16) Not The First

97 19 7
                                    

___________

"Am i still in the top of your list?"

___________

___________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



🎧🎧🎧



Pagi ini mungkin akan menjadi hari terbaik bagi Rere. Malam yang meruntuhkan semua fondasinya berubah menjadi sesuatu yang membuatnya tersenyum di hari berikutnya. Tidak ada lagi tangis ataupun keluhan bernada sama. Hari ini, dia kembali menemukan sumber kekuatannya. Harapan atas segala kesulitannya.

Rere tidak tahu harus mengucapkan kata apa untuk membalas jasa Ken yang sudah menyelamatkannya semalam. Terima kasih? Tidak. Itu tidak cukup. Mengingat cowok itu yang sudah bersikeras memberikan kehangatan dengan senyuman dan tawa, tutur kata bukanlah balasan yang pas untuk mengimbanginya. Terlebih ketika Ken juga menghadiahinya dengan perhatian yang sangat jarang cewek itu terima.

Sesuatu yang sudah lama hilang dari rengkuhannya.

Di samping itu, Ken—cowok yang sebenarnya dua hari lebih muda darinya—tiba-tiba datang ke rumah untuk menjemput. Dia menyambut Rere dengan senyuman, lelucon garing, dan memberinya sepotong sandwich buatan sendiri.

Cewek itu merasa bahwa Ken adalah satu-satunya orang yang paling mengerti keadaan. Tahu bagaimana perasaannya yang mulai retak. Tahu bagaimana cara menyelesaikan semua permasalahannya. Dengan cara yang tak biasa, dia mampu memberikan kebahagiaan yang sempat terkikis habis oleh konflik—takdir semesta yang tidak akan pernah bisa Rere lawan.

"Makasih, Ken. Gue seneng banget." Kalimat itu Rere ucapkan dengan tulus, diikuti dengan senyuman yang manis pula.

Refleks saja Ken membalas kata-kata itu dengan senyuman. "Sama-sama. Abisin dulu tu sandwich-nya. Jangan senyum mulu."

Rere terkekeh mendengarnya. Lantas, dengan gerakan manis pun dia mulai memakan sandwich buatan Ken. Rasanya mungkin biasa saja, sama seperti sandwich buatannya sendiri. Namun, entah kenapa, niat baik dari cowok itu membuat makanan kecil ini terasa sangat lezat di lidah. Rere jadi ingin menyimpannya saja di rumah.

Saat ini, mereka tengah berjalan menuju gerbang sekolah, menyapa beberapa teman sambil sesekali berbincang dan menebar tawa. Ken yang tinggi dan Rere yang semampai membuat keduanya tampak serasi jika disandingkan. Sayangnya, di samping tatapam kagum yang terpancar dari beberapa orang yang melewati keduanya, tak sedikit pula yang justru melemparkan tatapan berbeda.

Karena yang mereka tahu, Ken adalah milik Keva. Bukan Rere.

"Oh, ya, gue lupa! Jaket lo belum gue cuci." Rere tiba-tiba panik dengan pandangan yang langsung tertuju pada Ken. Saking kacaunya situasi kemarin, dia jadi lupa kalau jaket cowok itu masih ada padanya. "Yah, gimana dong, Ken?"

Ken menghentikan langkahnya tepat ketika mereka hendak masuk ke koridor anak kelas dua belas. "Santai aja kali. Gue masih punya banyak di rumah."

Sayangnya, sebelum Rere sempat menjawab perkataan itu, tiba-tiba ada suara dari belakang yang lebih dulu memotong.

"Ken?"

Ken dan Rere sontak terkejut ketika suara yang sangat familier menjamah indra pendengaran mereka. Itu suara Keva—cewek yang saat ini mematung tepat di belakang keduanya. Saat Ken menoleh sepenuhnya, dia mendapati sahabatnya itu yang bungkam seketika dengan tatapan yang sulit didefinisikan.

Sejenis sorot mata yang tidak bisa dia artikan.

"Oh ..., lo berangkat cepet-cepet buat jemput Kak Rere, ya?" tanya Keva sambil mengupayakan diri untuk mengulas senyum tipis. Kendati demikian, bukan berarti dia baik-baik saja sekarang. Melihat Ken yang sengaja meninggalkannya dengan tujuan untuk menjemput kakak kelas mereka—Rere, entah kenapa ... rasanya seperti ... retak?

"Gue—"

Perkataan Ken sontak terpotong karena Rere lebih dulu menyela, "Sorry, Va. Gue nggak bermaksud—"

"Nggak apa-apa," potong Keva cepat seraya melemparkan senyuman yang dibuat setulus mungkin. Kepalanya lantas menoleh lagi, memandang Ken yang baru saja ingin menjawab pertanyaannya.

"Gue, sih, nggak masalah kalo lo jemput Kak Rere, Ken. Tapi kasihan bunda lo, lo bo'ongin." Keva berujar dengan sirat nada yang benar-benar merasa kecewa, tentu itu berhasil membuat Ken dan Rere membulatkan mata.

"Eh? Serius?" tanya Rere spontan lantas dengan cepat ikut menoleh ke arah Ken. "Lo bo'ongin bunda lo, Ken?"

"Ha? Enggak, kok. Tadi gue bilang ada urusan."

Rere berdecak. "Tapi jangan gitu juga, dong. Kalo lo keberatan, ya nggak usah pakai jemput-jemput segala, Ken."

Sejenak, Keva terdiam begitu pikiran dan kekecewaannya mulai menyeruak. Sakit? Tentu saja. Dia merasa seakan Ken sudah berpaling darinya, mengabaikannya yang masih berharap, meninggalkannya dalam lorong yang gelap. Terlebih sekarang, Keva merasa bukan lagi menjadi prioritas seperti apa yang cowok itu bilang dulu, melainkan sudah tersisih dan tergantikan oleh Rere—kakak kelasnya sendiri.

"Gue nggak bo'ong. Gue bahkan udah ngomong kalau mau jemput Keva setelah lo," balas Ken tegas. Nahasnya, perkataan itu ternyata berhasil membuat Keva lagi-lagi terpaku.

Jadi sekarang, gue yang diterakhirin?

Sekarang, tidak ada yang tahu kalau Keva benar-benar merasa sangat kecewa. Napasnya mencelos. Degup jantungnya berhenti lebih lama. Cewek itu meneguk salivanya susah payah, berusaha menahan air mata yang entah kenapa selalu mendobrak di saat-saat yang tidak tepat.

"Udahlah, kenapa ini malah ribut?" Keva memutuskan untuk melerai meskipun dia tahu kalau getar suaranya akan terdengar.

Rere adalah pihak pertama yang menoleh ke arah Keva. Dia lantas berucap pelan, "Maafin gue, Va. Maaf banget lo jadi—"

"Gue bilang nggak papa, santai aja kali." Sambil menggigit bibir bawahnya, Keva berusaha mengukir senyuman lantas berbalik untuk segera pergi. "Ya udah sih, gue mau ke kelas dulu. Bye!"

"Keva!" teriak Ken yang entah kenapa malah tidak enak hati. Dia pun memutuskan untuk mengejarnya. Namun, Keva lebih dulu hilang ditelan sekat.



🎧🎧🎧




Hai, hai~
Ada yang masih inget sama Rere? Sebelumnya dia pernah muncul di chat-nya Ken, lho.

Lalu, adakah di antara kalian yang pernah ngerasain di posisi Keva?🤔

Emang, ya. Persahabatan antara cowok sama cewek itu nggak ada yang murni. Pasti ada yang suka karena telanjur sayang, eh.

Okelah, gitu aja. See you di chapter selanjutnya. Jangan lupa share cerita ini ke temen-temen.

Thanks!



Tertanda,
Ike.


Can TryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang