20. Kencan?

67 25 2
                                    

Kafe bernuansa monokrom yang terletak di sudut jalan itu terlihat sepi. Ada beberapa orang karyawan berseragam yang tengah membersihkan meja dan menata kursi. Dua orang berada di dalam ruangan dan satu lainnya berada di luar ruangan. Laki-laki yang berada di luar ruangan itu memiliki rambut panjang dan membiarkan rambutnya menutupi sebagian wajahnya. 

"Kak Adrian." Suara yang selalu Adrian dengar di kampus itu terdengar bahkan saat hari liburnya. 

Adrian menggerakkan jarinya untuk menyisir rambut yang menutupi dahinya dan menatap gadis itu dengan senyum tipis di wajahnya. 

"Hai." Gadis berbaju kuning itu melambai dan tersenyum lebar. Adrian bisa melihat dengan jelas gingsul gadis itu.

"Maaf, kafe ini belum buka. Kami melayani pelanggan mulai pukul sepuluh. Silahkan kembali lagi setelah kafe dibuka." Adrian membalas sapaan gadis itu dengan kalimat yang selalu ia katakan ketika pelanggan datang lebih pagi. 

"Sepuluh menit lagi buka kok." Gadis itu tidak beranjak dari tempatnya. Ia malah memperhatikan Adrian yang kini terlihat lebih mempesona karena mengenakan apron kulit berwarna cokelat. Senyum di wajahnya tak kunjung hilang karena terus memperhatikan laki-laki berkulit pucat itu.

Laki-laki berambut panjang itu melirik sekilas dan melanjutkan kegiatannya. Ia kembali mengelap meja dan menata kursi yang belum tersusun di tempat seharusnya. Kebetulan hari ini Adrian bertugas untuk membalikkan tanda yang menunjukkan kalau kafe telah buka. 

Adrian kembali tersenyum saat ia akan membalikkan papan tanda tersebut. Viona sudah berdiri di balik pintu kaca yang kini hendak ia buka. 

"Selamat datang. Silahkan, Kak." Adrian tersenyum dan menyapa Viona dengan ramah. Senyuman yang sangat jarang ia tunjukkan saat berada di kampus. 

"Kayaknya aku sudah kecanduan datang ke sini, deh. Terima kasih." Gadis itu mengedipkan mata kirinya ketika melewati Adrian. 

Begitu gadis itu masuk, Adrian melepaskan ikat rambutnya yang melingkar di tangan kirinya dan mengikat ulang rambutnya. 

Hari ini Adrian bertugas sebagai pelayan yang mengantarkan pesanan pelanggan. Ia mengantarkan makanan dan minuman yang dipesan oleh Viona. Laki-laki yang kini rambutnya sudah dikucir itu meletakkan pesanan Viona dan memberikan sebuah fortune cookie. Kafe mereka memang selalu memberikan fortune cookie bagi pelanggan pertama setiap harinya. 

"Silahkan dinikmati. Ada yang bisa saya bantu lagi, Kak?" Adrian masih terus menampilkan senyum.

"Enggak ada. Terima kasih." Viona tersenyum sangat lebar setelah mengatakan kalimat itu.

Viona duduk di sana sambil memainkan ponselnya. Beberapa kali matanya melirik ke arah Adrian yang tengah mengantarkan pesanan ke meja lain.

Gadis itu terus tersenyum. Sikap Adrian kini jadi lebih manis dan itu membuatnya merasa sangat senang. Viona membuka bungkus plastik fortune cookies yang diberikan Adrian sebagai bonus. Ia menarik kertas yang ada di dalam dan tersenyum karenanya.

"Maaf sudah nunggu lama." Laki-laki yang mengenakan jaket denim hitam itu tersenyum tipis saat menarik kursi tepat di depan Viona.

Gadis itu hampir tersedak minumannya sendiri. Ia menyedot lebih banyak kopi dari gelasnya.

Adrian tertawa kecil melihat tingkah gadis itu.

"Hari ini gue nggak mau belajar." Laki-laki berambut terikat itu berbicara dengan senyum yang membuat wajahnya terlihat semakin ramah.

"Hah?" Mata Viona bergetar. "Jangan bilang kalau kamu mau berhenti belajar?" Wajah gadis itu kini terlihat khawatir.

"Enggak. Kita sudah belajar bareng hampir satu semester, tapi kayaknya kita nggak begitu mengenal satu sama lain." Adrian menatap mata gadis itu sambil tersenyum.

"Hah? Gimana?" Gadis berambut gelombang itu masih bertanya karena tidak mengerti.

"Waktu belajar kali ini kita pakai buat ngobrol." Adrian menjawab setelah menghela napas. Ia tidak mengerti kenapa Viona sulit memahami kata-katanya.

Gadis itu mengangguk kaku.

Bukannya menjadi pihak yang memulai pembicaraan, Adrian malah diam seribu bahasa. Ia membuka ikatan rambutnya dan mengikatnya kembali.

"Boleh aku tanya sejak kapan kamu punya rambut begini?" Pertanyaan Viona keluar tepat setelah Adrian selesai mengikat rambutnya.

Laki-laki berambut terikat itu sempat berpikir sejenak sebelum menjawab, "Sejak SMA. Sekarang giliran gue ya?"

Viona tertawa kecil. "Kita kayak main jadinya. Oke."

"Lo berapa bersaudara?"

Dahi Viona berkerut. Ia tidak menyangka Adrian akan menanyakan tentang keluarganya. "Aku anak tunggal, sama kayak kamu."

"Sejauh apa lo tahu tentang gue?" Adrian menyunggingkan senyum.

Viona terkejut lalu berkilah, "Pertanyaannya curang."

Adrian tertawa. Tawa yang sebelumnya tidak pernah Viona lihat dari dekat. Saking jarangnya Adrian tertawa, bisa dibilang kalau ini adalah adegan langka yang bisa ia saksikan secara langsung.

"Sejauh yang bisa kamu bayangkan." Gadis itu tersenyum jail.

"Jawabannya curang." Adrian tidak sengaja menyentuh punggung tangan gadis itu.

Viona membeku. Bahkan ia lupa mengedipkan mata.

Untuk menghindari kecanggungan, Adrian menunjuk Viona. "Giliran lo."

Pertanyaan demi pertanyaan diajukan. Sesekali mereka tertawa dan saling melempar senyum. Mereka semakin akrab setelah lebih mengenal satu sama lain.

"Kamu beneran harus ketemu Mami deh. Mami pasti seneng banget kalau ketemu sama kamu." Gadis itu berbicara di tengah tawanya.

"Oh, ya? Gue rasa dia nggak akan suka ketemu sama cowok yang sudah buat anak gadisnya jadi tambah aneh." Adrian menjawab masih dengan senyum.

"Kamu lucu. Mami pasti suka." Viona tersenyum dan matanya terkunci pada mata milik Adrian.

"Gue denger waktu lo bilang kalau gue mirip sama Papi lo. Memangnya iya?"

"Mirip banget. Kamu pasti nggak percaya kalau lihat langsung." Viona menjawab dengan antusias.

"Kayaknya gue lebih tertarik ketemu sama Papi lo daripada sama Mami lo."

Raut wajah Viona tiba-tiba berubah. Senyuman yang sedari tadi menghiasi wajahnya menghilang seketika. Gadis itu menunduk sebentar, kemudian menghela napas.

Senyum di wajahnya kembali. Namun, terlihat sedikit berbeda. Adrian bisa menangkap sorot mata sedihnya.

"Kalau kamu mau ketemu Papi, kayaknya kita perlu modal banyak. Soalnya harus cari tiket ke surga."

Adrian diam. Ia menatap gadis di depannya. Gadis itu tersenyum di balik semua luka yang ia punya.

"Gue turut berduka. Sejujurnya Ayah gue juga sudah meninggal." Adrian berbicara dengan nada tanpa emosi.

"Aku tahu, makanya aku nggak sedih. Banyak anak yang nggak dapat kesempatan untuk menghabiskan waktu sama Papi mereka, tapi aku punya cukup waktu untuk menyimpan semua kenangan yang sempat aku punya."

Adrian terkagum. Ia melihat sisi lain dari gadis yang ada di hadapannya ini.

"Sebenarnya gue punya alasan kuat untuk mempertahankan rambut ini. Lo mau dengar ceritanya?" Adrian bertanya dengan tatapan sendu.

Gadis berambut gelombang itu mengangguk dan mencondongkan tubuhnya sebagai tanda ia siap mendengarkan.

"Eit, nongkrong di sini nggak ngajak-ngajak." Yessa datang tanpa diundang. Laki-laki berkulit cokelat itu langsung duduk di sana tanpa permisi.

Adrian dan Viona menghela napas lelah.

"Kenapa sih pada serius banget?" Yessa menatap kedua temannya itu bergantian.

Pertanyaannya dijawab dengan tatapan tajam dari Adrian dan Viona.



Ponytail ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang