POV Panji
Acara pernikahanku dan Arum digelar sangat meriah, dan dihadiri banyak tamu undangan. Maklum saja, baik aku maupun Arum sama-sama dari kalangan keluarga pengusaha.
Pak Wira, ayah Arum yang kini juga berstatus ayah mertuaku, cukup punya nama dalam dunia wirausaha. Beliau adalah salah satu pengusaha sukses yang cabang usahanya ada di mana-mana.
Tak ada pesta yang tak usai. Tepat pukul sembilan malam, acara resepsi pun berakhir. Ditutup dengan sesi foto-foto dengan semua pihak yang turut berpartisipasi menjadi panitia pesta.
Senyum di bibir Arum senantiasa terkembang. Tak kulihat sedikit pun sorot lelah dari binar matanya yang selalu ceria. Sepertinya ia benar-benar menikmati pesta ini. Dan memang sudah seharusnya begitu, lazimnya.
Selesai acara, aku langsung memboyong Arum pulang ke kediamanku. Disopiri oleh salah satu sopir di pabrik, aku dan Arum pulang menuju rumah. Sementara ibu, Ning, dan juga mas Dimas berada dalam satu mobil.
"Kau lelah?" tanyaku pada Arum yang sedang melepas sepatu selopnya. Ke-sepuluh jari kakinya yang lentik tampak bergoyang-goyang di bawah sana.
"Nggak juga. Hanya saja kakiku butuh udara. Hampir seharian ia terkungkung dalam sepatu selop itu," jawabnya, lalu melempar senyum.
Aku hanya manggut-manggut, kembali melempar tatapan lurus ke depan.
"Kau sendiri bagaimana? Lelah?" Arum berbalik melempar tanya.
"Sedikit." Bibirku menyunggingkan selarik senyum tipis, yang dibalas oleh Arum dengan cara yang sama pula.
Kami semua tiba di rumah secara berbarengan. Ketika aku dan Arum keluar dari dalam mobil, ibu, Dimas dan Ning juga melakukan hal serupa.
Ketiganya tersenyum pada kami sembari berjalan mendekat.
Mbok Nah, salah satu ART senior segera menyambut kami dengan suka cita. Wanita yang telah puluhan tahun mengabdi itu dengan sigap membawa barang-barang pribadi milik Arum yang dikeluarkan oleh sopir dari dalam bagasi mobil.
"Selamat datang di rumah kami ya, Nduk. Sekarang kamu sudah menjadi bagian dari keluarga ini, semoga semuanya bisa hidup rukun dan damai," ucap ibu pada Arum.
"Terima kasih, Bu." Kudengar istriku menjawab.
"Ya sudah kalau begitu. Panji, bawa istrimu ke kamar, Le. Selamat beristirahat ya, semuanya." Ibu berkata lagi seraya tersenyum dan menatap kami para anak dan menantunya bergantian. Agak sedikit lama tatapannya berhenti di aku.
Setelahnya, ibu berlalu meninggalkan kami untuk masuk ke kamarnya. Sepertinya beliau kelelahan setelah melewati rangkaian prosesi pernikahanku dan Arum hari ini.
"Yuk, Rum." Kuajak istriku untuk masuk ke kamarku.
"Dimas ... Ning, kami istirahat duluan, ya?" Arum bermitan pada kedua orang tersebut.
"Njih, Mbak Arum. Selamat beristirahat."
Untung aku sudah dalam posisi membelakangi mereka semua, jadi aku bisa menyembunyikan senyum penuh luka ini. Mendengar suaranya saja, jantung ini langsung berdenyut dibalut rasa perih.
Aku dan Arum kemudian sama-sama berjalan menuju kamarku yang sekarang telah menjadi kamar kami.
Aku membantu Arum membongkar barang-barang pribadinya dari dalam koper, kemudian menyusunnya lagi ke dalam sebuah lemari jati super besar yang baru dibeli oleh ibu kemarin.
"Istirahatlah, kau pasti lelah. Biar ini kukerjakan sendiri."
Arum berkata yang hanya kubalas dengan senyuman. Sebagai isyarat bahwa aku masih punya tenaga untuk mengerjakan hal remeh temeh begini.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEREBUT HATI SUAMIKU [TAMAT]
RomanceSebuah pernikahan beda kasta yang penuh lika-liku. Sanggupkah Ning meluluhkan hati suaminya, atau ia justru memilih melabuhkan hati pada yang berkenan menerima?