Bab 12 - A Relationship

187 39 12
                                    

[ Happy reading ]

Senja menyapa. Redupnya cahaya mentari terlihat mempercantik sebagian isi bumi. Mentari sudah siap untuk kembali ke peraduannya, menyisakan warna oranye kemerahan yang menyatu dengan langit.

"Cantiknya," gumam Leticia begitu melihat jepretan gambar pemandangan yang ia ambil sendiri dengan kamera miliknya.

Sore ini, gadis itu memutuskan untuk berjalan-jalan di halaman luas rumahnya. Memotret berbagai jenis bunga cantik dengan berbagai warna yang ada.

"Cantiknya. Aku bahkan sampai tidak bisa membedakan dirimu diantara bunga-bunga tersebut."

Leticia menoleh begitu mendengar suara yang sangat familiar di telinganya, suara Devian. Pria itu sedang tersenyum sambil memperhatikan nya dari kejauhan.

"Sejak kapan kamu di sana?"

"Sejak kamu asik sendiri bersama kamera milikmu," ucap Devian sambil berjalan mendekati Leticia.

"Boleh ku lihat?" Devian meminta izin kepada Leticia untuk melihat hasil jepretan gadis tersebut.

Dengan senang hati Leticia memberikan kameranya kepada Devian. "Tentu."

Keduanya saling diam. Devian sibuk melihat-lihat foto yang berada di kamera, sedangkan Leticia sedang fokus pada aktivitasnya memandangi langit sore. Semilir angin berhembus menembus kesunyian diantara keduanya.

"Devian." Leticia membuka pembicaraan setelah keheningan yang menyapa mereka. Devian pun mulai memusatkan perhatian sepenuhnya kepada Leticia.

"Ya?"

"Sebenarnya apa hubunganku denganmu? Bisakah kau memberitahu ku?"

Devian diam. Ini adalah pertanyaan yang sama dengan pertanyaan Kevin di sekolah kala itu. Leticia berharap jawaban Devian kali ini lebih serius, karena pertanyaan Kevin di kantin tempo lalu hanya dibalas sekenanya oleh Devian.

"Bukankah memang sudah seharusnya seorang putri bersama pangeran?" kata Devian kala itu.

Bagi Leticia itu bukanlah sebuah jawaban yang memuaskan. Terdengar sangat rancu dan tak bermaksud.

Devian terdengar menghela nafasnya singkat, pria itu menunda kamera milik Leticia dan tangannya beralih menggenggam tangan dingin gadis itu.

"Ini adalah pertanyaan yang sama dengan pertanyaan Kevin. Apakah kamu tidak cukup dengan jawabanku di kantin sekolah waktu itu?"

Leticia diam. Dirinya ingin menjawab iya, tapi ia juga tidak cukup tega untuk memaksa Devian menceritakannya jika pria itu memang tidak mau.

"Aku hanya ingin tau."

Devian tersenyum, ia mengelus puncak kepala Leticia dengan lembut dan berkata, "Aku tau kamu mungkin cemas dan ingin memastikan perasaanku dan hubungan kita..,"

"Sejak awal kamu tidak pernah ingin memiliki hubungan, kamu lebih memilih untuk saling berkomitmen. Apakah kamu ingin memiliki hubungan denganku saat ini?"

Leticia diam. Hubungan tidak penting bagi Leticia, ia hanya perlu tau bagaimana perasaan Devian kepadanya.

"Lantas, perasaan mu?"

"Tidak ada yang perlu ditanyakan dan diragukan lagi. Aku pasti akan selalu mencintaimu, terlepas ingat atau tidaknya kamu padaku," ucap Devian dengan lugas. Setiap kalimat terlihat penuh penekanan, membuat Leticia langsung mempercayai pria itu sepenuhnya.

"Aku pun. Entah aku ini Leticia yang kau kenal ataupun bukan, aku mencintaimu Devian."

***

Prang

Prang

Prang

Suara pedang yang saling beradu itu memenuhi ruangan. Seorang lelaki terlihat handal mengadu pedangnya bersama Leticia yang juga terlihat cukup baik. Permainan adu pedang tersebut terlihat sangat sengit seperti sedang berada di pertandingan sungguhan. Hingga akhirnya pria tersebut mengangkat sebelah tangannya, pertanda permainan usai.

"Cukup!"

Leticia yang sedang dalam posisi menyerang pun akhirnya mundur, setelah mendapatkan instruksi cukup dari pelatihnya.

"Cukup untuk latihan hari ini. Seperti biasanya, keahlian mu memang tidak bisa diragukan lagi Putri Leticia. Walau kau kehilangan ingatanmu, tetapi gestur tubuhmu tidak akan pernah lupa dengan hal yang sudah menjadi bagian dari hidupmu."

"Terimakasih." Leticia tersenyum lugu.

Billy mendekat dan merangkul Leticia, "Aku senang kamu kembali berlatih pedang, ku kira aku akan kehilangan mu..,"

Billy sedikit mendekatkan bibirnya ke telinga Leticia dan berbisik, "Aku merindukanmu."

Billy Joel Madden, ia adalah pelatih pedang Leticia sejak gadis itu masih berada di sekolah menengah pertama. Usia mereka hanya terpaut dua tahun, jadi mereka sudah sangat terlihat akrab, mungkin sahabat adalah kata yang pas untuk menggambarkan hubungan mereka berdua. Namun sekali lagi, jelas hubungan itu terjadi ketika Leticia belum kehilangan ingatannya. Kini di mata Leticia, Billy hanyalah sebatas pelatihnya.

Leticia diam. Tatapan Billy terlihat aneh, pria itu menatapnya dengan berbagai macam tatapan yang bisa ia artikan. Tatapan rindu, haru dan terlihat banyak menyimpan rahasia, itulah yang bisa Leticia artikan terhadap mata hitam legam Billy.

"Terimakasih coach. Apakah dari dulu aku memang sehebat ini?" Leticia sedikit bergurau dan gurauan tersebut dibalas tawa kecil yang manis oleh Billy.

Billy menggulung lengan baju bagian kanannya, "Lihat ini. Ini adalah tanda kehebatan mu."

Leticia menutup mulutnya yang hampir menganga. Dibalik kaos lengan panjang yang dipakai Billy ternyata terdapat sebuah luka panjang bekas goresan pedang yang cukup dalam disana.

"I-ini ulahku?"

"Ya, ini ulahmu, Leticia."

Leticia kembali terdiam. Apakah dirinya yang dulu di dunia ini memang sehebat itu?

"Hey kenapa melamun?"

"Ah tidak, aku hanya lelah. Aku ingin beristirahat."

Billy mengelus puncak kepala Leticia dengan lembut, "Istirahatlah."

Leticia berbalik meninggalkan ruangan latihan dan Billy, yang sedang menatap Leticia dengan sendu sampai punggung gadis itu tak terlihat. "Aku ingin kamu yang dulu."

To be continued. . .

Alter Ego [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang