Hari ini Adrian terlambat memasuki kelasnya. hal ini terjadi karena ia bangun kesiangan. Untungnya Yessa tidak berhenti meneleponnya. Laki-laki berambut gondrong dengan pakaian gelap itu terengah-engah ketika tiba di kelas. Dosen bertubuh tambun yang kini sedang menunjuk power point itu hanya menghela napas. Beliau terdiam dan menurunkan kaca mata.
"Maaf, Pak. Saya terlambat." Adrian tidak berusaha memberikan alasan. Setidaknya ia sudah bersusah payah untuk hadir di kelas.
"Nama?" Dosen berwajah ramah itu bertanya dengan nada malas.
Sebelum menjawab, Adrian melihat ke arah Yessa yang sudah menggeleng dan memberi peringatan.
"Adrian Birendra." Laki-laki yang rambutnya terikat itu menjawab dengan suara kelewat pelan.
"Siapa?"
"Adrian Birendra, Pak." Adrian menjawab dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya.
"Ya, Adrian. Tolong tutup pintu itu dari luar." Dosen berwajah ramah itu mengusir Adrian dengan senyuman tulus di wajahnya.
Tanpa perlawanan, Adrian melangkah keluar setelah menghela napas.
Laki-laki bermata sipit itu duduk di depan ruang kelasnya hingga mata kuliah tersebut berakhir. Ketika pintu dibuka, Adrian langsung bangkit berdiri. Ia mengangguk untuk menyapa dosennya yang baru saja keluar dari ruang kelas. Setelah dosen tersebut melewatinya, Adrian berniat masuk ke kelas.
"Adrian."
Punggung Adrian menegang. Dosen yang tadi mengusirnya dari kelas memanggil. Ia berbalik dan melangkah mendekat.
"Kenapa kamu masih di sini? Nggak ke kantin aja?" Dosen tersebut bertanya setelah menyerahkan tumpukan kertas pada Adrian.
Gerak refleks Adrian membuatnya langsung menerima tumpukan kertas itu dan membawa kertas itu sambil mengikuti langkah dosennya.
"Saya masih ada kelas setelah ini, Pak." Adrian melepaskan ikat rambutnya untuk menutupi wajahnya. Rambutnya kini terurai dan menutupi sebagian wajahnya.
Mereka tiba di ruangan dosen tersebut dan Adrian meletakkan kertas yang ada di tangannya ke meja. Laki-laki yang masih mengenakan tas itu berniat berpamitan ketika dosen tersebut menyerahkan selembar kertas.
"Kamu nggak ikut ujian saya tadi. Silahkan kerjakan soal ini. Saya tunggu sampai jam 3 sore. Ini bukan perlakuan khusus. Nilai tertinggi untuk kamu hanya 70 dan tidak akan lebih." Dosen tersebut berbicara dengan nada peduh wibawa.
Adrian menggenggam kertasnya lebih erat. Ini pertama kalinya ia merasa diperhatikan oleh sosok yang mungkin akan seumuran dengan ayahnya. Kebanyakan dosen akan melihatnya dengan sebelah mata karena penampilannya. Adrian bukan anak nakal yang suka mencari masalah, tetapi ia juga bukan anak pintar yang selalu menjadi pusat perhatian. Ia menjadi sosok yang tidak terlihat di kelas.
"Terima kasih, Pak."
***
Gadis berambut gelombang dengan pita kecil di dekat telinga itu berdiri di depan Adrian yang tengah sibuk berkutat dengan kertas dan kalkulatornya. Viona mengetuk meja Adrian kemudian tersenyum ketika laki-laki itu melihat ke arahnya.
"Butuh bantuan?" Viona memutar kursi yang ada di belakangnya hingga kursi tersebut menghadap Adrian.
"Ini ujian. Gue harus kerjain sendiri. Harusnya gue bisa kok." Laki-laki dengan rambut terurai itu melepaskan ikat rambutnya dari tangan kiri dan mengikat rambutnya di depan Viona.
"Perjanjian pasal 4. Dilarang ikat rambut depan aku. Nanti aku jatuh cinta." Wajah gadis bergingsul itu merona.
"Huek. Amit-amit. Lo ngapain, Yan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ponytail ✓
General FictionAdrian, memiliki kecanduan mengikat rambut. Ia sudah memiliki rambut panjang sejak SMA. Ia memilih kuliah di Universitas Jatayu karena kampus tersebut memberinya beasiswa berdasarkan latar belakang keluarganya yang kurang mampu. Setelah satu semest...