18. Pembelaan

67 28 6
                                    

Laki-laki berambut panjang itu berjalan memasuki kelas. Ia membiarkan rambut bagian depannya terurai menutupi sebagian wajahnya. Bagian belakang rambutnya diikat hingga membentuk kucir ekor kuda. Adrian berhenti di deretan kursi paling depan. Ia sempat ragu sejenak, tetapi kakinya kembali melangkah.

Adrian kembali berhenti di deretan kursi bagian tengah. Ia sempat melihat sekeliling dan menghela napas. Kemudian kakinya kembali melangkah hingga deretan kursi paling belakang. Laki-laki berjaket abu-abu itu melewati lorong yang terbentuk antara barisan kursi dan berhenti di kursi yang berada di sudut ruangan.

"Memang di sini tempat gue yang seharusnya."

Adrian meletakkan tasnya dan duduk di kursi itu. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh kelas. Seperti biasa, ia datang lebih pagi dari semua orang. Tanpa terduga, seorang teman sekelasnya tiba tidak lama kemudian. Adrian bisa mendengar suaranya dengan jelas.

Laki-laki berambut terikat itu langsung menyembunyikan wajahnya di balik lipatan tangan. Ia bisa mendengar kalau temannya itu tengah menelepon seseorang.

"Gue rasa, Adrian tuh pasti manfaatin Viona aja. Lihat aja tugasnya bisa beres semua gitu. Dia pasti sengaja manfaatin Viona."

Suara gadis itu tidak lagi bergerak mendekat, sepertinya ia tengah berhenti di depan pintu yang terbuka lebar.

"Iya, 'kan? Dosen aja banyak yang nggak percaya loh sama dia. Katanya sih dia itu dekat sama Pak Sopar makanya nilainya juga terbantu."

Adrian berusaha tidak memperhatikan kata-kata yang disampaikan oleh temannya itu.

"Gue sih curiga. Dia suka banget cari perhatian. Pasti ada apa-apanya, 'kan?"

Adrian merasa kalau ia tidak akan bisa menjelaskan ke semua orang kalau apa yang ia lakukan bukan hanya untuk mencari perhatian atau untuk memafaatkan Viona. Ia punya alasan yang membuatnya harus berusaha lebih keras.

"Gue males banget harus sekelas sama orang suka cari perhatian kayak dia. Tampangnya aja yang sok kalem, padahal mah aslinya busuk."

Adrian sudah tidak tahan. Ia bangkit dari kursinya. Kalau ia hanya berdiam diri, masalah ini bisa jadi lebih besar. Laki-laki bermata sipit itu baru saja mau melangkahkan kaki ketika ia mendengar suara seseorang berteriak.

"Apa-apaan sih lo?"

"Harusnya aku yang tanya. Apa-apan sih lo? Sudah nggak punya urusan lain lagi sampai harus mengurusi masalah orang?"

Adrian mengenali suara itu. Suara itu milik gadis yang selalu mengganggunya di awal semester dan gadis itu juga yang menjadi mentornya selama dua bulan terakhir. Suara itu milik Viona.

"Oh, jadi lo nguping obrolan gue?" Suara gadis teman sekelas Adrian meninggi.

"Aku nggak nguping. Kamu aja yang ngobrol kayak pakai toa. Siapa aja yang lewat lorong kelas ini pasti bisa dengar obrolanmu dengan jelas."

Ada jeda sejenak. Adrian memilih kembali ke tempat duduknya.

"Lebih baik kamu pakai waktumu buat belajar, bukan untuk mengurusi hidup orang lain. Aku sama sekali nggak merasa dimanfaatkan oleh Adrian. Bahkan aku yang menawarkan diri untuk bantu dia. Jadi, kamu nggak punya hak buat menghakimi dia dan membuat aku seperti korban."

Suara langkah kaki kembali terdengar. Sepertinya salah satu dari mereka akan segera memasuki kelas.

"Satu lagi, Adrian bukan pencari perhatian. Dia melakukan itu karena dia butuh. Jangan bicara hal aneh lagi tentang Adrian atau kamu bakalan berurusan sama aku." Viona berbicara dengan nada yang sangat menusuk. Kalimatnya tajam dan lawan bicaranya tidak diberi kesempatan untuk bicara.

Ponytail ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang