4. Mimpi Buruk

118 42 13
                                    

Sedari malam, Adrian sudah punya rencana untuk tidak meninggalkan kasurnya setidaknya sampai pukul sepuluh. Namun, rencananya jadi berantakan karena Nenek mengetuk pintu kamarnya hingga berulang kali. Awalnya ia ingin mengabaikan ketukan itu karena matanya masih berat untuk dibuka. 

"Adrian." 

"Iya." Adrian menyahut dengan suara parau khas orang mengantuk. Ia menarik selimutnya lebih tinggi hingga menutupi hampir seluruh tubuhnya dan hanya menyisakan bagian kepala saja.

"Ada teman kamu ini." 

Adrian menghela napas, tetapi masih enggan membuka matanya. Pintu kamar Adrian dibuka setelah Nenek mengizinkan orang itu masuk. Namun, tiba-tiba ia ingat kalau satu-satunya teman yang ia miliki hanya Yessa. Laki-laki dengan rambut yang lebih mirip singa itu membuka mata pelan-pelan, berharap kalau ia salah dengar.

"Morning, Adrian Birendra yang tidurnya udah ngalahin kebo." 

Adrian mengembuskan napas lelah. Cowok itu malah menggeliat menjauh dari Yessa yang kini duduk di tepi ranjangnya. Ia menarik selimutnya hingga membuatnya tenggelam di dalamnya. 

"Adrian. Waktunya bangun." Laki-laki berambut cepak dan berhidung layaknya perosotan itu menarik selimut yang menggulung Adrian dengan sekuat tenaga. 

Mau tidak mau adegan tarik menarik pun terjadi. Meski ukuran badan mereka tidak jauh berbeda, tetapi Adrian kalah karena secara teknis ia masih setengah sadar. Kini laki-laki bermata sipit itu merasa seperti telah ditelanjangi. Yessa yang berdiri sambil memegang selimut Adrian bersorak gembira.

"Bangun lo. Gue mau kasih berita buruk." Yessa melemparkan selimut ke tubuh Adrian yang masih terbaring itu. 

"Udah kayak jelangkung aja lo. Datang tak diundang ..." Kalimat Adrian terputus karena Yessa langsung menyambarnya penuh semangat.

"Heh, dasar temen nggak tau diri. Liat berapa panggilan tidak terjawab yang ada di handphone lo sekarang. Gue sampe kesel gara-gara lo nggak bisa dihubungi." Yessa meraih ponsel yang tergeletak di nakas Adrian dan mengangkatnya hingga sejajar dengan wajah mereka. "Gunanya ini tuh apa kalau cuma di-mode hening doang?" Yessa mengeluh dengan sepenuh hati.

Adrian batal melanjutkan kalimatnya. Ia tidak jadi mengeluh karena Yessa saat ini sedang dalam mode galak. Dengan pasrah, Adrian mengumpulkan tenaga untuk menarik tubuhnya dan mengubah posisi dari berbaring jadi duduk.

"Silahkan dilanjutkan, Tuan Rakiyessa." Adrian mempersilakan Yessa untuk lanjut berbicara layaknya pramugari yang sedang mempersilakan penumpang untuk duduk.

Yessa menghela napas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya. "Wah, untung lo temen gue."

Adrian tersenyum tipis dan mengangguk.

"Noh, coba buka." Yessa menyodorkan ponsel Adrian yang sedari tadi ia pegang. "Lihat pengumuman baru di aplikasi kampus." 

"Hah?" Adrian kehilangan fokus. Ia sama sekali tidak mengerti ke mana arah pembicaraan mereka. 

"Hah. Hah. Lo tahu nggak kalo wakil rektor kemahasiswaan ganti?" Yessa bertanya setelah mengumpulkan kesabaran.

"Enggak. Ya apa hubungannya sama gue? Wakil rektor ganti kan nggak akan mempengaruhi hidup gue." Adrian menjawab sambil mengikat rambutnya yang sejak tadi terurai.

"Gue yakin, lo nggak akan bisa bilang gitu setelah lihat pengumuman baru itu." 

Meski ragu, Adrian tetap membuka aplikasi kampus. Beberapa kali ia melirik pada Yessa untuk memastikan kalau sahabatnya itu tidak bercanda. Lingkaran yang berputar di layar ponselnya masih terus bergerak ketika Adrian mencoba melirik kalender. Ini bukan tanggal 1 April dan wajah Yessa terlalu serius untuk memberinya prank. 

Ponytail ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang