Adrian tidak langsung pulang ke rumah setelah rencana belajar bersamanya dibatalkan sepihak. Laki-laki yang memiliki kecanduan mengikat rambut itu kembali duduk di taman. Ia memilih tempat yang sama dengan sebelumnya.
Adrian duduk di bawah pohon rindang yang kata orang usianya melebihi usia kampus Jatayu. Banyak rumor yang beredar kalau pohon itu angker. Hal itu juga yang membuat jarang orang yang mau duduk di sekitar daerah naungan pohon itu. Belum lama setelah Adrian duduk, ia mendengar suara tangis seorang wanita.
"Gue pasti salah dengar." Laki-laki berikat rambut hitam itu berbicara pada dirinya sendiri. Ia meletakkan tasnya dan duduk meluruskan kaki. Adrian melepaskan kacamata dan memasukkan benda itu ke kotaknya. Mata sipit laki-laki itu memandang langit yang sebentar lagi berubah warna menjadi oranye.
Adrian masih menikmati pemandangan yang sering disebut magic hour itu. Namun, suara tangis itu malah semakin keras. Adrian sebenarnya penasaran, tetapi ia memilih untuk beranjak dari sana.
"Oy." Dari suaranya saja Adrian sudah tahu kalau itu Yessa.
Laki-laki bermata sipit itu menghela napas. Yessa datang mendekati Adrian dan hal ini membuatnya batal beranjak dari sana.
"Doyan amat duduk di sini. Lo tahu nggak kalo di sini tuh angker?" Yessa berbicara sambil berbisik.
"Lo tahu di sini angker, tapi masih hampirin gue." Adrian menggeleng setelah sahabatnya itu duduk di sampingnya.
"Viona mana? Cepet amat mainnya?" Yessa bertanya setelah membaringkan tubuhnya di rumput dan melipat tangannya sebagai bantal.
"Bahasa lo ambigu. Gue belajar, bukan main."
"Iya belajar. Udahan?" Mata bulat laki-laki berkulit cokelat itu turut menikmati perubahan warna yang terjadi pada langit.
"Batal. Katanya dia nggak enak badan." Adrian menjawab apa adanya.
"Nggak enak badan? Nggak mungkin. Lo nggak lihat pelototan matanya ke gue tadi? Gue sampe takut tuh mata lompat dari tempatnya."
Yessa mengubah posisinya jadi menghadap ke Adrian. Mata bulatnya menatap Adrian penuh selidik.
"Lo melakukan apa waktu sama dia tadi?" Kini Yessa bertanya dengan tatapan menghakimi.
"Melakukan apa? Astaga, Rakiyessa gue berani sumpah. Gue nggak ngapa-ngapain." Adrian mengangkat tangannya dan membentuk huruf v.
Yessa tidak lanjut mendebat. Ia kembali mengambil posisi terlentang dan malah memejamkan matanya. Setelah beberapa saat suara tangis itu terdengar lagi. Yessa tiba-tiba bangkit dari tidurnya dan menempelkan jari telunjuk kirinya di bibir. Tangan kanannya turut memberi sinyal agar Adrian diam. Suara tangis itu terdengar lagi.
"Lo denger sesuatu nggak, Yan?" Yessa bertanya dengan suara pelan.
"Suara cewek nangis, 'kan? Dari tadi juga udah ada suara begituan." Laki-laki berwajah oriental itu menjawab santai dan sibuk melepaskan ikat rambut kemudian mengikat rambutnya kembali.
Begitu mendengar jawaban Adrian, laki-laki berambut cepak itu langsung bangkit berdiri dan menarik Adrian yang masih mengikat rambut.
"Sabar, elah. Suara gitu doang lo takut. Malu sama rambut." Adrian tertawa kecil dan mengikuti Yessa yang sudah berjalan terburu-buru.
"Heh. Kalo lo sih wajar nggak takut. Lo udah kayak setan soalnya. Gue nih bisa jadi idola para setan tahu nggak? Mana ada cowok secakep gue di dunia sana." Yessa berbicara dengan tingkat kepercayaan diri selangit.
"Ya, wajar lo menang. Dibandinginnya sama setan." Adrian terkekeh setelahnya.
***
Gadis dengan rambut bergelombang itu sibuk membuat sesuatu di dapur. Rambutnya dibiarkan terurai, hanya saja poni tipisnya kini dijepit ke samping. Suara gesekan wajan dan sudip membuat suasana dapur ramai.
Wanita paruh baya yang baru saja pulang dari pasar itu hampir saja menjatuhkan belanjaannya ketika melihat putri semata wayangnya tengah sibuk berkutat dengan wajan dan sudip. Viona adalah satu dari banyak gadis yang paling anti masuk ke dapur. Ia sama sekali tidak punya ketertarikan akan hal itu. Namun, tiba-tiba hari ini ia bangun lebih pagi dari biasanya hanya untuk melakukan kegiatan yang jarang sekali ia lakukan.
"Vio kesambet apa sih? Pagi-pagi begini kok sudah masak aja." Mami meletakkan barang belanjaannya di meja dapur.
"Lagi pengen, Mi." Gadis berpakaian baju tidur itu menjawab sambil terus mengaduk masakan yang tengah ia buat.
"Kalau masak sambil cemberut gitu nanti masakannya nggak enak loh." Mami sengaja menggoda Viona yang kelihatan meluapkan semua emosinya saat memasak.
"Mami, ih." Gadis bermata bulat dan berbibir tebal itu cemberut. Namun, tangannya tetap sibuk mengaduk makanan yang ada di wajan.
Viona tidak terganggu oleh ledekan maminya. Ia tetap melanjutkan kegiatannya. Gadis itu menambahkan telur dadar yang sudah ia buat sebelumnya. Telur itu diletakkan di atas nasi goreng yang ia buat.
"Mami, cobain deh." Viona menyodorkan makanan yang ia buat.
"Biar Mami tebak. Ini pasti buat teman kamu itu, 'kan? Siapa namanya?" Wanita paruh baya itu menyuapkan sesendok nasi goreng buatan Viona ke mulutnya.
"Adrian, Mi. Enak nggak?" Viona bertanya dengan antusias.
"Sebenarnya sudah enak kok, tapi kayaknya kamu salah masukin garam deh." Mami mengambil segelas air dan meminum setengah gelas tanpa jeda. Wanita itu terus tersenyum. Sama sekali tidak menunjukkan wajah kecewa.
"Kenapa, Mi?"
"Nasi goreng kamu manis banget kayak yang buat." Mami menjawab dengan senyum yang benar-benar tulus.
Viona tidak percaya pada kata-kata maminya, gadis itu turut mengambil sendok dan mencicipi makanan tersebut. Setelah makanan tersebut memasuki mulutnya, Viona langsung memuntahkan makanannya. Kemudian ia tersenyum karena merasa bersalah.
"Kok tumben. Biasanya kamu bawa masakan Mami. Kenapa pagi ini tiba-tiba mau masak sendiri?" Mami bertanya sambil memasukkan barang belanjaannya ke kulkas.
"Kan kata Mami, Papi tuh jatuh cinta karena masakan Mami. Jadi, Vio mau coba masak buat Adrian. Siapa tahu dia jatuh cinta sama Vio. Abisan kalo bawa masakan Mami terus, nanti Adrian naksirnya sama Mami bukan sama aku." Viona menjawab setelah duduk di kursi yang ada di dekat kulkas.
Wanita yang tengah disibukkan oleh belanjaannya itu tertawa. "Papi kamu jatuh cinta sama Mami itu bukan cuma karena masakan aja Vio."
"Jadi karena apa, Mi?" Viona bertanya dengan antusias.
"Tanya Papi kamu sana." Mami masih saja tertawa.
"Yeu, masa aku disuruh tanya sama batu nisan. Serius, Mami." Viona menghela napas.
"Jatuh cinta itu nggak butuh alasan Vio. Coba sekarang Mami tanya, apa alasan kamu cinta sama Mami?" Wanita paruh baya itu menghentikan segala kegiatannya dan menatap Viona.
Viona nyengir kuda kemudian ia mendekat untuk memeluk wanita itu. "Karena Mami itu maminya aku."
"Kita nggak bisa memilih siapa yang terikat dengan kita melalui hubungan darah, tapi kita bisa memilih siapa yang mau kita cintai." Wanita itu melepaskan pelukannya dan merapikan rambut anak gadisnya itu.
"Kamu nggak bisa pilih Mami lain karena kamu anak Mami, tapi kamu bisa memilih untuk mencintai Mami atau enggak. Lain halnya dengan pasangan. Pasangan adalah satu-satunya anggota keluarga yang bisa kamu pilih. Mami harap, pasangan kamu nantinya adalah seseorang yang juga mencintai kamu."
"Kayak Papi yang cinta sama Mami." Gadis itu berbicara setelah memeluk wanita itu kembali.
"Kayak Papi yang cinta sama Mami." Mami mengulangi kata-kata Viona, tetapi ada sesak yang merasuki dadanya. Kata-kata sederhana itu tidak bisa ia katakan dengan mudah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ponytail ✓
General FictionAdrian, memiliki kecanduan mengikat rambut. Ia sudah memiliki rambut panjang sejak SMA. Ia memilih kuliah di Universitas Jatayu karena kampus tersebut memberinya beasiswa berdasarkan latar belakang keluarganya yang kurang mampu. Setelah satu semest...