Bab 25

27 5 0
                                    

Written by GCAmelis

(wattpad @gaphpad; instagram @gaphrut @mulaidarig)


Airin mulai terbiasa dengan keheningan yang sudah berjalan kurang lebih tiga puluh menit. Setelah memastikan Airin baik-baik saja dan tidak memerlukan penanganan medis lanjutan, Revan mengemudikan mobil sambil tenggelam dalam pikirannya sendiri. Beberapa kali Airin mencuri pandang ke arah Revan yang sedari tadi tampak berpikir keras sambil menyetir.

Kali ini mereka kembali berkeliling tanpa tujuan. Bedanya, aroma mobil kini berganti jadi aroma manis karena mobil penuh dengan kudapan bergula seperti bubble tea, gelato, dan soft cookies. Airin sengaja membeli makanan manis karena katanya bisa memperbaiki mood. Namun, camilan itu tidak ada yang disentuh Revan, menjadikan Airin sebagi pengunyah tunggal dalam mobil.

Baru dua kali mereka jalan-jalan di dalam mobil seperti ini, tapi Airin cukup menikmatinya. Walaupun lagu yang dari tadi diputar adalah lagu antah-berantah buat Airin, tapi gadis itu suka menyelami liriknya. Hitung-hitung sekalian nambah kosa kata dalam bahasa Inggris. Satu-satunya hal yang mengganggu Airin dalam perjalanan kali ini adalah apa yang ada di pikiran Revan. Hei, kenapa dia sangat ingin mengetahuinya? Apakah karena ini ada hubungannya dengan Bayu?

Tiba-tiba Airin mendengar suara dengusan Revan yang sangat sinis. "Aku tuh kadang penasaran loh sama hidup orang-orang kayak kalian. Semuanya tampak mudah, ya?" tanya Revan terdengar seperti menyindir.

"Kalian?" gumam Airin minta klarifikasi.

"Iya, kalian. Lo, Bayu, Andre, dan temen lo si Moses itu. Gini, deh, gue tahu gue ini dari keluarga yang berantakan, sedangkan kalian dari keluarga baik-baik. Seakan-akan hidup gue belum cukup berantakan, kalian bisa bebas aja gitu ngomentarin hidup gue?"

Airin kesal karena sepertinya di sini dia jadi peran antagonis. Namun, kalau ditelaah lebih lanjut, bukankah perkataan Revan ada benarnya? Dulu dia anti bergaul dengan Revan, seperti pria itu kuman yang harus dibasmi. Tapi, itu semua kan karena sikap Revan yang seenaknya.

Ah, ini bukan saatnya membela diri kan, Rin?

"Van, maaf kalau ucapan Moses tadi nyinggung lo." Airin mencoba meredakan amarah Revan.

"Oh, enggak, kok. Itu emang fakta," sanggah Revan cepat.

Airin menelan ludahnya. Jadi Revan benar penyebab tewasnya adik Bayu enam tahun lalu?

Mereka kembali tenggelam dalam keheningan sampai akhirnya tiba di depan rumah Airin. Gadis itu sedikit kecewa karena sebenarnya dia ingin ngobrol lebih lanjut.

Revan menoleh dan menatap Airin, "Kalian enggak akan pernah mengerti apa yang harus gue alami untuk benar-benar menghadapi diri gue sendiri." Perlahan tatapan Revan melembut, lalu dia melanjutkan, "Waktu gue minta kita berteman, it is such a big step of my life, Rin. Waktu itu gue pikir, mungkin ... mungkin ... di tengah hidup gue yang enggak karuan ini, I deserve something good. I thought we can be friends and get into each other's shoes. Sekarang gue sadar, I think way too highly of myself."

Airin tertegun. Dia merasa justru dirinyalah yang selama ini merasa lebih baik dan lebih bermartabat dibanding Revan. Iya, 'kan?

"Rin, gue akan ngasih tau lo satu lagi rahasia terbesar dalam hidup gue. Setelah ini, gue enggak akan ganggu hidup lo lagi. Gue juga harus menghadapi kenyataan kalau beberapa orang enggak butuh gue dalam hidupnya. Harusnya gue tahu diri sejak dulu, ya. Harusnya waktu lo bilang mau pertemanan yang diam-diam ...."

"Rev, maksud gue bukan kayak gitu," potong Airin cepat, "gue minta maaf kalau perkataan gue menyinggung." Airin mendadak pucat begitu mengingat ucapannya ke Revan beberapa waktu lalu. Kalau dilihat dari sisinya, dia memang punya alasan. Namun, kalau dilihat dari sisi Revan, hal itu seakan-akan mengindikasikan kalau berteman dengan cowok itu adalah sebuah aib.

"Never mind," ucap cowok berahang tegas itu, tidak memberikan waktu bagi Airin untuk menjelaskan lebih lanjut. Revan kembali menatap jalanan di depan dan lanjut bercerita, "Gue emang pembunuh, seperti kata Moses. Enam tahun lalu kakak gue depresi. Orang tua gue enggak ada dalam posisi yang bisa ngasih dukungan secara emosional buat dia. Sedangkan gue justru malah benci sama dia karena dia buat masalah. Buat gue waktu itu, dia seharunya jadi sosok yang melindungi gue, bukan yang justru nambah beban. So, I left him. Setelah menjalani terapi selama tiga minggu, dia meninggal. Orang bilang itu bunuh diri, but I know it is not."

Dengan tatapan tajam tapi penuh rasa bersalah, Revan menatap Airin, "I killed him."

Pikiran Airin mendadak terbelah. Di satu sisi dia berpikir apakah ini ada hubungannya dengan Bayu? Di sisi lain dia tidak bisa membayangkan punya hidup serumit Revan. With all those pains of the past, he managed to survive. Airin merasa setiap lapisan hidup Revan tidak pernah berhenti mengguncang hati nuraninya.

"Waktu itu gue dapat hadiah mobil dari Papa. Kak Arvian mau pinjam untuk pamer sama teman-temannya. Gue seharusnya enggak kasih pinjam mobil itu karena tahu dia memang kurang lancar nyetir. Setelah itu dia mengalami kecelakaan. Papa mengurus semuanya dengan baik supaya dia bisa terus melanjutkan hidup dengan normal, tapi sejak itu hidupnya justru berubah jadi lebih buruk. Bukannya ngasih dukungan buat dia, gue malah menghindar. Gue merasa bersalah tapi gue juga enggak mau nambah beban dengan mikirin masalah Kak Arvian. I was so full with my own problem at that time. Ucapan yang terakhir yang gue bilang sama dia adalah 'go away'."

Revan mengacak rambut dan wajahnya dengan kasar.

Airin menatap Revan nanar. Dia pernah melihat sosok dengan kekalutan yang sama. Bayu. Kedua orang itu sama-sama terluka dan sama-sama kehilangan, walau dengan cara yang berbeda.

Airin termangu begitu menyadari semakin jauh dia tahu tentang hidup Revan, semakin dia bisa memahami cowok itu dari sisi yang lain.

"Van, kalau aku boleh tahu ... kecelakaan yang dialami kakak kamu itu ...." Airin tahu keingintahuannya itu agak tidak pantas ditanyakan, tapi dia harus tahu faktanya supaya dia bisa mengurai masalah ini.

"Kak Arvian nabrak seseorang sampai meninggal. Papa mengerahkan segala cara supaya Kak Arvian tidak terbukti bersalah. Rupanya setelah itu dia malah tidak bisa memaafkan dirinya sendiri sampai akhirnya ...."

Revan menelan ludahnya karena tidak sanggup melanjutkan ceritanya. Saat melihat ke arah Airin, dia melihat gadis itu menutup mulutnya karena menyadari sesuatu. Ada sedikit perasaan terluka dalam hati Revan karena dia harus siap kehilangan gadis itu.

"Kamu tahu kalau yang ditabrak Kak Arvian sampai meninggal itu bisa jadi ... adiknya Bayu?"

Revan menatap Airin dengan tatapan terkejut.

"Ai, semua orang itu pasti punya alasan ...."

Entah kenapa pikiran Airin melayang pada kalimat yang diucapkan Kak Arom kepadanya. 

BK8 - Renjana AirinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang