Hari Kedelapanbelas : Jihyo bilang dia sayang Merkurius~

591 59 5
                                    

"Tapi, dulu. Dulu sekali. Cuma karena fisik gue,"

Para Human tercekat.

"Gue jadi korban bullying."

• • •

Jiho bingung harus melakukan apa. Ia melirik Chaeyeon yang tertidur pulas di kasurnya. Waktu sudah menunjukkan tengah malam. Tapi, bagi Jiho, setelah semua yang terjadi hari ini . . .

. . . Mana bisa dirinya tidur begitu saja?!

"Yugyeom kampret," desisnya kesal. "Coba saja tuh anak nggak mancing-mancing. Merkurius nggak bakal jadi kek kuburan."

Kadang Jiho bersyukur kalau Merkurius sepi. Jiho juga bersyukur kalau Merkurius ramai. Cuma, Jiho lebih bersyukur kalau Merkurius sepi dan ramai di waktu yang tepat.

Dan sekarang, ia butuh Merkurius yang ramai. Merkurius yang berisik bahkan ketika ayam tetangga masih pada tidur.

Matanya mengerjap menatap sinar bulan yang terpantul indah di luar jendela. Tirai kamarnya berkibar. Menghantarkan hawa dingin yang nyaris membuat bulu kuduknya berdiri.

Jiho merapatkan selimut tipis yang dikenakannya. Pelan-pelan dengan langkah jinjit, mencoba mencapai pintu kamar. Jiho tidak tahan dengan suasana canggung ini. Jadi, ia memutuskan menghabiskan waktu di dapur sambil meminum segelas teh hangat.

Sebelumnya, Jiho memastikan Chaeyeon sudah tertidur pulas. Sampai seluruh tubuhnya berada di luar, baru Jiho menghela napas lega. "Oh, gini rasanya jadi mata-mata. Harus sering tahan napas ya."

Tiba-tiba dari arah kanan, ada sorotan terang cahaya senter yang membuat matanya silau seketika.

Jiho berdecak. "Ini gue. Nggak usah senter-senteran."

"Kaki lo napak, kan?"

"Kalo melayang memang kenapa?"

"Berarti lo kuyang."

"Nih, nih, nih. Sandal gue nih." Jiho melempar kedua sandal rumah yang dipakainya. Sebagai bukti kalau kakinya napak di lantai. "Matiin senternya, Jihyo. Rabun mata gue lama-lama."

Tanpa menghiraukan Jihyo yang mendumel di belakangnya, Jiho meneruskan langkah menuju dapur. Semakin ia berjalan ke bawah, semakin dingin hawa yang menerpanya. Jiho mengusap tangannya beberapa kali sampai tiba di ambang pintu dapur yang hangat.

"Tungguin gue," Jihyo berbisik kecil ke arah Jiho meski yakin Jiho nggak mendengarkannya.

Saat tiba di tangga bawah, Jihyo malah melihat Jiho berdiri diam di depan dapur. Ia mengerjap sebentar sebelum menyusul Jiho ke sana.

"Ada apa? Kok berhenti?"

Jiho menoleh. "Ada yang lagi mabok."

"Hah? Mabok?" Jihyo ikut mengintip dari balik bahu Jiho. Menemukan seorang pria terduduk di kursi pantry. "Ah, Eunwoo. Biasa lah dia. Yuk, masuk."

Jihyo segera mendudukkan dirinya di depan Eunwoo. Sementara Jiho menyiapkan dua cangkir mug untuknya dan Jihyo. Ujung matanya melirik Jihyo yang menumpuk kedua tangannya di atas meja. Fokus memperhatikan Eunwoo.

"Kenapa belum tidur? Katanya besok lo ujian?" tanya Jihyo sambil mengupas jeruk di atas keranjang. "Lo nggak takut besok ngantuk pas ngerjain?"

Eunwoo menggeleng pelan. Beralih meneguk sodanya yang tersisa sedikit. "Gue lebih khawatir besok bangun siang. Malah nggak ikut ujian."

"Maksudnya," Jihyo menelan jeruk di mulutnya. "Maksudnya, lo mau nerobos di sini sampai pagi? Gila. Masih jam satu lho ini. Mending tidur. Jangan sia-siain waktu istirahat lo."

L O C K S R A M A | 97 LineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang