19) Once Again

109 17 36
                                    

__________

"Bukti yang sesungguhnya itu bukan berupa kata-kata, melainkan apa yang tampak di depan mata."

__________



🎧🎧🎧




"Tu kan, kelas gue kosong. Masuk aja!" Ken yang masih belum menyadari eksistensi Jeny tiba-tiba berteriak lantang seolah di ruangan itu hanya ada dia dan lawan bicaranya. Rere—cewek yang diajaknya bicara—tampak melihat ke sekeliling dulu, sebelum akhirnya berjalan masuk mengikuti Ken ke sebuah meja dekat jendela.

Ah, ya ... ralat. For your information, sebenarnya Ken sudah tahu sendiri kalau Jeny memang ada di sana sambil menatapnya. Namun, dia lebih memilih mengabaikan.

Makhluk astral nggak usah diurus, nggak penting. Nyusahin aja nanti.

"Nggak kosong Ken, masih ada temen lo satu," celetuk Rere yang membuat Ken menaikkan alis.

"Siapa?" tanyanya sambil menengok ke belakang. Dan, ya, dia pun mendapati Jeny yang rupa-rupanya masih melayangkan tatapan horor.

"Oh, nenek lampir. Nggak usah dilihatin, Re. Nggak penting." ujar Ken abai. Dia lebih memilih menikmati makanannya saja daripada harus menghiraukan cewek berekspresi datar dan menyebalkan itu. Sedangkan Rere? Tentu saja dia hanya termenung dengan pandangan yang masih terbagi antara Ken dan Jeny. Pikirnya, temannya Ken yang berdiri di belakang itu pasti punya masalah dengan Ken, terlihat dari sorot matanya yang tidak menunjukkan binar ramah sedikit pun.

Sembari bergumam canggung, Rere berusaha mencerna apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka. Dia pun meletakkan mangkuk mi ayamnya di depan Ken dan memutar kursi agar bisa berhadapan.

"Lo punya masalah sama dia, Ken?" tanyanya yang membuat gerakan tangan Ken terhenti.

"Semua orang punya masalah sama dia."

"Tapi kelihatannya dia marah banget sama lo." Rere melirik sekilas Jeny yang ternyata masih berdiri di belakang sana. "Ladenin, kek. Siapa tau penting."

"Bodo amat."

"Eh? Entar kalo dia makin marah sama lo gimana?"

"Udahlah, Re. Nggak usah diomongin. Mending lo makan aja tu mi ayamnya, keburu dingin," ujar Ken yang sekaligus berharap agar Rere mau berhenti membahas topik menyebalkan ini.

"Okelah." Sambil mengangguk pelan, Rere memutuskan untuk diam setelah melihat perubahan ekspresi Ken. Cewek itu pun mulai memakan mi ayamnya sambil memikirkan topik lain untuk mengusir kecanggungan.

Namun, baru saja dia membuka mulut, Ken lebih dulu bersuara, "Oh, ya. Nanti lo langsung pulang atau masuk ke ruangan modelling dulu?"

Mendengar pertanyaan Ken itu, Rere berpikir sejenak. "Entah, gue masuk ekskul dulu mungkin. Kasihan anak-anak lain."

Ken menaikkan alisnya, masih berupaya keras mencerna kalimat itu. "Kasihan?"

"lya, gue nggak tega kalau ekskul modelling ikut kacau cuma gara-gara gue nggak hadir. Lagian gue sebagai ketua harus tanggung jawab, kan?" Rere tersenyum, tetapi tak pelak ada kegetiran juga di dalamnya.

Sementara itu, Ken yang saat ini tengah memandangi cewek di depannya itu tampak makin khawatir. Dia sendiri bisa merasakan seberkas kesedihan yang mendalam hanya dengan melihat sorot yang dilayangkan olehnya. Berada di titik terendah dalam hidup memang akan menjadi cobaan yang begitu besar, terlebih jika cewek itu sendiri yang menghadapinya tanpa ada siapa pun yang menemani. Kesendirian dan kesepian pasti akan terasa sangat menyiksa. Terpuruk karena keadaan dan takdir semesta juga pasti akan terus menambah bebannya.

Oleh sebab itulah, Ken memutuskan untuk menemani cewek itu selama beberapa hari ke depan. Tak apa jika dia harus mengikis waktu bermainnya. Tak apa juga jika dia harus berkorban demi memberikan secuil perlindungan yang nyata. Rere tentu sangat membutuhkan uluran tangan dari orang lain. Dan, dari sinilah dia harus berperan untuk menyembuhkan luka ketika semua orang berpaling.

"Nggak usah sedih begitu, Re. Gue yakin anak-anak modelling pasti bisa maklumin lo."

Tepat setelah Ken bersuara, Jeny yang sejak tadi hanya mengetuk-ngetukkan bolpoinnya kini memutuskan untuk segera bertindak. Dia benar-benar sudah geram setengah mati melihat Ken, apalagi setelah mendengar tuturan bullshit-nya itu.

"Bayar kas. Dua bulan lalu." Jeny berkata dengan nada datar sambil menggebrakkan bukunya di samping mangkuk Ken yang sukses membuat dentingan keras saat itu juga.

"Nggak sopan," desis Ken tajam. Namun, dia sama sekali tidak berniat meladeni Jeny. Cowok itu tetap melakukan aktivitasnya tanpa melihat ke arah samping sedikit pun.

"Bayar sekarang! Lo sok-sokan traktir orang tapi nggak pernah bayar kas!" Seruan itu sukses membuat Rere membulatkan mata, membagi pandangannya kembali antara Jeny dan Ken.

"Ken?" Rere bersuara pelan karena tidak mau menyinggung cowok di depannya itu. Dia melihat Ken yang masih sibuk makan. Tampaknya cowok itu benar-benar tidak mempedulikan Jeny.

"Susah, ya, ngomong sama orang budek." Bukan lagi marah, cewek berambut sebahu itu—Jeny—tertawa hambar menatap Ken. Namun, ternyata itu tidak berlangsung lama ketika akhirnya Ken terpancing omongannya barusan.

"Santuy ngapa, J. Jadi cewek itu yang lembut, jangan galak gitu."

Jeny mendengkus, Rere terkesiap, sementara Ken sendiri hanya nyengir kuda. Cowok itu memang labil dan tidak pernah bisa serius, apalagi kalau masalah membayar kas. Jeny lantas menyentakkan bukunya sambil berdecak, dia ingin segera menyelesaikan pekerjaan ini. Dia sudah muak membujuk dan membentak, karena cewek itu tahu kalau dia tidak akan bisa menang.

Tiba-tiba Rere terbatuk ketika keheningan menyerang mereka. Cewek itu tersedak dan terus memegangi tenggorokannya yang mendadak sakit. Ken yang awalnya santai menikmati mi ayamnya tentu langsung panik melihat mata Rere yang berair.

"Eh? Keselek, ya? Mau minum?" Dengan gerakan cepat, Ken pun mengambil botol air minum lalu membuka segelnya sekali tarik. Cowok itu lantas memberikan air itu pada Rere sambil berkata, "Makanya makan itu yang santai, jangan buru-buru."

Tepat saat Ken berbicara, seseorang yang membawa dua mangkuk bakso tiba-tiba muncul di depan pintu. Cewek itu sontak terpaku kala melihat Ken yang baru saja memberi Rere selembar tisu. Jeny sebagai satu-satunya pihak yang menyadari kehadirannya tentu langsung terbelalak, terlebih ketika melihat raut wajah orang itu yang tiba-tiba berubah. Dengan cepat, Jeny pun segera berlari untuk mengejar cewek itu. Dalam hati, dia berharap agar Keva tidak sakit hati melihat sahabatnya yang sedang bersama cewek lain.

Namun, ternyata usahanya itu tidak membuahkan hasil sama sekali. Jeny melihat Keva yang lebih dulu hilang sebelum dia berhasil menghadang.

Refleks saja cewek itu menoleh ke arah Ken. "Dasar cowok tolol, brengsek banget lo jadi sahabat!"

🎧🎧🎧



Baterai sekarat, guys. Intinya thanks dan jangan lupa vote, ya.



Tertanda,
Rheanna Maze.

Can TryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang