Sama seperti hari-hari sebelumnya, Adrian tiba lebih dulu di kelas. Ia memilih duduk di barisan belakang. Tak lama setelah ia duduk, gadis yang kemarin jadi teman belajarnya muncul. Adrian sengaja langsung buang muka karena sepertinya gadis itu akan mulai menggodanya lagi.
"Selamat pagi, Kak." Viona menyapa dengan senyuman mengembang.
Adrian masih menolak menoleh ke arah gadis itu. "Berapa kali lagi gue harus bilang? Gue bukan kakak lo."
"Kayaknya kemaren udah jinak. Kok sekarang jadi galak lagi sih?" Viona cemberut. Seperti biasa, ia memajukan bibirnya.
Adrian mulai bertanya-tanya saat gadis itu tidak meletakkan tasnya di depan. Biasanya Viona selalu meletakkan tasnya lebih dulu sebelum menghampiri Adrian, tetapi hari ini ia langsung duduk di samping Adrian tanpa meletakkan tasnya di kursi depan. Adrian penasaran, tetapi ia tetap diam.
"Hayo, mikirin apa?" Viona bertanya setelah menepuk lengan Adrian.
Adrian menggeleng dan merebahkan kepalanya di meja.
"Jangan bilang kalau lagi mikirin aku? Aku sengaja kok duduk di sini biar bisa bantu kamu belajar." Viona berbicara pada Adrian yang kelihatannya tidak memperhatikannya.
"Vio, kok di belakang? Kursi depan masih banyak yang kosong loh." Gadis yang biasa duduk di samping Viona bertanya dari depan.
Viona tersenyum dan menjawab, "Udah bosen di depan."
Jawaban Viona membuat seluruh kelas menoleh ke belakang. Gadis itu cenderung tidak peduli dan hanya fokus pada Adrian yang kini wajahnya terbenam di balik tangan.
"Kayaknya Adrian kasih pengaruh buruk ya buat Viona?" Suara bisikan yang berasal dari tengah kelas tidak mempengaruhi Viona.
"Iya, gue sih curiga nantinya nilai Viona bakalan berantakan karena sering sama Adrian." Suara seorang laki-laki menyahut.
"Lagian Adrian tuh bukannya usaha sendiri, malah manfaatin Viona gitu."
Mendengar kalimat itu membuat Viona mengepalkan tangan. Ia kesal, tetapi tidak berniat untuk membalas pernyataan mereka. Bagaimanapun ia tidak mungkin menjelaskan alasannya pada semua orang. Apapun yang ia katakan tidak akan bisa mengubah pendapat orang lain tentangnya.
"Gue kasihan sih sama Viona."
"Lagian apa sih susahnya potong rambut? Kalau emang otaknya nggak mampu, ya nggak usah dipaksa. Memangnya keren rambut begitu?" Laki-laki lainnya menimpali dengan suara cukup keras.
Viona tidak tahan lagi. Ia terima saja jika mereka berbicara tentangnya dab Adrian masih dalam batas wajar, tetapi kata-kata laki-laki itu sudah melewati batas. Akhirnya Viona berdiri setelah menggebrak meja. Belum juga ia mengeluarkan argumennya, Adrian sudah turut berdiri di sampingnya. Hal ini membuat Viona membeku dan kehilangan kata-kata.
Laki-laki dengan rambut terikat itu mengambil tasnya dan berjalan ke depan. Semua orang menutup mulut. Beberapa menelan ludah kerena kini Adrian kelihatan cukup kesal. Viona kira, laki-laki berpakaian serba hitam itu akan melangkah ke luar kelas, tetapi dugaannya salah. Adrian berhenti di deretan kursi paling depan dan meletakkan tasnya di sana.
Sebelum duduk, ia menoleh pada Viona. "Katanya lo mau duduk sebelah gue. Pindah sini."
Dahi Viona sempat berkerut. Akhirnya Adrian duduk di sana. Ia kembali melanjutkan kegiatannya merebahkan kepala. Tindakannya membuat seisi kelas heran. Seorang Adrian yang tidak pernah meninggalkan kursi belakang tiba-tiba pindah ke depan.
Viona tersenyum bangga. Ia merapikan tasnya dan turut pindah ke depan. Ia duduk tepat di samping Adrian. Gadis itu tersanjung karena Adrian duduk tepat di samping kursi yang biasa ia duduki. Ini artinya laki-laki itu diam-diam memperhatikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ponytail ✓
Fiksi UmumAdrian, memiliki kecanduan mengikat rambut. Ia sudah memiliki rambut panjang sejak SMA. Ia memilih kuliah di Universitas Jatayu karena kampus tersebut memberinya beasiswa berdasarkan latar belakang keluarganya yang kurang mampu. Setelah satu semest...