"Apa? Ke pabrik sama Panji?" ulang Dimas kaget bercampur nada tak terima pada suaranya yang meninggi. Ning menatap herap pada lelaki di sebelahnya itu.
"Iya. Ning mandi dulu, Mas. Biar ibu dan Mas Panji nggak lama-lama nungguinnya." Gadis itu berkata santai, sebelum akhirnya meninggalkan Dimas begitu saja dengan kekesalannya yang memuncak.
Dengan kasar, Dimas menghempas pintu lemari pakaian di hadapan hingga menutup keras. Kemudian lelaki itu pun segera keluar kamar dengan melompati anak tangga dua-dua sekaligus.
Sesampainya di bawah, didapatinya Panji tengah mengobrol bersama ibu mereka di ruang tengah. Napas Dimas sedikit tersengal, namun berusaha ditutupinya ketika sang ibu memandangnya dengan tatapan janggal.
"Benar, Ibu mau bawa Ning ke pabrik?" Pertanyaan tersebut ia lontarkan pada sang ibu, namun matanya melirik tajam kepada Panji yang hanya tersenyum simpul tanpa memandang ke arahnya. Membuat dada Dimas kian terbakar oleh amarah.
"Iya. Kenapa memangnya, Dimas?" jawab Bu Wina kalem sembari menatap lekat sulungnya itu. Sekali ini, Bu Wina ingin memberi pelajaran kepada Dimas.
"Hmm ... nggak apa-apa, sih. Hanya saja tadi aku ingin mengajak Ning ke perkebunam." Dimas berkata.
"Biar hari ini dia ikut dengan kami. Kamu nggak keberatan, toh?" Bu Wina berkata tetap dengan nada santai.
"Njih, Bu. Nggak apa-apa. Kalau begitu Dimas berangkat sekarang saja ke perkebunan, takut kesiangan." Lelaki itu menyambar tangan ibunya, kemudian menciumnya sekilas dengan gerakan cepat agar wajah gondoknya tak kentara.
Sepeninggal Dimas, Bu Wina menatap ke arah Panji yang tampak tersenyum penuh kepuasan sambil menatap ke arah punggung Dimas yang semakin mengabur.
"Jangan main hati, loh Le. Kamu tetap harus ingat, kalau Ning adalah kakak iparmu. Jaga perasaan sendiri loh, pokoknya. Ibu nggak mau kalau sampai kamu hanyut sendiri dalam perasaan," nasehat Bu Wina pada bungsunya tersebut.
"Njih, Bu. Panji usahakan."
"Loh kok usahakan toh, Le? Mesti rek anak ini seneng bikin ndredeg kalau ngomong," protes Bu Wina yang membuat Panji justru tertawa sedikit keras.
Dan tawa itu baru terhenti ketika sosok yang selalu membuat hati lelaki muda tersebut berdesir telah tiba di hadapan.
Sosok Ning.
"Sudah siap, Ning?" Bu Wina menyambut menantunya.
"Njih, Bu. Sudah siap," jawab Ning sopan.
"Ayo, Nji. Anterin Ibu sama Ning ke salon," tukas Bu Wina seraya menepuk paha putranya.
"Ke-ke salon, Bu?" Kedua mata Ning membulat mendengar ucapan ibu mertuanya.
"Iya, Ning. Kita mau ke salon hari ini, terus kita ke mall." Bu Wina menjawab menantunya dengan nada antusias, membuat Ning makin terheran.
"Tapi ... bukannya kita mau ke pabrik toh, Bu? Tadi Ning bilang gitu ke Mas Dimas soalnya." Ning malah terlihat ragu.
"Sudah, santai saja, Ning. Jadwal kita hari ini adalah mempercantik diri. Biar Mas Dimasmu tambah kesengsem sama istrinya yang ayu ini." Bu Wina menjelaskan sembari meletakkan tangannya masing-masing di atas kedua bahu Ning.
Gadis itu hanya bisa mengangguk patuh meski rasa heran dalam hatinya masih berkelindan memenuhi benak.
"Ayo, Ning," ujar Panji ketika dilihatnya Ning hanya mematung sementara Bu Wina telah terlebih dulu jalan di depan.
"Eh ... iya, Mas Panji," sahut Ning buru-buru.
***
Ning terheran kala memasuki sebuah salon yang tak pernah ia kunjungi seumur hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEREBUT HATI SUAMIKU [TAMAT]
RomantikSebuah pernikahan beda kasta yang penuh lika-liku. Sanggupkah Ning meluluhkan hati suaminya, atau ia justru memilih melabuhkan hati pada yang berkenan menerima?