Kita belajar banyak mengenai luka. Menapaki satu-persatu titik sakit yang tidak terdefinisi.
Kita belajar banyak mengenai rasa. Melewati satu-persatu takdir yang tidak terkira oleh memori.
Kamu baik, tapi aku tidak.
Kamu bahagia, tapi aku tersiksa...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
_____
"Gue tabrak, Iho, ya?"
Masih di situasi yang sama, Ken tersenyum miring sambil terus menakut-nakuti Keva dengan deru motor. Berulang kali cowok itu hampir melepaskan pijakan kakinya pada aspal. Namun, tampaknya Keva lebih dulu menyingkir sebelum motornya itu benar-benar meluncur.
Dengan nyala api yang mungkin akan keluar dari telinganya sebentar lagi, Keva langsung menepuk helm Ken kasar ketika sudah tiba di sampingnya. Bukan lagi kesal, dia justru mengumpat-umpat sekarang.
"Sialan! Dasar cowok! Kerjaannya ngancam mulu lo!" seru Keva, lalu berkacak pinggang. Namun, Ken sama sekali tidak mengindahkan amukan itu. Ekspresi yang mungkin terlihat seram tapi menyebalkan, kini malah berubah seratus delapan puluh derajat.
Cowok itu menatap Keva datar. "Naik, atau gue baperin lagi?"
Mata Keva sontak terbelalak, kaget untuk kesekian kalinya. Lagi-lagi Ken memberikan opsi gila yang sama padanya, membuat cewek itu sontak berteriak—frustrasi.
Kalau sudah begini keadaannya, mau tak mau gadis bersurai cokelat itu harus mengaku kalah. Dia mendengkus kasar, mencoba sabar. Dengan terpaksa, dia akhirnya mau menaiki motor Ken.
"Kalo tadi ada kesempatan, udah gue bawa pulang ni motor," gerutu Keva, tetapi tak pelak membiarkan Ken membawanya pergi juga. "Gue jual ke pasar loak, mantul kali, ya. Entar duitnya gue pake buat bayar kas."
Ken berdeham panjang. "Terusin aja, terusss. Gue gulingin sekalian ni motor, biar lo jatuh."
"Gulingin?" Keva tiba-tiba menaikkan alis, bingung. Gadis itu menatap Ken yang kebetulan juga ikut memandangnya dari kaca spion. "Guling ada di rumah, Bre. Jangan dibawa-bawa."
Ekspresi Ken langsung berubah datar. Lagi.
Dia berdecak. "Kumat."
Tidak ada balasan apa pun setelah Ken bergumam. Pun dengan dia sendiri yang hanya menatap lurus ke depan. Kedua sahabat itu mungkin tengah tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tersenyum atas alasan yang berbeda pula.
Lampu-lampu dari jalanan kini tampak makin terang, menimpa paras keduanya dengan cahaya yang berpendar-pendar. Keva yang duduk di belakang, kini tampak sibuk memandang ke kanan dan kiri. Ekspresinya yang kesal pun perlahan memudar, tergantikan dengan sejenis tawa kebahagiaan.
Persetan dengan sahabatnya yang hanya berputar-putar tanpa tujuan, dia masih tetap menikmati perjalanan pulang yang panjang tanpa merasa was-was sedikit pun. Lagi pula, selagi ini Ken, dia tidak takut jikalau nanti akan terjadi apa-apa.
Sebab dia tahu, cowok itu tidak akan membiarkan siapa pun melukainya.
"Eh, Va? Lo tau, nggak?" Saat tiba di lampu merah yang ramai, Ken dengan watadosnya bertanya sambil berteriak. Keva yang mendengar itu tentu saja langsung menegurnya dengan cara mencubit pinggang cowok itu.