[ Happy reading ]
Tatapan hangat yang biasa Devian layangkan tak lagi terlihat di kedua mata pria itu. Yang terlihat kini hanyalah bagaimana Devian menatap Leticia dengan pandangan kecewa dan penuh intimidasi.
Setelah bergelut dengan dirinya sendiri, Devian akhirnya memutuskan untuk keluar dari persembunyiannya selama dua hari terakhir dan menemui Leticia yang saat itu sedang berada di depan pintu kamarnya.
Muak. Itulah gambaran yang bisa Devian definisikan untuk gadis sok polos seperti Leticia.
Kini mereka sedang berada di halaman luas rumah Devian. Salju yang turun hari ini tidak begitu lebat, membuat beberapa aktivitas dapat dilakukan. Seperti berbincang-bincang bersama orang terkasih, sambil menyeruput teh maple yang dapat menghangatkan tubuh.
"Leticia, kamu orang yang membunuh Kevin, kan? Salah dia apa?"
Sebuah tanya pembuka yang berhasil membuat tubuh Leticia menegang, begitu mendengar pertanyaan yang secara gamblang ditunjukkan padanya. Darimana Devian mendengar hal itu?
"Aku tidak membunuh Kevin."
"Kamu bohong!"
"Aku ti—"
"Aku, benci kamu." Satu kalimat yang tak ingin Leticia dengar, lolos begitu saja dari mulut Kevin. Jari jemari yang sengaja ia mainkan menjadi gemetar. Rasanya, Leticia ingin menangis detik itu juga.
"Devian, bukan aku yang melakukan hal itu. Bukan aku."
"Jangan mengelak lagi, Leticia. Aku sudah menemukan bukti. Bukti bahwa kamu malam itu berada di tempat kejadian Kevin dibunuh dengan brutal, dan itu barang bukti jelas milikmu. Sebuah gelang yang kuberikan padamu."
Leticia meraba pergelangan tangan kirinya, dan benar saja, gelang yang berhasil membawanya ke dunia ini sudah hilang. Ia merutuki kecerobohan dirinya sendiri. Ah ralat, ia merutuki kebodohan alter yang berada di dalam dirinya. Caldrone.
"Benar, kan? Itu kamu..,"
"Dasar psikopat!" Dengan setengah hati, Devian melabeli julukan tersebut pada gadis terkasihnya. Sejujurnya ia tak cukup tega berlaku seperti ini pada Leticia, sebesar apapun rasa marah dan kecewanya, Leticia tetaplah gadis yang masih ia cintai. Semua terjadi begitu cepat, seolah waktu tak memberikan Devian kesempatan untuk menerima kenyataan, bahwa Leticia adalah seorang monster yang mengerikan.
Leticia menggeleng pelan, ia tak tak percaya Devian akan memanggilnya dengan panggilan hina tersebut. "Devian, aku bukan psikopat."
"Dasar psycho!"
"Aku bukan psycho!"
"Ya, kau bukan seorang psycho, Leticia."
Leticia menangis sejadi-jadinya begitu isi kepalanya mendadak ramai. Ingatannya tentang bagaimana orang-orang memandang dirinya sebagai psikopat membuat hati Leticia hancur. Sejak kecil, orang-orang menganggap dirinya psikopat, karena kepribadian dirinya yang berbeda. Padahal mereka tidak tau mengenai apapun, perihal apa dan bagaimana rasanya menjadi Leticia.
Ia manusia normal, yang hanya memiliki sedikit kekurangan. Leticia hanya merasa kesepian, hingga akhirnya ia hanya bisa memiliki Caldrone, alternya sendiri untuk menjadi teman. Leticia ingin disayangi, Leticia ingin dicintai, pun ia sangat ingin merasakan bagaimana rasanya mencintai seseorang sampai ia rela mati untuk orang tersebut. Leticia bukanlah seorang psikopat, karena sejatinya ia masih mempunyai hati yang bisa ia gunakan untuk menyayangi dan mencintai.
"Aku bukan psikopat, Devian. Seorang psikopat tidak bisa mencintai siapapun..,"
"Tetapi aku mencintaimu."
***
Sepasang kaki yang dibalut dengan sepatu berwarna merah kecoklatan itu berjalan lunglai, di atas putihnya salju, membuat beberapa lubang jejak tercetak jelas di belakangnya, membentuk sebuah jejak langkah kaki. Jalan yang ia tapaki juga terlihat seperti, seolah-olah semesta memang menjatuhkan takdir kepada dirinya untuk selalu berteman dengan kata sepi.
Sisa-sisa air mata masih menggantung di pelupuk matanya. Ini adalah pertama kalinya seorang Leticia menangis, setelah kehilangan seseorang yang menjadi alasan dirinya dicintai dan merasa ingin mencintai.
"Leticia!" Suara seorang lelaki yang akhir-akhir ini sering bersamanya terdengar di telinga Leticia. Namun ia tidak cukup senang untuk merespon panggilan tersebut.
"Hei! Apa yang mau lakukan di sini?" Pria itu tampak khawatir melihat Leticia sedang berjalan seorang diri dengan keadaan lesu seperti ini.
"Billy..,"
Billy melihat-lihat sekitar, cukup sepi ternyata, ia pun akhirnya bisa menghembuskan nafasnya dengan lega. Hari ini, ia khawatir dan pergi untuk mencari sosok Leticia ke manapun, hingga akhirnya ia menemukan gadis yang sudah rapuh tersebut sedang berjalan sendirian di tempat yang cukup sepi.
Pagi ini, Leticia di tetapkan sebagai tersangka atas kasus pembunuhan Kevin oleh pihak kepolisian, tentunya berdasarkan barang bukti yang ditemukan. Ia juga di duga sebagai tersangka pembunuh berantai. Seluruh televisi nasional dengan gencar menyebarluaskan berita tersebut, tentang bagaimana seorang putri kerajaan yang terkenal baik hati dan lemah lembut menjadi seorang pembunuh. Terlebih Leticia membawa nama besar Gladstone, salah satu bangsawan yang terkenal baik atas kebaikan hatinya.
Billy yang melihatnya pun segera sibuk mencari Leticia di kediamannya. Namun saat Billy mendatangi rumah tersebut, Leticia tidak ada ditempat, yang ada hanyalah Damarion dan Joana yang terlihat sangat shock mendengar berita tidak mengenakkan itu. Kalau ia tidak salah, Joana bahkan hampir saja tak sadarkan diri di pelukan sang suami. Namun atensinya kali ini hanya tertuju pada Leticia, ia harus menemukan gadis itu dimana pun dalam keadaan baik, dan disinilah akhirnya ia berada.
"Jangan menangis." Dengan sigap, Billy menarik Leticia ke dalam pelukannya.
"Devian. Pria itu membenciku."
To be continued. . .
Hai! Btw udah lama banget gak up wkwk. Maaf ya, aku lagi sibuk prakerin huhu😭
Btw masih ppkm nih, gimana kabarnya? Stay safe terus ya temen-temen, jaga tubuh dan pikiran supaya imun nya kuat🤩Jangan lupa juga di vaksin! So hope u like it guys, jangan lupa vote dan comment yaa, Thank u!
KAMU SEDANG MEMBACA
Alter Ego [END]
FantasyLeticia, merupakan seorang gadis cantik keturunan bangsawan. Suatu saat ketika ia terbangun dari tidurnya, ada sesuatu yang berubah. Ia bukanlah Leticia yang dulu. "Jadi, kamu yang membunuh semua teman-temanku?" Leticia menggeleng. Ia tidak ingin...