16. Alasan

68 26 9
                                    

Adrian berbaring di hamparan rumput tepat di bawah pohon besar yang terkenal angker. Cuaca hari ini cukup cerah untuk membuatnya berbaring di rumput. Ia menatap langit dari sela-sela daun yang melingkupinya. Berkali-kali ia menghela napas panjang. Laki-laki yang duduk di sampingnya hanya tersenyum sambil mengunyah keripik singkong.

"Sudah mau menyerah?" Laki-laki berambut cepak itu bertanya dengan nada mengejek.

"Ibu itu kayaknya punya dendam pribadi sama gue. Sensi banget." Adrian menjawab sahabatnya dengan topik yang berbeda.

Yessa menghentikan kegiatannya dan melipat bungkus makanan ringannya. "Itu nggak akan mengubah fakta kalau lo butuh nilai dari beliau."

"Tumben lo bener." Laki-laki berikat rambut itu mengubah posisi menjadi duduk. Kakinya bersila layaknya seseorang yang hendak bermeditasi.

"Gimana kondisi Nenek?" Yessa bertanya setelah mereka duduk berdampingan.

Adrian menjawab dengan suara pelan. "Masih sama. Mungkin bisa dibilang sedikit memburuk." 

"Memburuk?" Dahi Yessa berkerut.

"Terakhir kali gue ngobrol, dia bahkan nggak ingat ayah gue. Dia hanya ingat kalau punya anak laki-laki, tapi nggak ingat rupanya." Adrian kembali menghela napas panjang.

Belum sempat Yessa menanggapi kata-kata Adrian, perhatian laki-laki itu kini teralihkan pada sosok seorang gadis yang tengah melambai pada mereka. Gadis berambut panjang itu melangkah mendekat dengan langkah yang diikuti beberapa lompatan kecil. Sepertinya gadis itu sangat bahagia. Bahkan deretan giginya bisa terlihat dari jarak tiga meter.

"Masalah datang." Yessa berbisik.

"Hai, kalian memang suka nongkrong di sini ya?"

Adrian bangkit dari duduknya. Kemudian bertanya dengan nada datar. "Ada apa?" 

Viona cemberut. Ia mengeluarkan sebuah buku dan menyodorkannya pada Adrian. 

Adrian menerima buku tersebut. "Ini apa?"

Gadis itu membantu Adrian membuka buku yang ada di tangannya. "Ini catatan kuliah Fisika hari ini." Ia membalik beberapa lembar kertas dan menunjuk pada tulisan yang sudah diwarnai dengan warna cerah. "Ini sudah ditulis sesuai bab. Jadi, kamu bisa belajar dari sini."

"Gue juga punya catatan." Adrian menyerahkan buku itu kembali.

"Sini buat gue kalau nggak mau." Tangan Yessa melesat dengan cepat untuk mengambil buku tersebut. Namun, gerakan tangannya kalah cepat dengan gerakan Adrian. Laki-laki dengan rambut terikat itu mengangkat buku Viona tinggi-tinggi.

"Makanya nggak usah sok jual mahal." Yessa berdecak.

Viona tersenyum. Senyuman yang mampu menunjukkan gingsulnya. Tanpa sadar Adrian turut tersenyum. Namun, wajahnya kembali berubah dingin ketika gadis itu kembali menatapnya.

"Aku nggak bisa belajar sama kamu hari ini. Jadi, sebagai gantinya kamu harus memahami materi ini dari hasil catatanku. Oke." Viona berbicara dengan nada yang lebih tegas dari biasanya.

Laki-laki bermata sipit itu mengerjap tidak percaya. Dalam situasinya kali ini, Adrian merasa kalau ia adalah satu-satunya pihak yang dirugikan. Ia harus menuruti semua hal yang diperintahkan gadis itu asalkan masih berhubungan dengan upaya menaikkan IP.

"Jangan protes. Harusnya kamu senang hari ini nggak perlu aku marahin." Gadis berambut gelombang itu berbicara dengan nada serius. 

"Ada betulnya juga. Lo belajar sama gue aja sini." Yessa menawarkan bantuan sambil merogoh tasnya.

Ponytail ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang