12. Peringatan

77 28 18
                                    

Kafe bernuansa monokrom itu sudah terlihat dekat. Kira-kira dua ratus meter lagi Adrian akan tiba di sana. Adrian berjalan berdampingan dengan Yessa. Entah hal apa yang membuat laki-laki itu turut mengikuti Adrian ke kafe tempatnya bekerja. Yessa kelihatan sedang memikirkan sesuatu. Ia bahkan meninggalkan motor matic-nya di kampus.

"Lo kenapa? Lagi puasa ngomong?" Adrian bertanya setelah menepuk pundak sahabatnya yang sudah kelihatan seperti zombie.

Laki-laki berkulit cokelat dengan potongan rambut cepak itu hanya menggeleng lemas.

"Diputusin, lo?" Adrian bertanya dengan nada datar. Bukan rahasia lagi kalau seorang Rakiyessa adalah penghuni rawa. Namun, ini pertama kalinya Adrian melihat laki-laki itu bertingkah demikian.

"Kok lo bisa tahu? Wah, gue jadi curiga. Jangan-jangan selama ini lo nolak Viona gara-gara suka sama gue? Sorry, Yan. Gue nggak doyan sama lo."

Adrian melayangkan satu pukulan ke lengan Yessa. Laki-laki berkulit cokelat itu meringis bak cacing kepanasan.

"Gila lo ya. Cinta ditolak, bogem bertindak." Yessa berjalan menjauhi Adrian.

"Rakiyessa." Adrian berbicara dengan nada lebih rendah dari biasanya.

"Jangan panggil gue pake nama lengkap. Lama-lama lo makin mirip emak gue."

"Makanya kalo ngomong itu jangan sembarangan. Harusnya gue nggak usah nanya tadi. Kapan lagi bisa lihat seorang Rakiyessa kalem?" Adrian menggeleng. Ia membuka pintu kafe dan langsung masuk ke ruangan staf.

"Gue butuh hiburan." Yessa berbicara dengan nada manja.

Adrian yang tengah mengantar minuman laki-laki itu mendengkus kesal. Kalau saja laki-laki itu bukan pelanggan, Adrian pasti sudah memukul kepala Yessa dengan nampan di tangannya.

Setelah mengamati sekitar, Adrian menarik kursi di depan Yessa. Saat itu kafe belum ramai pengunjung, jadi Adrian bisa duduk sebentar bersama sahabatnya.

"Tumben galau. Kan stoknya masih banyak."

"Ini beda. Aruna tuh cewek tomboy pertama yang jadi pacar gue. Dia itu beda sama cewek-cewek gue yang lain." Yessa mengaduk es kopinya dengan sedotan.

"Kenapa bisa putus?"

"Dia tahu kalau gue punya cewek lain." Yessa kembali mengaduk es kopinya.

Adrian tertawa lepas. "Katanya buaya rawa kelas kakap, kok bisa ketangkep?"

"Dia temen SMA-nya Viona."

Adrian menghentikan tawanya seketika. "Ternyata Viona mengerikan. Gue kira lo dekat sama Viona, nggak nyangka kalau dia nggak setia kawan."

"Justru karena dia setia kawan sama Aruna makanya dia bilang." Yessa menyedot es kopinya. "Lo nggak boleh melakukan kesalahan kayak gue, Bro. Lo lihat segimana menderitanya gue yang kehilangan Aruna karena kesalahan gue sendiri."

Adrian hanya mengangguk. Ia paham betul kalau sahabatnya ini sangat pandai bermain drama. Kini ia hanya perlu menonton episodenya sampai selesai.

Belum juga sepuluh menit dari adegan galaunya, Yessa kini sudah pindah ke meja sebelah dan duduk bersama seorang gadis. Adrian hanya bisa menggeleng melihat tingkah sahabatnya itu.

Adrian menarik kursi untuk mendekati jendela. Ia membuka jendela kamarnya dan membiarkan bau hujan memasuki ruangan kecil yang menjadi tempat ternyamannya itu. Laki-laki berambut terikat itu mengambil gitar yang berada di dekatnya. Adrian tidak ingat kapan terakhir kali ia memegang benda itu.

Jari Adrian mulai menari di atas senar. Ia mulai bergumam dan melantunkan kata-kata secara spontan. Setelah menyelesaikan lagunya, Adrian menertawakan dirinya sendiri. Ia mengambil buku yang bagian ujungnya menguning dimakan usia. Tangan laki-laki itu menyentuh not balok yang tertulis di sana.

"Kenapa Viona bisa begitu kehilangan papinya?" Adrian bertanya pada dirinya sendiri.

Perhatian Adrian terkunci pada buku yang ia pegang. Pertanyaan yang ia ajukan tadi sebenernya juga berlaku untuknya. Kenapa ia bisa begitu kehilangan Ayah? Meskipun ia tidak mengenal ayahnya secara langsung, tetapi Adrian hidup dalam bayang-bayang ayahnya.

Adrian dan ayahnya memiliki wajah yang sangat mirip, hanya saja kulitnya jauh lebih terang. Mungkin hanya itu yang bisa ia dapatkan dari warisan gen jalur ibu. Ia memiliki mimpi yang sama dengan ayahnya, yaitu musik. Namun, Adrian tidak pernah berusaha untuk mencapai mimpinya. Tujuannya saat ini adalah bisa mendapatkan nilai yang bisa menyelamatkannya dari ancaman potongan rambut 3-2-1 ala militer.

Laki-laki bermata sipit itu tiba-tiba ingat sesuatu, ia mengeluarkan selembar kertas dari tasnya. Nilai kuis susulannya sudah keluar dan ia hanya menghela napas ketika melihat tulisan yang ada di kertas itu. Tanda silang merah berada pada setiap nomor. Tidak ada satu pun yang selamat dari tanda itu.

Tidak seperti teman-temannya yang mendapatkan kertas hasil kuis di kelas, Adrian dipanggil khusus untuk menghadap Pak Sopar –dosen matematika yang memberikan kesempatan kuis susulan.

"Adrian Birendra." Pria bertubuh tambun itu berbicara dengan wajah dingin.

"Iya, Pak." Adrian menjawab dengan suara yang pelan. Ia juga membiarkan rambut bagian depannya jatuh di dahi.

"Coba duduk dulu, saya mau ngobrol sama kamu."

Adrian menggangguk kaku. Ia merasakan hawa yang berbeda. Terakhir kali ia masuk ke ruangan ini, Adrian merasa sangat beruntung. Namun, sepertinya hari ini berbeda.

"Boleh saya tanya hal pribadi?" Pak Sopar berbicara sambil melipat tangan di meja.

Laki-laki berkemeja hitam itu jadi gugup. Adrian jadi berpikiran yang tidak-tidak.

"Kamu sudah baca pengumuman dari wakil rektor yang terbit awal bulan ini?"

Adrian jadi tambah gugup. Pengumuman macam apa lagi yang bisa mengancam keberlangsungan studinya?

"Peraturan non akademik, Pak?" Adrian menjawab dengan suara pelan.

"Saya kurang setuju kalau itu disebut peraturan non akademik. Peraturan itu tetap berkaitan dengan kegiatan akademik. IP kamu semester lalu berapa?"

"Dua koma dua, Pak." Laki-laki jangkung itu menjawab dengan suara yang lebih pelan dari sebelumnya. Ia menunduk dalam sehingga membuat tubuhnya kelihatan lebih kecil.

"Saya sudah menduga itu." Pak Sopar menyerahkan selembar kertas. Kertas itu memiliki tulisan Adrian di atasnya dan lima tanda silang dengan pena merah membuat kertas itu kelihatan lebih penuh.

Adrian mengambil kertas itu dan menghela napas.

"Kamu butuh menaikkan IP setidaknya 1,0 untuk mempertahankan rambut gondrong. Kamu nggak bisa mengusahakan ini sendiri. Saya sarankan kamu cari teman belajar. Kalau ada kesulitan untuk mata kuliah saya, kamu bisa langsung datang ke ruangan ini."

Adrian hanya mengangguk.

"Saya nggak tahu alasan kamu memanjangkan rambut, tapi yang jelas seharusnya kamu belajar lebih keras. Saya tahu kamu anak beasiswa. Saya adalah salah satu orang yang bertahan memperjuangkan kamu saat itu. Nggak ada ceritanya menjadi seorang anak yatim piatu membuat kamu nggak semangat belajar. Justru itu harusnya jadi alasan kamu untuk belajar lebih keras dari siapapun. Supaya kamu bisa berdiri tegak di atas kaki kamu sendiri."

Laki-laki berbaju hitam itu mengangguk. Matanya berkaca-kaca. Baru kali ini ada seseorang yang memberikannya nasehat sekaligus semangat. Sepertinya Adrian harus benar-benar memulai belajar bersama dengan Viona. Tidak ada alasan untuk menunda-nunda jadwal belajar.

Dengan kertas yang masih ada di tangannya, Adrian mengirimkan pesan lewat Instagram pada Viona.

Jangan lupa, besok jadwal belajar kita. Gue minta ajarin soal kuis kemarin.

Baru beberapa detik pesan itu terkirim, Adrian langsung mendapatkan pesan balasan. Pesan itu tidak berasal dari Instagram, tetapi dari WhatssApp.

Siap, Kak. Mau minta diajarin mencintai aku juga bisa kok.

Viona Karunasakara

Adrian sampai mengerjapkan mata. Gadis ini sungguh ajaib.

"Kok bisa cewek seajaib ini menempati posisi tertinggi IP semester lalu?" Adrian sibuk bertanya pada dirinya sendiri.

Ponytail ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang