Adrian berdiri dan menatap sekeliling. Ia hanya mendapati warna hijau dan biru yang ada di hadapannya. Laki-laki yang mengenakan pakaian serba hitam itu berdiri di hamparan rumput yang luas. Langit berwarna biru seluruhnya. Ia seperti berada di dunia lain. Ia tidak mendapati satupun pohon atau bangunan. Yang ada hanya lahan hijau dan langit biru.
Kemudian ia menemukan seseorang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ia mematung, matanya menatap lurus pada wanita paruh baya yang berdiri menghadap arah berbeda. Rambut wanita itu bergelombang dan terus bergerak karena tertiup angin.
Adrian berusaha melihat wajah wanita itu. Entah mengapa, ia yakin kalau wanita itu adalah seseorang yang selalu ia rindukan. Seseorang yang sudah lama ia rindukan meskipun ia tidak tahu bagaimana rupanya.
Adrian hanya mampu melihat sisi samping wajah wanita itu, tetapi wajahnya tidak terlihat jelas. Wajah wanita itu mengabur layaknya foto dengan kualitas rendah. Ia mencoba memanggil dengan satu kata yang selalu ingin ia ucapkan, tetapi suaranya enggan keluar.
Wanita itu bergerak menjauh. Langkahnya terkesan lambat dan anggun. Adrian kembali mencoba memanggil wanita itu, tetapi suaranya tetap enggan keluar. Perlahan, punggung wanita itu semakin menjauh dan menghilang dari pandangannya. Tanpa satu pun kata, wanita itu lenyap dari pandangannya.
Adrian terbangun karena suara yang muncul dari dapur. Ada sesak yang memenuhi dadanya. Ia menarik napas panjang, berusaha menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Namun, usahanya sia-sia karena ia tidak berhasil menenangkan dirinya.
Jari-jarinya menyusup ke helai rambut yang jatuh di kening dan sekitar pipinya. Laki-laki dengan rambut lebih panjang dari kebanyakan kaumnya itu mengikat rambutnya hingga membentuk kucir ekor kuda. Perasaannya menjadi lebih baik setelah melakukan hal itu.
Ia meregangkan tubuhnya sebentar sebelum turun dari ranjangnya. Ia menatap cermin yang menggantung di samping lemari pakaian miliknya. Ia mengamati pantulan wajahnya dengan seksama, tetapi ia tidak menemukan hal yang dicari.
Ia terlalu mirip dengan ayahnya. Bahkan tahi lalat yang ada di dekat sudut mata mereka pun sama. Sekeras apapun usaha Adrian mencari jejak-jejak genetik yang ditinggalkan wanita yang sangat ia rindukan itu, ia tetap tidak bisa menemukannya.
Adrian memilih menghentikan kegiatannya sebelum ia mulai menyalahkan diri sendiri. Ia sangat kesal saat ia tidak dapat mengira-ngira bagaimana wajah wanita itu. Namun, ia tetap bersyukur dilahirkan dengan wajah yang menyerupai ayahnya.
***
Setelah membuka pintu kamar, laki-laki berparas oriental itu menghirup aroma yang menyeruak kemudian ia tersenyum. Kedua matanya membentuk bulan sabit kembar. Ia tahu betul kalau wanita favoritnya sedang memasak.
Ruangan berukuran 3 x 3 meter itu terlihat sederhana dengan satu set meja makan dengan empat kursi. Kompor dan wastapel terletak di salah satu sisi dan jendela besar di sisi lainnya. Cahaya matahari masuk dari jendela yang sudah dibuka tirainya.
Wanita dengan rambut yang sudah beruban itu terlihat sibuk di depan kompor. Dari bau yang menyeruak, Adrian tahu kalau wanita itu tengah memasak makanan favorit ayahnya.
Laki-laki dengan kucir ekor kuda itu mendekat dan memeluk wanita berdaster itu dari belakang. Tinggi mereka yang terpaut jauh membuat wanita itu tenggelam tidak terlihat. Bukannya terharu, wanita itu malah menepuk tangan Adrian pelan kemudian berbalik.
"Mada, nggak lihat Ibu lagi masak?" Wanita itu berkacak pinggang sambil memegang sudip. Daster panjang yang dikenakan membuatnya terlihat manis, tetapi kata-kata yang keluar dari mulut wanita itu membuat senyum Adrian menghilang sempurna.
Tangan Adrian gemetar. Ia menatap wanita itu dalam, matanya turut bergetar dan mulutnya tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Akhirnya ia memilih untuk menarik wanita itu dalam pelukan.
"Kamu kenapa sih? Pagi-pagi sudah peluk Ibu?" Wanita itu memaksa melepaskan pelukan.
Mata sipit Adrian sudah berkaca-kaca. Ia mengepalkan tangan dan berkata, "Ini Adrian, bukan Mada."
Bukannya bereaksi pada pernyataan Adrian, perhatiannya justru teralihkan pada hal lain.
"Tuh kan, oseng tempe Ibu gosong. Kamu sih ngajakin ngobrol. Mandi sana!" Wanita beruban itu menepuk pelan lengan Adrian.
Laki-laki itu melangkah mundur. Sama sekali tidak terkesan dengan kata-kata yang ia dengar. Ia memilih untuk berjalan kembali ke kamarnya. Begitu tangannya meraih knop pintu, ia menghela napas. Air mata yang sedari tadi tertahan akhirnya mengalir dari sudut matanya. Ia mengusap pipinya kasar dan menahan sesak yang ada.
Begitu masuk ke kamar, ia menarik kursi belajar dan kembali menatap bayangannya di kaca. "Kenapa harus gue?"
Laki-laki dengan pakaian tidur itu menatap sinis pada bayangannya sendiri. Ia melepaskan ikat rambutnya dan kembali menatap nanar pada pantulan wajahnya sendiri.
Dering ponsel membuat lamunan Adrian terpecah. Ia menoleh dan meraih ponsel yang menjadi sumber suara. Ia menyentuh layar ponsel dan menempelkan benda pipih itu ke telinganya.
"Adrian Birendra, lo di mana?"
Adrian menjauhkan ponsel dari telinganya ketika mendengar teriakan. Temannya ini memang punya kebiasaan berteriak ketika panik maupun senang. Meski sudah terbiasa, tetapi telinga Adrian tetap perlu dijaga kesehatannya.
"Hari ini jadwal kita kumpul sama kating. Lo dimana? Kurang satu orang, gue bisa abis, Kampret."
Dengan suara pelan dan tenang, Adrian menjawab, "Gue bakal sampe sebelum waktu yang ditentukan."
"Buruan."
Mau tidak mau, Adrian beranjak dari tempatnya dan segera menuju ke kamar mandi.
***
Laki-laki berkemeja abu-abu itu sengaja membiarkan rambutnya terurai. Ia menyampirkan tasnya di bahu kiri. Ikat rambut hitam melingkar di tangan kirinya.
Ia membuka tudung saji yang ada di meja makan, mengambil sepotong tempe mendoan dan meminum seteguk air. Ia sempat tersenyum pahit melihat orek tempe yang punya warna hampir hitam tersaji di meja makan.
Adrian berjalan ke halaman belakang dan mendapati wanita beruban itu sedang mencabuti rumput di sekitar tanaman hias yang ia tanam. Cangkul kecil dan sekop turut ada di sana.
Wanita itu langsung berdiri dan menepuk tangannya untuk membersihkan sisa-sisa tanah yang ada di tangannya.
"Sudah mau berangkat?" Wanita itu tersenyum hingga lesung pipi di pipi kirinya terlihat jelas.
"Iya." Laki-laki bergelang ikat rambut itu menyalami tangan kanan wanita tua itu dan menggenggamnya erat. "Nggak usah ke mana-mana ya? Nanti siang Adrian pulang kok. Kalau ada apa-apa telepon ya."
"Adrian siapa?" Nenek kelihatan bingung. Matanya menatap Adrian menuntut jawab.
Adrian menghela napas dan memeluk wanita itu singkat. "Kalau ada apa-apa telepon aku ya."
"Iya, kamu ini terlalu berlebihan. Memangnya Ibu anak kecil apa?" Nenek tertawa kecil.
Adrian hanya tersenyum dan meremas pelan pundak wanita tua itu. Laki-laki dengan kemeja abu-abu itu melangkah keluar dari pagar belakang. Ia melepaskan ikat rambut yang ada di tangannya dan menyisir rambutnya dengan kasar. Ia mengikat rambutnya tinggi-tinggi dan menghela napas panjang. Kucir rambutnya terbentuk lebih berantakan dari biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ponytail ✓
General FictionAdrian, memiliki kecanduan mengikat rambut. Ia sudah memiliki rambut panjang sejak SMA. Ia memilih kuliah di Universitas Jatayu karena kampus tersebut memberinya beasiswa berdasarkan latar belakang keluarganya yang kurang mampu. Setelah satu semest...