__________
"Karena telanjur mencinta, logika pun tiada guna."
__________
🎧🎧🎧
Terik matahari seolah menusuk kulit. Udaranya panas dan cahayanya pun sangat menyilaukan. Meskipun ruangan ini sudah difasilitasi dua AC serta kipas angin tepat di pusat langit-langit, tetapi tetap saja suhunya terasa seperti di sebuah gurun.
Dikasih AC nggak mempan, diberi kipas pun malah panas.
Serba salah memang, tetapi inilah hidup.
Keva menguap sekali, memainkan bolpoin dengan jemari, lantas memiringkan kepalanya untuk tidur sejenak selagi masih ada kesempatan. Dia sama sekali tidak takut kalau saja kelakuannya itu mengundang bentakan dari guru yang sedang mengajar. Lagi pula letak bangkunya, kan, sangat strategis. Kursi bagian belakang, pojok kanan dekat jendela. Ditambah lagi, seorang cewek dengan tubuh yang bisa dibilang gendut pun menutupi badan kecilnya dari depan.
Namun, ternyata semua keinginan itu hanya berujung khayalan belaka ketika seseorang tiba-tiba saja memanggilnya dari samping. Mendengkus kasar, Keva lantas berdecak. Meskipun halus, dia masih bisa mendengar jelas bahwa panggilan itu bernada penuh tuntut.
Cewek itu pun menoleh, mendongak sedikit untuk melihat lebih jelas. Dia tahu orang yang memanggilnya itu adalah 'dia', sehingga belum sampai tiga detik, cewek itu pun memutuskan untuk kembali memandang ke depan. Kejadian pagi tadi masih terngiang-ngiang di otaknya, terputar tanpa jeda di dalam memorinya. Cewek itu masih berusaha untuk menguatkan diri dan menolak semua kata-kata negatif setiap kali mengingat nama Ken dan Rere.
Dia tahu, prioritas Ken bukan terpusat pada dirinya saja. Dia juga mengerti bahwa dia tidak selalu berada di bagian teratas list cowok itu. Namun, entah mengapa, ada rasa sesak yang datang kala mengetahui namanya berada di barisan paling bawah. Barisan yang hanya akan dipandang setelah nama di atasnya terbaca.
Keva tidak tahu dengan apa yang terjadi padanya sekarang ini. Yang jelas, kenapa rasanya begitu sakit?
Mungkin ini terlalu cepat?
Atau dia saja yang belum siap menerimanya?
Atau mungkin juga, dia belum tahu apa itu arti dari sebuah 'permulaan'?
Keva menggeleng, mencoba menolak sudut pandang terburuk yang kini sedang menyerang pikirannya. Cewek itu lantas mengerjap-ngerjapkan mata beberapa kali, sebelum akhirnya memutuskan untuk meladeni cowok yang sekarang sudah muncul dari pesembunyiannya.
"Apa?" tanya Keva ketika sudah berhasil mendapatkan pandangan dari Ken. Cewek itu tiba-tiba disuguhi sebuah kotak berpita merah muda, entah untuk alasan apa.
"Apa ini?" tanya Keva yang sesekali mengedarkan pandangannya, memastikan kalau kondisi di tempat itu sudah benar-benar aman. Dia bahkan sempat melirik ke arah Alan—teman sebangkunya yang saat ini masih ngebo berbantal lengan.
Untunglah, saat ini Bu Yuli sedang memberikan soal nan panjang pada murid-murid di kelas. Jadi, suasananya pun ikut hening dan tidak ada banyak pasang mata pula yang mempedulikan sekitar. Kebanyakan dari mereka lebih memilih bermain ponsel di bawah loker atau bahkan berpura-pura nulis—padahal kenyataannya cuma coret-coret meja. Kerjaan anak IPS memang kadang suka begitu. Kendati demikian, bukan berarti mereka bisa seenaknya dibanding-bandingkan dengan anak MIPA. Karena sampai kapan pun, solidaritas akan tetap jadi nomor satu.
Haha. Mogok tugas bareng maksudnya.
Dengan gerakan malas, Keva menerima pemberian Ken sambil memberi kode pada cowok itu lewat tatapan. Si bule rambut pirang itu pun nyengir, lalu memberi kode balik agar Keva segera membukanya.
"Janji nggak bakal teriak."
Tangan Keva yang baru saja memengang ujung tutup kotak itu langsung berhenti, matanya lantas kembali mengarah pada Ken. Karena gemas, cowok itu spontan saja mengambil langkah nekat. Dia membuka jendela yang sedari tadi menghalanginya sedikit lebih lebar, lantas memasukkan kepala dan setengah badannya ke sana. Gerakan Ken mungkin terkesan menarik perhatian. Namun, apalah daya jikalau soal Bu Yuli adalah magnet dari segala magnet.
"Apaan ni?" tanya Keva lagi setengah berdesis.
Ken tersenyum, lantas menyilangkan tangannya di atas kusen kayu jendela. "Buka aja, tapi jangan teriak."
Keva menghela napas kasar, memilih mengalah agar perbuatan konyol ini segera usai. Sementara itu, Ken sendiri hanya mengamati cewek itu dengan tampang tanpa dosanya. Tanpa ada rasa malu sedikit pun.
Dengan hati-hati, cewek beriris hazel itu membuka sedikit demi sedikit kotak itu. Awalnya, dia hanya melihat beberapa tabung kecil bewarna-warni. Namun, ketika tutup kotak itu sudah lepas sempurna, di saat itu pula dia berteriak. "AAAB—"
Keva langsung melotot begitu menyadari bahwa tabung kecil itu adalah bolpoin dengan tutup berbentuk kucing. Namun, bukan itu yang menjadi alasan mengapa dia berteriak, melainkan sebuah gambar yang tertempel di bawahnya. Saking kagetnya, kedua sahabat itu bahkan panik seketika begitu puluhan pasang mata terpusat ke arah mereka. Keva yang masih melotot hanya bisa melongo menyadari kebodohannya. Sementara Ken? Awalnya dia ingin melarikan diri, tetapi usahanya gagal karena kepalanya tak sengaja kepentok jendela.
Bersamaan dengan itu pula, tawa banyak murid meledak seketika. Suara mereka jelas langsung menarik kesadaran Bu Yuli yang sebenarnya sudah tidur menunduk karena boring.
"Siapa itu, seh?" Suara khas dengan logat Jawa sekarang mendengung ke sepunjuru ruangan. Mata beliau sontak terpusat pada dua makhluk yang berada di sudut ruangan.
"Keano? Kenapa kamu ada di situ? Nyari saya, ta?" tanya Bu Yuli lantas segera berdiri, membuat Ken spontan menggeleng cepat.
Ni guru ge'er amat, astaghfirullah.
"Ndak, Bu. Saya di sini mau kasih bekalnya Keva," katanya sambil tersenyum ramah, berusaha membuat rasa penasaran Bu Yuli menghilang. Namun, apalah daya ketika netizen malah berkomentar dan mempermasalahkan hal kecil ini?
"Bekal apaan njir, kotak pita-pita gitu!"
"Tau tu, bilang aja mao kasih hadiah buat pacar."
"Jangan-jangan isinya coklat lagi?"
"Kurang belaian, Mas?"
"Huuuuh!"
Seketika atmosfer kelas itu berubah menjadi ramai dan kacau, bahkan sampai membuat Alan terbangun dari tidurnya. Mereka sama-sama bersorak menertawakan tingkah dua sahabat itu yang dinilai melebihi batas wajar.
Namun, jika Keva malu, Ken justru tidak. Cowok itu memasang wajah datar lantas berujar pelan, "Apaan, dah?" Karena memang dia merasa bahwa perbuatannya ini adalah hal yang biasa. Hal yang sudah menjadi makanannya sehari-hari, apalagi menyangkut soal Keva.
"Ya udah sih, gue pergi dulu. Malu gue ketemu banyak fans, bye bye!" seru Ken yang akhirnya memutuskan untuk menyudahi. Cowok itu kasihan pada Bu Yuli yang baru saja terbangun karena ulahnya. Dia pun berpamitan lebih dulu sebagai wujud rasa hormatnya pada beliau.
"Oh ya, Bu Yuli! Mangga. Ken pergi dulu, nggih? Assalamualaikum."
Keva terbelalak melihat Ken yang langsung kabur. Ok sip gue ditinggal malu sendiri, monyet sialan.
🎧🎧🎧
Ken tarik ulur mulu, ya, guys. Awas aja kalau nanti dilepasin :)
Niatnya Minggu kemarin mau update, tapi nggak sempet. Maapkeun .... 😭
Jangan lupa vote dan comment!
Thanks yang udah bertahan sampai sejauh ini!
Tertanda,
Ike.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can Try
Teen FictionKita belajar banyak mengenai luka. Menapaki satu-persatu titik sakit yang tidak terdefinisi. Kita belajar banyak mengenai rasa. Melewati satu-persatu takdir yang tidak terkira oleh memori. Kamu baik, tapi aku tidak. Kamu bahagia, tapi aku tersiksa...