Pesawat pun akhirnya mendarat dengan selamat di bandara Ngurah Rai, Denpasar Bali. Terdengar ucapan syukur dari mulut-mulut penumpang lain, penuh kelegaan di wajah tiap dari mereka.
"Kita sudah sampai, Mas?" tanya Ning. Bersusah payah membuka seatbelt-nya, yang akhirnya bisa membuka setelah kuajari caranya.
"Iya, kita sudah sampai." Aku berkata.
"Alhamdulillah ya Allah. Hampir putus jantung Ning, Mas."
Aku mengulum senyum sambil menatap wajahnya yang masih bias pucat.
"Wajar. Nanti lama-lama kau akan terbiasa, Ning."
"Wes ah, Ning rasane kapok Mas numpak (naik) pesawat lagi," keluhnya. Aku lagi-lagi hanya menanggapinya dengan senyuman.
Ketika satu per satu para penumpang mulai turun, aku pun mengajak Ning untuk bersiap turun juga.
Kami berjalan melewati lorong sempit di antara barisan kursi penumpang. Disambut ucapan terima kasih dari para awak kabin yang berdiri di depan pintu pesawat.
Akhirnya, kaki ini pun menjejak kembali di pulau dewata. Banyak turis dari mancanegara yang juga baru tiba. Dan dapat kulihat, ekspresi cengo di wajah Ning kala melihat orang-orang asing dengan kulit kemerahan berlalu-lalang di areal bandara yang luas.
"Mas ... Mas ...." Kudengar suara Ning memanggil dengan separoh berbisik.
"Ya?" Aku menyahut, seraya memasang kacamata gelap yang bertengger tepat di atas tulang hidungku yang tinggi.
"Di sini banyak orang bule kayak di tipi-tipi itu ya, Mas?"
Entah itu sebuah pertanyaan, ataukah sebuah pendapat.
Aku menoleh padanya.
Sepersekian detik ia tampak kaget, tapi kemudian mengalihkan tatapan ke arah lain. Entah apa yang ada dalam hatinya saat ini. Terpesona mungkin, oleh ketampanan lelaki yang menjadi suaminya ini. Entahlah.
Setelah mengambil bagasi dari conveyor, kami pun terus melangkah ke luar untuk mencari taksi.
Aku telah membooking sebuah hotel di daerah Kuta, tujuannya ya agar dekat kemana-mana. Setidaknya menurutku, daerah Kuta relatif lebih 'tenang' dibandingkan Legian yang 'berisik'.
Beberapa pengemudi taksi menghampiri kami untuk menawarkan jasa mereka, dan aku memilih satu di antaranya.
"Sheraton Hotel, Bli," kataku pada sopir setelah aku dan Ning telah duduk nyaman di jok belakang penumpang.
"Baik, Bli." Ia membalas sopan.
Bli adalah panggilan untuk seorang laki-laki dalam masyarakat Bali. Sama seperti kita memanggil 'Mas' atau 'Abang'.
Taksi meluncur di atas aspal yang mulus menuju daerah Kuta. Sepanjang perjalanan Ning terus menatap ke luar jendela. Sesekali ia bertanya jika melihat sesuatu yang menarik perhatiannya.
Tepat pukul empat sore, kami pun tiba di depan Sheraton Hotel tempat kami menginap selama tiga hari ke depan.
Ning tampak terkagum-kagum memandangi interior hotel yang lux begitu kami memasuki loby untuk menghampiri meja resepsionis. Beberapa anak kecil turis asing begitu menarik perhatiannya.
Senyumnya senantiasa terkembang melihat mereka saling berbicara, meski kutahu pasti ia tak tahu apa arti pembicaraan anak-anak tersebut.
Ning terus asik memperhatikan mereka sampai dengan proses check-in kami selesai. Gadis manis berlesung pipit yang berdiri di balik meja resepsionis memberikan sebuah amplop kecil berisikan dua buah keycard dan juga voucher sarapan yang bisa digunakan untuk besok dan selama kami menginap di hotel bintang lima ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEREBUT HATI SUAMIKU [TAMAT]
RomantikSebuah pernikahan beda kasta yang penuh lika-liku. Sanggupkah Ning meluluhkan hati suaminya, atau ia justru memilih melabuhkan hati pada yang berkenan menerima?