17. Jatuh

77 26 9
                                    

Ada pepatah mengatakan, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Kalau kata Yessa, seharusnya Adrian bisa menerapkan hal itu untuk kondisi saat ini. Ia bisa tetap memanjangkan rambutnya dan mendapatkan bonus IP yang bagus. Sebenarnya laki-laki berambut panjang itu mengharapkan hal lain yang mungkin nantinya bisa ia dapatkan juga. Namun, ia tidak mau mengakui hal itu.

Laki-laki berpakaian gelap itu menopang dagunya dengan tangan ketika Yessa datang. Melihat hal itu, jiwa jail Yessa langsung meronta. Tidak peduli dengan kondisi sahabatnya yang tengah melamun, laki-laki itu malah menarik tangan Adrian yang digunakan untuk menopang dagunya.

Adrian hampir terjungkal dari kursi. Laki-laki bermata sipit itu benar-benar terkejut. Ia menarik napas dalam-dalam setelah menutup matanya. 

"Rakiyessa! Lo bisa nggak sih kalau mau menyapa tuh pakai cara baik-baik?" Adrian bertanya dengan nada tinggi.

Yessa malah cengar-cengir. "Lo dipanggil Pak Sopar. Tadi gue ketemu beliau di lobi prodi."

"Gue?" Adrian menunjuk dirinya sendiri.

"Iya, Adrian Birendra. Katanya sih lo jadi bahan julid dosen di prodi." 

Adrian tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Ia baru saja mau bertanya pada Yessa, tetapi laki-laki berkulit cokelat itu langsung menghentikannya dengan mengangkat tangan tepat di depan wajah Adrian.

"Eit, jangan tanya gue. Gue ini laki-laki bermartabat yang nggak suka gosip." Yessa mengangguk membenarkan diri.

"Sekarang?" Adrian bertanya dengan nada yang tidak lagi tinggi.

"Tunggu lebaran aja nggak apa-apa." Yessa menyipitkan mata dan melipat tangannya di dada.

"Oke. Gue cabut." Adrian langsung bangkit berdiri. Setelah berteman hampir setahun dengan Yessa, ia bisa membedakan mana kaliamat candaan dan mana yang serius.

Adrian berjalan menyusuri lorong kelas untuk tiba di kantor prodi. Ia sempat menarik napas dalam sebelum memasuki ruangan prodi. Laki-laki berambut panjang itu mengikat ulang rambutnya sebelum memasuki ruangan Pak Sopar. Adrian bisa merasakan kalau banyak mata menatapnya.

"Permisi." Adrian berseru setelah mengetuk pintu dengan papan nama Dr. Sopar Siregar, M.T.

"Iya, silahkan." Suara dari dalam ruangan menjawab.

Adrian kembali menghela napas dan tersenyum senyaman mungkin sebelum membuka knop pintu.

"Selamat siang, Pak."

Laki-laki bertubuh tambun itu duduk di kursi kerjanya. Adrian bisa melihat beberapa buku diktat yang terbuka di atas meja. Pak Sopar juga menggunakan kacamata yang lebih tebal dari biasanya.

"Selamat siang, Adrian. Silahkan duduk." Adrian duduk dan matanya fokus melihat Pak Sopar yang sibuk menutup beberapa buku untuk memberikan ruang pada meja yang ada di depannya.

"Saya dengar dari Yessa kalau Bapak mencari saya. Kalau boleh tahu ada apa ya, Pak?" Adrian bertanya diakhiri dengan senyuman. Ia sudah merasa nyaman dengan dosennya yang satu ini.

"Saya dengar dari Bu Ikah kalau kamu jadi bahan pembicaraan di prodi." Pak Sopar melepaskan kacamatanya dan meletakkan benda itu di meja.

Jeda sejenak yang terbentuk membuat Adrian menahan napas dan meneguk ludah. Perasaannya tidak enak.

"Di angkatan ini, kamu jadi salah satu anak yang paling menonjol untuk semua mata kuliah. Seorang Adrian yang selama ini tidak diketahui keberadaannya, kini jadi topik paling sering di bahas di kalangan dosen. Sepertinya kamu sudah melakukan banyak hal. Bagaimana perkembangan belajarmu?" Pria bertubuh tambun itu menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi setelah mengatakan hal itu.

Laki-laki bermata sipit itu membeku di tempat. Ia masih berusaha mencerna kalimat yang baru saja disampaikan dosennya. Ia masih ragu, hal yang kini disampaikan dosennya ini bersifat positif atau negatif.

"Saya sudah belajar sama Viona selama dua bulan, Pak. Saya masih berusaha mengejar ketertinggalan saya dalam hal belajar." Adrian menjawab setelah terdiam beberapa saat.

"Ada banyak orang yang meragukan kamu. Ada banyak orang yang tidak mempercayai perkembanganmu. Ada banyak orang yang berpikiran buruk tentangmu. Saya harap, apa pun yang akan kamu dengar nanti tidak akan mempengaruhi perjuanganmu."

Adrian menatap pria yang tengah berbicara di depannya dengan tatapan tidak percaya.

"Saat semua orang tidak mempercayaimu, saya akan jadi satu-satunya orang yang percaya. Saya yakin kamu punya alasan yang cukup kuat untuk tetap berjuang." Pak Sopar tersenyum ramah. Senyuman yang terasa hangat meski hanya dilihat.

Adrian menundukkan kepalanya. Ia berusaha mengingatkan dirinya agar tidak menangis.

Akhirnya laki-laki berambut terikat itu tersenyum dan mengangguk. Setidaknya ada ssatu orang yang mempercayainya. Adrian segera pamit setelah pembicaraan mereka selesai. Ia keluar dari ruangan Pak Sopar dengan senyuman di wajahnya, tetapi ekspresinya berubah drastis setelah bertemu dengan seseorang yang kini ada di hadapannya.

"Selamat siang, Bu." Adrian mengangguk untuk menyapa wanita yang tengah memegang secangkir kopi di hadapannya.

"Kamu Adrian?" Wanita itu bertanya setelah melihat Adrian dari ujung kaki hingga ujung kepala.

"Iya, Bu." Laki-laki bermata sipit itu menjawab sambil kembali mengangguk kaku.

Wanita itu menyunggingkan seringai. "Nilaimu tidak akan bisa sampai angka 3 kalau tidak lulus mata kuliah saya. Trik yang kamu pakai untuk mengelabuhi dosen lain tidak akan berlaku untuk saya. Viona tidak akan membantu sama sekali. Jangan manfaatkan anak manis itu untuk kepentingan pribadi kamu." 

Adrian terdiam. Ia tidak mengerti hal apa yang tengah dibahas dosennya ini. Wanita itu berlalu tanpa menunggu jawaban dari Adrian. Senyuman di wajah laki-laki berparas oriental itu luntur terbasuh khawatir. Gosip macam apa yang kini tengah beredar?

Adrian berjalan gontai. Energinya benar-benar terkuras karena menghabiskan waktunya untuk memikirkan kata-kata dosennya. Ia membuka ikatan rambutnya dan mengacak rambutnya. Kini rambut laki-laki itu terurai dan sebagian wajahnya tertutup karenanya. 

Sesekali ia menarik rambutnya kasar. Ia sedih sekaligus kesal di saat yang sama. Ia mulai menyalahkan dirinya sendiri karena membuat masalah yang seharusnya tidak terjadi kalau saja ia lebih giat belajar sebelumnya. 

Begitu tiba di kelas, Adrian mengambil tasnya yang ada di kursi barisan depan dan menyampirkannya di bahu. Ia sempat berhenti dan menatap sekeliling kelas kemudian ia berjalan ke sudut ruangan pada barisan kelas paling belakang. 

Semua orang yang ada di kelas menatap Adrian dengan tatapan penuh tanya. Bahkan Viona tidak berani menanyakan alasan Adrian pindah. Gadis itu hanya menonton hal yang tengah dilakukan Adrian. Wajah laki-laki itu kelihatan sangat menakutkan. Bahkan hanya untuk menyapa saja, Viona tidak berani.

"Wah, rakyat jelata pulang kampung nih." Yessa yang sedari tadi sibuk dengan teman-temannya di barisan belakang bertanya jail tanpa memperhatikan ekspresi Adrian.

Laki-laki berikat rambut itu tidak merespon apapun. Adrian meletakkan tasnya dengan kasar. Suara yang ditimbulkan lebih mirip seperti tas yang dibanting. Setelah duduk, ia langsung menenggelamkan wajahnya dibalik lipatan tangan. 

Yessa yang melihat hal itu secara langsung dibuat terkejut. Ia belum pernah melihat Adrian sekesal itu sebelumnya. Hampir semua mata menuju pada Viona dan Yessa bergantian. Mereka menuntut penjelasan akan hal menghebohkan yang baru saja terjadi.

"Gue nggak tahu apa-apa." Yessa berbicara pelan. 

Semua pandangan beralih pada Viona. Gadis itu juga menggeleng dan pandangannya tidak lepas dari Adrian yang kini kelihatannya sedang menenangkan diri. 



Ponytail ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang