22) Waiting for You?

81 14 4
                                    

🎧🎧🎧

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🎧🎧🎧



Saat ini Keva berada di ruang tamu. Memindah-mindah channel televisi tanpa minat, bahkan dia sudah puluhan kali menguap karena itu. Tangannya yang lain mengelus lembut Lazy yang lagi rebahan di atas sofa, berharap si pemalas itu bisa tidur dengan nyenyak.

Setelah seperkian menit berlalu, mata Keva beralih memandang langit yang tampak gelap. Senja sudah hilang sejak beberapa menit yang lalu dan sekarang malamlah yang kembali menemani cewek itu.

Merutuk dalam hati, Keva mendengkus. Andaikan bundanya ada di sini, dia pasti tidak akan merasa kesepian lagi. Daripada duduk diam seorang diri, bercerita dan tertawa bersama tentu akan lebih menyenangkan. Atau papa? Keva juga bisa belajar banyak tentang musik dan berbisnis, menambah pengetahuan soal bagaimana caranya membahagiakan orang lain, atau apa pun yang mampu membuat mood-nya membaik.

Ken? Apa kabar dengan cowok itu? Sedang apa dia? Apa cowok itu juga sedang memikirkannya?

Tidak. Keva segera mengalihkan pikirannya yang mulai meluas ke mana-mana. Semua topik yang dibahas dalam memorinya selalu merujuk ke nama itu. Dia tidak bisa berhenti bergelut bersama otaknya yang mempermasalahkan kejadian kemarin. Dia terlalu kepikiran dan hal itulah yang membuat Keva makin lelah.

Tak lama setelah Keva memejamkan mata, tiba-tiba pintu utama terbuka dengan sangat lebar. Dia kaget melihat siapa yang datang, terlebih saat mata hazelnya menangkap iris biru milik seseorang.

"Keva, kamu ngapain? Nggak repot, kan?"

Seseorang yang membuka pintu itu adalah Chelsy. Beliau bertanya dengan nada terburu-buru. Kalau dilihat-lihat, sepertinya beliau hendak keluar. Penampilannya terlihat sangat rapi, polesan make-up tipis pun turut mempercantik wajahnya.

Keva menggeleng cepat setelah beberapa detik. "Nggak, Tan, emangnya kenapa?"

Chelsy menghampiri Keva yang sejak tadi berdiri di depan sofa.

"Tante nitip Ken, ya." Belum sempat Keva menjawab, Chelsy lebih dulu melanjutkan perkataannya. "Tante ada visit di luar kota, mungkin besok pagi atau siang pulang. Kamu bisa, kan, ya, temenin Ken?"

Keva mengerjap-ngerjapkan matanya, berusaha mencerna baik-baik semua kata-kata itu.

"Kenapa pake ditemenin segala?" tanyanya sambil melirik sekilas Ken yang kebetulan ikut memperhatikannya.

"Tante kesel kalo nanti dia abisin nasi, buka kulkas lalu dilahap habis. Takutnya pas Tante balik, Ken berubah jadi gentong."

Seakan tak peduli dengan jawaban Keva, Chelsy dengan santainya menepuk puncak kepala cewek itu dan tersenyum. Beliau tampak seperti sengaja mengabaikan Ken yang menganga. Pikirnya, itu tidak penting. Lagi pula, apa yang beliau katakan barusan memang benar adanya. Chelsy sungguh tidak ingin kulkasnya habis hanya karena tikus sialan itu.

Chelsy lantas melakukan hal serupa pada Ken seperti apa yang telah beliau lakukan pada Keva tadi. Beliau mengucap salam terlebih dahulu, sebelum langkah membawanya pergi dari sana. Kecanggungan tiba-tiba menyerang Ken dan Keva. Mereka sama-sama terdiam di pijakan masing-masing, membisu satu sama lain.

Namun, baru saja setengah menit berlalu, Chelsy muncul kembali secara tiba-tiba.

"Lho, Ken? Kenapa kamu diem aja di situ?" tanya beliau ketika melihat Ken yang masih berdiri di posisi yang sama.

Sontak Ken berdecak kesal. "Tadi bunda bilang 'jangan ngapa-ngapain'. Ini Ken udah diem, napas juga enggak."

Tatapan Chelsy tiba-tiba berubah datar. "Susah ngomong sama kamu."

Tak perduli, Chelsy lantas melewati putranya itu tanpa melirik sedikit pun. Beliau pun menghampiri Keva karena sebenarnya alasannya kembali adalah hanya untuk itu.

"Ini kunci rumah." Chelsy mengulurkan tangannya yang membuat Keva sontak membeku. Beberapa detik cewek itu terus diam tak berkutik, tetapi akhirnya dia ambil juga kunci itu. "Kasih ke Ken kalo mau pulang."

Selepas mengatakan itu, Chelsy pun keluar dan benar-benar pergi dari sana. Keva yang awalnya bingung harus berbuat apa, kini memutuskan untuk meladeni Lazy saja. Cewek itu tidak mau terus-menerus diam di sana, karena dia tahu kecanggungan akan terus mendesaknya agar segera bersuara.

"Lo mau makan, Laz? Gue ambilin, ya?"

Mendengar kata 'makan', mata biru Ken sontak mengarah pada Keva yang sedang berjongkok melihat Lazy di sofa. Perutnya tiba-tiba keroncongan, demo minta makanan. Namun, Ken berusaha menyingkirkan itu. Dengan langkah pelan, cowok itu menebas jarak dan mulai mendekati Keva. Mata biru jernihnya kini menyorotkan binar yang teduh, tidak ada kekesalan atau candaan sedikit pun.

"Va?"

Mendengar nada suara yang tidak biasa, Keva tiba-tiba membeku. Cewek itu masih dalam posisi duduk membelakangi. Itu jelas membuat pandangannya belum tertangkap oleh tatapan Ken.

"Hm?" Sedingin mungkin Keva merespons, tetapi tenggorokannya tidak sepenuhnya mau berkompromi.

"Hadap gue," pinta Ken yang masih pada posisinya, menunggu Keva untuk kembali menanggapi perintahnya itu. Keva sendiri hanya menarik napas. Kalau boleh jujur, sebenarnya cewek itu tidak mau melihat mata biru Ken. Bukan takut gugup, dia hanya tidak ingin matanya terjebak.

"Mau lo apa? Bahas yang kemarin lagi?" tanyanya sambil memutar bola mata. Keva sudah tidak bisa menahan. Dia geram setengah mati mengingat semua perbincangannya bersama Ken sepeninggal Alex di depan kelas hari itu. Bukan karena dia tidak punya hati, Keva hanya kesal melihat perlakuan Ken kepadanya.

"Gue udah bilang, gue cuma nemenin Rere. Keluarganya lagi ada masalah, dia butuh perhatian," tutur Ken tanpa ada rasa bersalah. Kendati demikian, sorot matanya tetap mengarah ke cewek itu meski tak terbalas.

"Gue udah tahu. Tapi lo ngapain marah sama Alex? Dia juga nemenin gue, sama kayak lo nemenin Rere!" Keva sudah berusaha agar kalimat itu tidak bertanda seru, tetapi apalah daya kalau lisannya lagi-lagi tidak mau berkompromi.

Ken tiba-tiba diam, sementara Keva masih sibuk melanjutkan omongannya.

"Gue udah sering nge-chat lo, telepon lo juga. Tapi lo nggak kunjung bales, padahal gue tau lo lagi online." Meski terdengar marah, Keva merasakan ada rasa sesak yang tiba-tiba menusuk. Rasa sedih itu kembali menyelimutinya, mendorong air mata yang nyaris keluar dari pelupuk mata. Ken mendengkus, meyakinkan sekali lagi bahwa apa yang dia lakukan waktu itu ada alasannya.

"Tapi lo bisa nunggu, kan? Gue pasti dateng!"

Mendengar itu, Keva tertawa hambar. "Nunggu? Nunggu lo bilang? Nunggu seberapa lama? Lo nggak tau, ya, kalau gue—"

"Apa lo udah nggak percaya sama gue?"





🎧🎧🎧




Jangan lupa vote, comment, dan share.

Thanks!



Tertanda,
Rhe.

Can TryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang