[ Happy reading ]
Musim gugur hampir berakhir. Ranting-ranting pohon kini telah sepenuhnya ditinggalkan sang daun. Membiarkan angin musim dingin menerjang mereka yang berusaha tetap kokoh.
Pagi ini, suhu menurun beberapa derajat, memberikan kesan dan hawa yang sejuk bagi sebagian orang, termasuk Leticia. Ia berjalan gontai menuju kelasnya. Semalam setelah terbangun dari mimpi buruk tersebut, ia tidak bisa melanjutkan tidur nyenyak nya. Bayang-bayang Viona masih menghantuinya, walaupun hanya dalam bentuk mimpi. Terlebih, gadis itu mengatakan bahwa hidupnya tidak akan pernah bahagia.
"Itu hanya bunga tidur, tidak seharusnya aku mempercayai hal tersebut." Ia menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir pikiran-pikiran negatif yang bersarang di tempurung kepalanya.
"Leticia!"
"Hei Leticia!" Ia tersentak saat seseorang menepuk pundaknya. Vela menyapanya sedari tadi, tapi gadis itu sama sekali tak menyadarinya karena sibuk melamun.
"Apakah ada yang mengganggu pikiran mu?"
Leticia tersenyum kikuk, tidak mungkin ia menceritakan hal ini kepada Vela, "Tidak ada." Jadi ia lebih memilih berbohong kepada sahabat barunya tersebut.
"Syukurlah jika memang tidak ada."
Leticia mengangguk, lalu keduanya segera berjalan menuju kelas karena bel masuk sudah terdengar di seluruh sudut sekolah.
Selama pelajaran berlangsung pun Leticia tetap tak bisa memfokuskan dirinya pada materi, yang gadis itu lakukan hanya melamun sambil menatap kosong ke depan.
"Okay that is a lesson that I can explain today. See you at the next lesson, see you."
Mrs. Natania keluar dari kelas tersebut, karena jam pelajaran sudah habis dan sudah beralih menuju jam istirahat. Leticia tetap diam, tak ada tanda-tanda gadis itu akan bergerak dari tempatnya.
"Apa yang sedang mengganggu pikiran mu, hm?" Devian mengelus pipi Leticia dengan lembut. Ia tidak acuh, selama jam pelajaran Devian memperhatikan Leticia yang hanya diam layaknya patung, tepat di bangku yang berada di depannya.
Leticia tersentak, lalu menggeleng pelan. Entah sudah berapa kali ia tersentak kaget hari ini.
Devian mengulurkan tangannya, membiarkan gadis itu menggenggam tangan kokoh itu dan membawanya menuju kantin. Sesampainya di kantin, Devian membawa Leticia ke meja yang sama dengan kedua temannya, Kevin dan Cakra. Ada Maudy juga disana, gadis itu melirik Leticia dengan tatapan sinisnya, membuat atmosfer canggung menyelimuti meja tersebut.
Sejujurnya sejak awal Leticia memasuki sekolah ini, Maudy sudah tak terlalu menyukai putri kerajaan itu. Leticia terlalu diagungkan oleh seluruh siswa di sekolah ini, padahal menurut Maudy ia hanyalah gadis yang sama seperti para siswa lain. Terlebih ketika mengetahui bahwa Leticia adalah penyebab Alena patah semangat untuk bersaing, Alena merasa seorang putri bukanlah tandingan nya, apalagi dalam hal memperebutkan Devian, yang notabenenya adalah seorang pangeran pula.
Leticia menyadari tatapan itu diberikan untuknya, tapi ia lebih memilih untuk tak menghiraukan hal tersebut, lagipula ia sedang tidak berada dalam mood yang baik hari ini. Ia lebih memilih tetap diam di samping Devian.
"Lo, mau makan apa?" Cakra bertanya pada orang-orang yang berada di meja tersebut, khususnya pada Devian dan Kevin.
"Mie aja," pesan Kevin.
"Lo?" Cakra melirik Devian.
"Sama, gue juga mie."
"Maudy, lo mau pesan makan apa?"
"Apa aja asal pedes," ucapnya sambil lagi-lagi melirik Leticia.
"Leticia, mau makan apa?" Kini giliran Leticia yang Cakra tanyai.
"Aku sedang tidak ingin apapun."
Devian menoleh, "Kamu kenapa? Sakit?"
"Tidak apa-apa, hanya sedang tidak ingin apapun." Leticia tersenyum, berusaha meyakinkan Devian yang sepertinya sangat cemas dengan keadaannya sedari tadi.
Maudy yang melihat pemandangan itu pun memutar bola matanya malas. "Ck. Cari perhatian sekali."
Kevin menyenggol pelan bahu Maudy yang berada di dekatnya, berusaha mengingatkan adik sepupunya itu untuk bersikap sopan. Tapi Maudy adalah Maudy, si gadis tomboy dan kerasa kepala yang pernah ada.
Leticia masih mendiamkan gadis itu. Hingga makanan pun datang, Maudy sesekali masih melirik Leticia dengan sinis, membuat Leticia perlahan mulai terganggu tentu saja.
"Devian, bisakah secepatnya kita pergi dari sini?"
"Jika kamu mau, aku ak—,"
"Pergi aja sendiri, gak usah nempel terus sama Devian. Dia itu bukan pengawal lo." Sekali lagi, Maudy berulah, memancing emosi Leticia.
Cukup. Suasana hatinya sedang buruk hari ini, ditambah Maudy terus menyudutkan nya, membuat sesuatu dalam diri Leticia bergejolak. Ia menggebrak meja lalu merampas garpu milik Devian.
Ia bangun dan menodongkan garpu tersebut tepat di leher Maudy, membuat gadis itu diam, saking terkejutnya. Devian, Cakra dan Kevin pun terkejut dengan aksi Leticia. Sedikit saja ada seseorang tak sengaja mendorong Leticia, sudah dipastikan garpu itu menembus leher jenjang Maudy.
Tatapan Leticia sangat dingin, sedingin bongkahan es tak tersentuh di kutub utara sana. "Jangan pernah sesekali menggangguku, jika tidak ingin menjadi objek mainan ku."
Kevin dengan susah payah menelan saliva nya melihat kejadian itu. Leticia, seorang putri anggun yang ia kenal, kini terlihat seperti seorang pembunuh berdarah dingin.
"Leticia, apa yang kamu lakukan?"
Leticia menoleh ketika mendengar suara Devian. Ia memundurkan dirinya dan menjauhkan garpu tersebut dari leher Maudy. Ia juga menatap seisi kantin yang juga sedang menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian.
"Ck. Para manusia tidak berguna ini," decak nya sambil melemparkan garpu itu ke sembarang arah. Lalu pergi meninggalkan kantin, seorang diri.
Devian menatap kepergian Leticia dengan bingung, apa yang sedang terjadi? Gadis itu tampak bukan seperti Leticia, terutama tatapannya, tatapan itu seperti tatapan orang lain, menusuk dan penuh amarah.
To be continued. . .
KAMU SEDANG MEMBACA
Alter Ego [END]
FantasyLeticia, merupakan seorang gadis cantik keturunan bangsawan. Suatu saat ketika ia terbangun dari tidurnya, ada sesuatu yang berubah. Ia bukanlah Leticia yang dulu. "Jadi, kamu yang membunuh semua teman-temanku?" Leticia menggeleng. Ia tidak ingin...