6. Hilang

89 37 10
                                    

Adrian masih melipat seragam kerjanya ketika ponselnya bergetar tanpa henti. Sebenarnya laki-laki bermata sipit itu sudah melihat kalau panggilan itu berasal dari sahabatnya Rakiyessa. Adrian sengaja mengabaikan telepon Yessa karena ia tahu kalau laki-laki itu akan membahas masalah Viona.

Setelah berpamitan pada rekan-rekannya, Adrian menyentuh layar ponselnya dan menempelkan benda pipih itu ke telinganya.

"Adrian, lo gila ya? Untung gue nih lagi di Bogor ya. Kalo enggak gue udah maki-maki lo secara langsung. Nggak habis pikir gue sama tingkah lo."

Begitu mendengar suara Yessa yang berteriak memanggil namanya, Adrian refleks menjauhan ponselnya dari telinga.

"Lo nggak tahu susahnya gue menjelaskan alasan lo ke Viona. Sekarang lo seenaknya nolak bantuan dia." Adrian bahkan bisa membayangkan bagaimana ekspresi Yessa saat ini. Laki-laki berkulit cokelat itu pasti sedang marah-marah sambil berjalan atau menunjuk-nunjuk tembok yang tidak bersalah.

Adrian tidak langsung menjawab dan membiarkan Yessa melanjutkan repetan-nya.

"Parah lo. Nggak mau tahu gue, hubungi Viona sekarang. Gimana mau nambah IP lo kalau ditolongin nggak mau?"

"Gue bisa belajar sendiri." Adrian tersenyum setelah mengucapkan kalimatnya.

"Heh. Gue tahu ya kemampuan lo. Nggak usah sok mau belajar sendiri. Lo mau tu rambut gondrong lo terancam punah? Udah deh, belajar sama Viona itu pilihan terbaik."

Adrian tidak menjawab. Sebenarnya ia cukup terkejut ketika Viona menawarkan diri untuk membantunya belajar, tetapi ia rasa menggunakan Viona hanya untuk keuntungannya bukanlah sesuatu yang benar.

"Adrian, lo denger gue nggak?" Yessa bertanya dengan suara setengah teriak.

"Gue denger semua ceramah lo dengan jelas." Adrian menjawab setelah ia duduk di halte dekat kafe tempatnya bekerja.

"Lo jangan kebanyakan mikir. Gue tahu lo nggak mau memanfaatkan Viona, tapi lo nggak punya pilihan lain, Adrian." Kini suara Yessa sudah kembali normal. Ia tidak lagi teriak-teriak penuh emosi.

Adrian kembali terdiam. Ia menghela napas.

"Adrian, lo nggak bisa jawab gue lagi?"

"Nanti gue pertimbangkan." Adrian menjawab pertanyaan Yessa dengan cepat. Kemudian ia memutuskan sambungan telepon mereka.

Laki-laki berjaket hitam itu menatap lurus ke depan. Ia melepaskan ikat rambutnya dan memakainya kembali. Ia memiliki kecanduan mengikat rambut karena ia sudah memiliki rambut panjang itu sejak SMA. Ia selalu merasa lebih baik setelah mengikat rambutnya. Ia akan mengurai rambutnya ketika ia merasa tidak ingin dikenali, kesal, bingung dan sedih.

Kebiasaan itu ia dapatkan ketika pertama kali bisa mengikat rambut yang sudah mulai memanjang. Ia merasa lebih senang setelah melakukan kegiatan itu. Ia merasa menjadi dirinya sendiri ketika rambutnya tidak terurai menutupi wajahnya.

***

Jalanan tidak lagi ramai ketika Adrian pulang dari kerja paruh waktunya. Shift-nya memang berakhir pukul 2 siang, tetapi karena ia menggantikan temannya yang sedang izin ke luar kota akhirnya ia harus melanjutkan shift hingga pukul 9 malam. Laki-laki bermata sipit dengan rambut diikat menyerupai ekor kuda itu berjalan menuju rumahnya. 

Rumah Adrian memang terletak di pinggiran kota. Ia harus berjalan sekitar lima ratus meter untuk sampai ke hunian yang sudah ia tempati sejak lahir itu. Bangunan rumahnya tidak terlalu luas, tetapi memiliki halaman yang cukup untuk memarkirkan satu mobil di halaman depan dan tiga mobil di halaman belakang. Halaman rumah itu ditumbuhi oleh berbagai macam tumbuhan. Mulai dari pohon buah-buahan, tanaman hias hingga tanaman pagar. 

Rumah bercat putih itu dikelilingi oleh tanaman sebagai pagar. Setiap pintu masuknya dipagari oleh kayu pendek yang juga dicat putih. Adrian melangkah menyusuri jalan aspal yang akan berakhir tepat di depan rumahnya. Dahi Adrian berkerut ketika ia mendapati kalau lampu di rumahnya padam. Tidak ada satupun cahaya yang muncul dari sana. 

Mata Adrian bergetar. Langkahnya semakin cepat. Ketika menyadari kalau pengelihatannya tidak salah, ia mulai berlari. Laki-laki berjaket hitam itu membuka pagar kayu dengan kasar dan ia tergesa-gesa mengetuk pintu. Setelah beberapa kali mengetuk pintu dan tidak mendapat jawaban, jantung Adrian berdetak semakin cepat dan ada sesak yang memenuhi dadanya. 

Adrian membuka tas ransel yang ia sampirkan di bahu kirinya dengan tangan yang gemetar. Matanya mulai memerah. Ia berhasil membuka pintu meski dengan tangan yang gemetar dan mata yang mulai basah.

"Nek." Adrian mencoba memanggil dengan suara yang juga sudah bergetar.

"Nek." Laki-laki bermata sipit itu mulai membuka dan memasuki semua ruangan. Dalam hatinya ia berharap kalau wanita tua itu hanya ketiduran dan lupa menyalakan lampu. 

Adrian terus bergerak dari satu ruangan ke ruangan yang lain. Hampir semua ruangan sudah ia masuki dan ia tidak bisa menemukan wanita itu. Langkah Adrian melambat. Kakinya kehilangan kekuatan. Sesak di dadanya semakin parah. Air mata mulai menetes dari sudut matanya. 

"Nek."

Adrian memanggil dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya. Ia membuka pintu belakang dan menyalakan lampu halaman. Ketika menekan sakelar, Adrian memejamkan mata dan setelah lampu menyala, ia membuka matanya perlahan. Ia berharap wanita itu ada di halaman belakang karena tempat itu adalah tempat favoritnya. 

Namun, tidak ada siapa pun di sana. Kekuatan kaki Adrian benar-benar hilang, ia menopang dirinya dengan bersandar ke dinding.

Adrian melepaskan ikat rambutnya dan mengacak rambutnya kasar. Jantungnya masih berdebar sekencang sebelumnya.  Ia menarik napas dalam-dalam dan berusaha tetap fokus. Ia melangkah kembali ke depan rumah dan berniat menyusuri jalan untuk mencari Nenek.

Mata Adrian terus menelusuri sepanjang jalan di depan rumahnya. Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya.

"Cari siapa, Nak?"

Adrian berbalik dan mendapati wanita yang dari tadi ia cari berada di hadapannya. Bahunya mulai bergetar dan air matanya mengalir deras. Bahkan ia tidak mampu menyentuh wanita itu.

"Anak laki-laki nggak seharusnya nangis di tengah jalan begini." Wanita itu menepuk pundak Adrian dengan lembut.

Adrian tidak mampu membalas kata-kata wanita itu. Ia menurut ketika wanita itu membawanya duduk ke salah satu pos ronda yang ada di dekat mereka.

Ketika sudah tenang, Adrian menyentuh tangan keriput wanita itu dan bertanya, "Nenek dari mana?

"Nenek? Apa saya setua itu untuk dipanggil Nenek?" Wanita itu bertanya dengan wajah yang benar-benar kelihatan bingung.

Adrian menghela napas dan memejamkan matanya sebentar. "Ini Adrian, Nek." Laki-laki yang rambutnya terurai itu memindahkan tangan Nenek yang ia genggam ke wajahnya. "Cucu Nenek."

Wanita itu tidak terlihat terkejut. Ia malah tertawa geli.

"Saya lihat-lihat kamu memang mirip anak saya. Semoga saya punya cucu sebaik kamu nantinya."

Air mata Adrian kembali menetes. Tidak ada pilihan lain, Adrian merasa kalau ia harus segera membuat keputusan.

Ponytail ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang