8. Perjanjian

83 32 19
                                    

Ruangan berwarnna kuning cerah dengan ranjang yang tidak terlalu besar dan lemari serta nakas berwarna putih membuat ruangan minimalis itu kelihatan cantik. Meja belajar serta rak sepatu yang ada di sudut ruangan juga berwarna senada. Sebuah jendela besar ada tepat di samping ranjang. Jendela ruangan itu sengaja dibuka meski langit sudah gelap.

Gadis berambut panjang itu tengah bermain gitar sambil menikmati angin malam yang berembus memainkan rambutnya yang terurai. Kucing peliharaannya muncul dari pintu bersamaan dengan sebuah pesan masuk di Instagramnya. Viona mengabaikan ponselnya yang berbunyi dan meletakkan gitarnya hanya untuk mengelus majikan-nya.

Kucing berambut putih itu kelihatan seperti gumpalan kapas. Viona sangat menyukai kucing itu. Kucing adalah hewan peliharaan favoritnya karena hewan itu juga favorit ayahnya. Kucing pertama yang Viona miliki adalah hadiah ulang tahun dari ayahnya. Setiap melihat kucing di rumah, ia selalu merasa kalau ayahnya ada di dekatnya.

Ponsel Viona kembali berbunyi. Akhirnya gadis itu meraih ponselnya dan melihat pesan yang masuk di Instagramnya.

Gue mau ngomong sama lo, besok jam 5 sore di Prince Coffee

Gue nggak punya nomor lo, makanya gue hubungi lewat Instagram. 

Pesan pada gelembung petama di direct message yang ia terima membuat Viona mengerutkan dahi. Ia membuka profil orang yang mengiriminya pesan dan ia hampir berteriak saat menyadari kalau akun itu sangat familier. 

Ini gue Adrian Birendra. 

Pesan berikutnya masuk. Viona benar-benar berteriak. Seorang Adrian Birendra mengirimkan pesan pribadi padanya. Adrian Birendra, cowok super dingin yang tidak peduli padanya mengajaknya bertemu. Viona merebahkan tubuhnya di kasur, menarik selimut menutupi tubuhnya dan berguling-guling layaknya telur gulung yang tengah digoreng. 

"Vio kenapa?" Wanita paruh baya muncul di sela-sela pintu kamar Viona.

"Nggak apa-apa, Mi. Vio lagi seneng aja." Gadis itu berusaha keluar dari gulungan selimut yang ia buat sendiri.

Wanita berambut gelombang itu melangkah mendekat dan membantu putri semata wayangnya untuk keluar dari sana. Wanita itu tertawa geli dan tersenyum meledek.

"Kamu dapat surat cinta, ya?" Mami bertanya sambil merapikan rambut Viona yang kini kelihatan seperti rambut singa.

"Mami, ih. Mana zaman lagi surat cinta. Emangnya Mami sama Papi yang hidup di zaman dulu." Viona protes sambil cemberut.

"Mami kan cuma nanya, Vio. Jadi kenapa? Mami sampe takut loh, kamu ini teriak malam-malam."

Wajah Viona tersipu. Ia meremas selimut yang masih menutupi kakinya. Kemudian senyumnya merekah. 

"Ini, Mi. Vio dapet pesan dari cowok yang sudah lama Vio taksir." Gadis berbaju tidur biru itu menunjukkan pesan yang dikirim oleh Adrian.

Mami tersenyum. "Coba Mami lihat, cowok seperti apa sih yang buat anak Mami sampai suka banget ini?" 

Tangan Viona bergerak membuka Instagram Adrian dan melihat semua posting-an. Gadis itu menghela napas setelah mendapati kalau Instagram laki-laki yang ia sukai itu hanya berisi gambar hasil tugas mereka, gambar abstrak dan foto setiap sudut Coffee Prince. 

"Vio nggak punya fotonya sih, Mi. Kan Mami selalu bilang kalau mengambil foto seseorang tanpa izin itu nggak baik. Walaupun Vio pengen banget foto Adrian pas dia lagi ganteng-gantengnya, Vio nggak pernah berani." Gadis berambut gelombang itu cemberut sehingga bibir tebalnya mirip bebek.

"Anak Mami hebat. Adrian pasti spesial banget buat kamu. Memang orangnya kayak apa?" Mami bertanya masih sambil memainkan rambut Viona.

"Adrian itu anaknya cuek banget, pendiam dan nggak punya banyak teman. Dia kelihatan punya luka yang mau dia simpan sendiri dan Vio lihat itu sebagai sesuatu yang keren." Viona bercerita dengan wajah penuh kebanggan.

"Pasti cakep ya?" Mami bertanya dengan nada meledek.

"Iya, dong. Kalo menurut Vio nih ya, Adrian itu dapet nilai 90 deh."

"Loh, Mami kira nilainya bakal 100."

"Kesempurnaan hanya milik Tuhan, Mi." Viona menengadahkan tangannya dan melihat ke langit-langit setelah mengatakan itu.

Mami tertawa setelah mendengar hal itu. Gadis kecil yang dulunya sangat mengidolakan ayahnya itu kini sudah tumbuh menjadi gadis yang sudah cukup dewasa untuk berani mengatakan kalau ia menyukai seseorang. Mami beranjak dari tempatnya dan berjalan meninggalkan Viona setelah mengecup dahi gadis itu singkat.

"Kalau Papi, nilainya 99." 

Mami batal menutup pintu. Matanya menoleh ke arah anak gadisnya yang kini tersenyum. Sayang sekali, Viona tidak memiliki sedikit pun kemiripan dengan ayahnya. Ia terlalu mirip dengan Mami. Wanita paruh baya itu turut tersenyum.

"Karena Papi selalu jadi cinta pertamanya Vio." 

Pintu ruangan itu tertutup setelah Mami mengangguk.

Viona jadi teringat sesuatu. Ia harus menelepon Yessa untuk menyetorkan laporan. Bagaimanapun juga Yessa adalah tim sukses yang selalu siap membantunya setiap saat. Telepon Viona diangkat kurang dari lima detik.

"Yo, Viona Karunasakara. Ada angin apa nih malem-malem telepon?"

"Aku dapat pesan dari Adrian. Katanya dia mau ketemu." Viona menjawab sambil tersenyum malu.

"Wah, bagus kalau begitu. Oke, laporan diterima. Kabarin kalau ada apa-apa."

"Oke." 

Sambungan telepon mereka berakhir. Suasana hati Viona kini berada pada level tertinggi dari kesenangan.

***

Laki-laki berambut panjang itu berdiri di dekat pohon besar yang ada di depan kafe tempatnya bekerja. Ia baru saja mengirimkan pesan ke Instagram Viona. Setelah itu, barulah Adrian masuk ke kafe yang bernuansa monokrom itu. Rekan-rekan Adrian yang sedang bertugas menyapanya dengan ramah. Ia memilih duduk di tempat favoritnya, yaitu di sudut ruangan dekat dengan ruang staf.

Sebenarnya bisa saja Adrian memilih tempat lain untuk bertemu dengan Viona, tetapi menurutnya Coffee Prince adalah tempat terbaik dan ternyaman baginya. Seorang rekannya datang untuk menerima pesanan Adrian karena laki-laki itu tidak langsung datang ke konter. Adrian tersenyum tipis, ia memesan ice coffee dan hot chocolate. Sontak rekan Adrian tersenyum meledek karena baru pertama kalinya ia datang bukan bersama Yessa. Kalau itu Yessa, bukan hanya rekan Adrian, bahkan bosnya pun tahu kalau laki-laki itu tidak akan memesan cokelat panas.

Adrian masih memainkan ponselnya ketika gadis dengan dress kuning bercorak bunga berdiri di depannya. Sangking fokusnya, Adrian tidak menyadari kehadiran gadis itu hingga gadis itu mengetuk meja.

"Oh, sudah sampai." Adrian meletakkan ponselnya dan mengangguk pada Viona yang kini tersenyum padanya. Senyumnya selalu sama. Senyuman lebar yang mampu membuat gingsulnya terlihat.

"Sudah lama? Maaf kalau aku terlambat." Gadis berambut gelombang itu menggantungkan tas selempangnya di kursi dan duduk setelahnya.

"Nggak terlambat sama sekali. Kita masih punya lima menit sebelum jam lima."

Viona tersenyum mendengar kata-kata Adrian yang menggunakan kata ganti kita. 

Minuman mereka tersaji tepat setelah Viona duduk. Adrian sempat mendapat senyum jahil dari rekannya yang mengantarkan pesanan.

"Hot chocolate. Kok kamu tahu aku suka cokelat?" Viona bertanya setelah merasa takjub melihat minuman yang tersaji di depannya.

Adrian menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Matanya sempat bergetar sebelum menjawab. "Terakhir ke sini, lo pesan itu. Jadi, gue pikir lo emang suka cokelat."

Viona tersenyum hingga mata bulatnya menyipit. "Suka banget. Aku nggak nyangka kalau kamu seperhatian ini." 

Viona masih terpesona oleh tingkah Adrian. Laki-laki itu ternyata tidak sedingin kelihatannya.

Untuk menyelamatkan dirinya dari rasa malu, laki-laki dengan rambut terikat itu meraih tasnya dan mengeluarkan selembar kertas dan sebuah pulpen. Kertas itu berisi tulisan, surat perjanjian.

Dahi Viona berkerut. Matanya menatap kertas itu lama, kemudian ia menatap Adrian dengan tatapan bertanya-tanya.

Ponytail ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang