Bab 20

80 7 0
                                    

Written by: @MilaYashmy


Bayu menjelaskan semuanya kepada Airin. Mulai dari dirinya melihat dan menolong anak malang yang tertabrak , hingga terburu-buru menuju tempat di mana Airin menunggunya. Airin hanya diam tanpa merespons penjelasan Bayu. Jadi, alasan Bayu terlambat menemuinya karena menolong korban kecelakaan.

Airin merasa bersalah. Seharusnya ia mendengarkan alasan Bayu malam itu. Bukan malah pergi begitu saja. Namun, perasaan bersalahnya sedikit lenyap saat ia teringat sesuatu.

"Tapi seenggaknya kamu ngabarin aku, Bay. Meski cuma nelepon bentar atau ngirim pesan singkat ke aku. Biar akunya juga gak nunggu kamu malam itu."

"Aku benar-benar minta maaf, Ai. Aku kalut waktu itu. Pas gelihat dia tertabrak, aku jadi keinget sama adekku."

"Memang adekmu kenapa?"

Rasa itu kembali lagi. Rasa yang membuat dada Bayu terasa sesak. Apakah ia harus menceritakannya kepada Airin?

"Bay?" panggil Airin saat Bayu tak menjawab pertanyaannya.

Bukannya membalas, Bayu justru balik bertanya. Membuat Airin mengerutkan alis—bingung.

"Kamu besok free, 'kan? Bisa ketemu, Ai?"

"Iya. Boleh."

*~*

Airin menuju ruang tamu di mana seseorang menunggunya di sana. Belum sempat ia menyapa orang itu, tiba-tiba tubuhnya terhuyung beberapa langkah ke belakang.

Airin berdecak gemas ketika Cika memeluk dirinya. "Apaan, si, Cik? Dateng ke rumah gue seenaknya. Main nemplok lagi!"

Cika hanya menanggapi dengan cengirannya.

Kenapa, ni, bocah? Airin tak menunggu lama untuk mengurai pelukan mereka. Matanya beralih melihat Bayu yang duduk di seberang seraya memandanginya.

"Elo dateng ke sini barengan sama dia?" bisik Airin di telinga sahabatnya.

"Cuma kebetulan aja tadi nyampe sini bareng, Rin. Tenang aja! Gue gak bakal nikung sahabat sendiri." Cika menepuk-nepuk bahu Airin sembari mengerlingkan mata.

Airin membalasnya dengan pelototan kecil. Ia tak ingin menggubris gurauan sahabatnya. Lagipula, Cika terlihat aneh hari ini. Entah, apa yang merasuki gadis itu.

"Udah siap, Ai?" tanya Bayu saat Airin mendudukkan diri di sampingnya.

"Udah. Tapi aku belum izin."

"Udah aku izinin."

"Hah? Sama siapa?" Airin merasa heran. Perasaan, di rumahnya tak ada siapa-siapa sekarang. Bayu izin ke siapa?

"Izin sama kakak," sahut Arom dari arah belakang. Lelaki itu datang dengan membawa nampan di tangannya.

"Kakak kasih izin aku buat keluar sama Bayu?"

"Iya. Biar gak stres. Ngendep mulu di kamar."

Airin menghela napas. Ia tak suka dengan ucapan kakaknya. "Kalau kasih izin, kenapa malah bawain minuman?"

"Lah? Ini buat kakak!"

Airin menatap tak percaya. Dua gelas minuman hangat itu hendak diminum kakaknya seorang? Entahlah! Airin tak ingin ambil pusing. Ia lantas mengajak Bayu berpamitan dengan Arom secepatnya. Namun, ia tak langsung keluar rumah saat melihat Cika yang diam saja.

"Lo, gak pulang, Cik? Gue udah ada janji duluan buat keluar sama Bayu. Lo, sih, datang ke sini gak bilang dulu ke gue."

"Ga papa, pergi aja. Cika di sini!"

Bukan! Bukan Cika yang menjawab, melainkan Arom. Lelaki itu berkata dengan santainya sambil menyeruput cokelat panasnya. Melihat hal itu, membuat tiga orang yang berada di sana melongo. Apa maksud Arom? Dia ingin Cika di rumah bersamanya?

"Cika di sini buat nemenin kakak ngabisin minuman aja. Kasihanlah. Dia udah jauh-jauh dateng, eh, malah ditinggal kencan," terang Arom dengan kekehannya.

Airin ingin memprotes ucapan Arom. Namun, urung ia lakukan tatkala Cika seperti menyetujui kakaknya.

"Iya. Gapapa, Rin. Lo pergi aja. Bayu juga udah ngeluangin waktu buat ketemu sama lo. Gih!"

"Iya, deh. Gue tinggal dulu kalau gitu. Maaf, ya."

*~*

Airin dan Bayu menunggu pesanan mereka datang. Keduanya tak lagi menghabiskan waktu berdua di Kafe UpNorm. Bayu tak ingin jika Airin teringat malam yang membuatnya jatuh sakit karena dirinya. Jadi, ia mengajak cewek itu ke kafe yang belum pernah mereka datangi sebelumnya.

"Kamu udah maafin aku, Ai?" Bayu membuka obrolan lalu menyedot minumannya.

"Kalau enggak, ngapain aku di sini sama kamu."

Bibir Bayu seketika terangkat tipis mendengar ucapan itu. "Syukurlah."

Mereka terdiam agak lama. Sudah berbaikan, tapi masih canggung saja. Airin yang tak kuat dengan keheningan pun bertanya, "Kamu sempet bilang kemarin, Bay. Kalau kamu kalut pas nolongin anak kecil itu. Emang parah banget, ya?"

"Iya, Ai. Dia kehilangan banyak darah. Kamu juga udah aku kasih tahu kalau donorin dia. Aku masih kebayang kejadian itu. Kurang ajar banget emang mobil yang nabrak itu anak!" Bayu berkata sembari menggebrak meja cukup keras. Ia spontan melakukannya karena kejadian itu seolah déjà vu baginya. Meski yang terjadi memang begitu adanya, yakni bukan sekadar perasaan dalam ingatannya.

Dengan ragu-ragu, Airin menggenggam tangan Bayu. Ia mencoba menenangkan cowok di depannya yang seperti trauma atas kejadian tersebut.

"Maaf, Ai. Aku bikin kamu kaget, ya? Aku gak bermaksud. Cuma ...." Bayu menggantungkan kalimatnya. Membuat Airin menatapnya dalam.

"Gapapa kalau kamu belum siap cerita, Bay."

"Enggak, Ai. Aku harus bisa ngalahin perasaan takut itu. Aku harus bisa ngatasinnya dengan berani cerita ke orang yang aku percaya." Bayu menarik napas. Ia memandu otaknya untuk menyusuri keadaan di tahun silam dalam hidupnya.

*~*

Enam tahun yang lalu.

Bayu dengan cepat menaikkan laju motornya. Ia merasa jika dirinya terlambat untuk menjemput adik tersayangnya. "Semoga gue gak telat. Bisa ngambek dia."

Tak butuh waktu lama. Bayu sudah sampai di seberang tempat kursus adiknya. Ia tak bisa memarkirkan motornya di sekitar tempat itu lantaran lahan yang kurang memadai. Jadi, ia hanya bisa melihat dari kejauhan apakah adiknya sudah keluar dan segera menemuinya.

Bayu tersenyum lebar saat mendapati Dani melambaikan tangan ke arahnya. Ia paham, adiknya pasti tak sabar untuk segera pulang.

"Tunggu. Kakak ke sana!" teriak Bayu agar terdengar oleh Dani. Namun, Dani seperti tak menangkap seruan kakaknya. Anak itu justru melangkah menuju jalan raya tanpa menoleh ke kanan–kiri. Tiba-tiba, kendaran datang dari kejauhan dengan kecepatan tinggi.

Brak!

Jantung Bayu seakan lepas dari rongga dadanya. Tubuhnya pun seolah kaku karena pemandangan baru saja.

"Dani!" Bayu segera melangkah ke arah tubuh kecil yang tergeletak tak berdaya. Jalanan cukup lenggang, hanya ada satu mobil yang lewat.

"Brengsek!" umpat Bayu ketika melihat mobil yang menabrak Dani melaju begitu saja—meninggalkan korbannya.

Ia menjerit sekeras-kerasnya tatkala mengetahui adiknya sudah tak lagi bernyawa.

*~*

"Akh!" Bayu memegang pelipisnya. Ia merasa, kepalanya dihantam oleh sesuatu yang amat besar. Kejadian itu membuatnya tak bertenaga. Mata Bayu pun seketika berkunang-kunang dan ....

"Bay? Kamu gapapa? Bayu!"

BK8 - Renjana AirinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang