Ning mengangkat kepala, mendongak ke arah Panji yang telah berdiri di hadapannya. Tangan Panji masih terulur, dan Ning dengan pelan menyambut botol berisi air dingin itu.
Saat ini, mereka tengah berada di depan ruang operasi. Menunggui Dimas yang tengah berjuang dengan segenap tim medis yang berusaha menyelamatkan nyawanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEREBUT HATI SUAMIKU [TAMAT]
RomanceSebuah pernikahan beda kasta yang penuh lika-liku. Sanggupkah Ning meluluhkan hati suaminya, atau ia justru memilih melabuhkan hati pada yang berkenan menerima?