26. Akhirnya

136 27 45
                                        

Setelah Adrian melepaskan pelukannya, laki-laki itu mundur dan merebahkan tubuhnya ke rumput. Viona yang melihat hal itu hanya duduk dan menyembunyikan wajahnya yang merona. Viona mengeluarkan satu stik cokelat dari tasnya dan mulai memakan cokelat itu. 

"Viona Karunasakara." Tiba-tiba Adrian berbicara dengan nada yang mampu membuat Viona merinding. Laki-laki itu berbicara dengan serius. 

Gadis berambut gelombang itu menelan cokelat dengan susah payah. Ia mengerjap dan tidak berani menoleh pada Adrian.

"Kenapa lo bisa suka sama gue?" Laki-laki berambut terikat itu masih berbicara dengan nada yang sama.

Viona kembali menelan ludah. Ia menimbang-nimbang jawaban yang akan diberikan. Dalam kondisi serius seperti ini, Viona harus berpikir rasional untuk menaikkan kemungkinan Adrian tersentuh oleh kata-katanya.

"Gue nggak ganteng, nggak kaya dan nggak pintar. Apa yang membuat lo suka sama gue?" Adrian bertanya dengan suara lebih berat.

Viona menjawab ragu-ragu. "Aku suka sama kamu karena itu kamu. Dari tadi aku berpikir dan nggak bisa menemukan alasan lain." 

"Memangnya gue orang yang seperti apa?" 

Viona menjawab setelah menarik napas dalam-dalam. "Kamu nggak kelihatan ramah, tapi diam-diam peduli sama sekitarmu. Kamu kelihatan nggak punya teman, tapi kamu selalu bisa bekerja sama di setiap kerja kelompok. Kamu kelihatan tidak peduli dengan sekelilingmu, tapi aku tahu kamu berusaha menjaga semua orang yang berarti untukmu." 

Mereka terjebak dalam diam selama beberapa saat. Tiba-tiba Adrian mengubah posisinya menjadi duduk. Laki-laki itu duduk tepat di samping Viona.

"Kamu nggak mau tanya hal yang sama?" Adrian menatap gadis yang masih menunduk itu. 

"Menurutmu, aku orang yang bagaimana?" Viona bertanya setelah ragu-ragu menoleh.

Mata mereka bertemu. Tatapan Adrian terkunci, ia menatap mata Viona hingga membuat gadis itu kewalahan karena grogi.

"Bukan itu, yang sebelumnya." Tatapan mata Adrian bukan jenis tatapan yang mengintimidasi, tetapi entah mengapa, tatapan laki-laki itu membuat Viona kehilangan kemampuannya untuk bicara.

Ingatan Viona seperti membeku. Gadis itu akhirnya bertanya setelah memaksa otaknya untuk bekerja lebih keras. "Apa yang buat kamu suka sama aku?" 

"Lo satu-satunya cewek yang bisa bikin gue kesal sekaligus khawatir di saat yang sama. Lo satu-satunya cewek yang nggak tahu malu mengatakan kalau suka sama gue sejak pertama kali ketemu. Lo satu-satunya cewek yang bikin gue nggak bisa tidur semalaman." 

Setelah menyelesaikan kalimatnya, tangan Adrian bergerak menuju rambut Viona yang terurai. Laki-laki itu menyelipkan rambut yang terus bergerak di pipi Viona ke belakang telinga. Hal itu membuat kemampuan berpikir Viona merosot tajam. Ia membeku dan hanya melihat Adrian tanpa ekspresi ketika laki-laki itu tersenyum sebelum kembali rebah ke rumput.

Adrian terkekeh. "Lo ngerti nggak sih apa yang gue omongin?" 

Viona menoleh dan menggeleng kaku. Gerakannya kini lebih mirip dengan manekin. 

"Yaudah lupain kalau gitu." Adrian masih tertawa sambil menatap langit.

"Tunggu. Aku mikir dulu. Tadi kamu suruh aku tanya. Setelah itu aku tanya kenapa kamu suka sama aku? Terus kamu jabarin panjang lebar. Hah! Gimana?" Gadis itu menutup mulutnya yang menganga. Mata bulatnya kelihatan semakin besar. Viona menatap Adrian yang masih tertawa. Tawa laki-laki itu malah semakin keras. 

"Jadi, yang tadi itu?" Viona bertanya dengan terbata.

Adrian kembali mengubah posisinya menjadi duduk. Laki-laki itu menumpangkan telapak tangannya di kepala Viona. "Iya, persis seperti yang lo duga. Gue suka sama lo."

Ponytail ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang