Hari masih pagi ketika gadis berambut gelombang dengan pakaian tidur itu sudah disibukkan dengan kucing peliharaannya. Meski belum membasuh wajah, Viona sudah sibuk menuangkan makanan kucing ke mangkuknya. Setelah meletakkan makanan kucing kembali ke tempatnya, gadis itu mengusap punggung kucingnya yang sedang makan. Viona cengar-cengir sendiri ketika mengingat kejadian yang terjadi kemarin.
Viona dan Yessa kembali duduk di gazebo sebelah sekretariat. Laki-laki berambut panjang terikat itu tengah memberi makan kucing tidak jauh dari gazebo tempat Viona dan Yessa duduk. Wajah Adrian kelihatan lebih cerah dari sebelumnya. Laki-laki itu banyak tersenyum meski hanya melihat kucing yang sedang makan.
"Kayaknya dia gila setelah masuk ruangan Bu Indah." Yessa berbisik pada Viona yang duduk di sampingnya.
"Dia pasti senang banget bisa pertahanin rambut itu. Seenggaknya Nenek bisa mengenali dia." Viona berbicara menjawab Yessa, tetapi pandangannya tidak lepas dari Adrian.
"Wait, lo tahu soal Nenek?" Laki-laki berambut cepak itu membelalak hingga mata bulatnya kelihatan lebih besar.
"Apa yang Viona Karunasakara nggak tahu?" Gadis itu tersenyum sombong. Kini perhatiannya teralih pada Yessa yang kelihatan sangat terkejut.
"Gue rasa Adrian sudah percaya sama lo. Dia nggak pernah bilang apa pun sama gue sebelumnya sampai gue melihat sendiri waktu main ke rumahnya. Nenek benar-benar baik, tapi sayang dia nggak sadar kalau Adrian itu cucunya dan bukan anaknya. Bahkan gue harus memperkenalkan diri berkali-kali setiap main ke sana."
"Jadi pengen ketemu Nenek, deh." Viona menopang dagunya.
"Kalau Adrian percaya sama lo, dia pasti kasih izin lo ketemu sama Nenek."
"Lo beneran mau ketemu Nenek?" Adrian tiba-tiba bertanya. Entah sejak kapan laki-laki itu sudah berdiri di dekat mereka.
Viona mengangguk ceria. Senyumnya mengembang. Yessa sampai bergidik ngeri melihat tingkah gadis itu.
"Gue cabut, lanjutin aja obrolan kalian. Kalo ada apa-apa telpon gue, Yan. Gue takut lo diapa-apain sama bocah ini." Yessa melangkah menjauh setelah mengatakan hal itu.
Viona cemberut. Seperti biasa, ia memajukan bibir tebalnya hingga mirip seperti bebek.
"Jangan cemberut gitu. Kayak nggak tahu Yessa aja." Adrian mengusap pelan puncak kepala Viona.
Gadis itu mengerjap tidak percaya. Adrian yang menyadari kalau ia tengah menyentuh kepala Viona pun segera menarik tangannya kembali.
"Besok kan Minggu, mau ke rumah gue?" Adrian bertanya setelah berdehem.
Pertanyaan Adrian adalah pertanyaan sederhana, tetapi Viona benar-benar merasa senang. Gadis itu bahkan berdiri dari duduknya.
"Ehem." Suara deheman Mami membuyarkan lamunan Viona. "Dari tadi Mami panggil loh. Kok nggak menyahut. Kirain masih tidur, eh ternyata lagi ngelamun."
Viona cengar-cengir. Ia menyapa wanita paruh baya itu dengan suara parau. "Pagi, Mami aku yang paling cantik."
Mami mengecup puncak kepala Viona dan mengusap punggung gadis itu setelahnya. "Tumben, kenapa hari libur gini kamu bangun pagi?"
Viona tersenyum penuh arti.
"Mau jalan sama Adrian?" Mami bertanya dengan senyum yang tidak mau kalah.
"Ih, kok Mami tahu sih? Jangan-jangan dulu Mami cenayang ya? Aku kan belum cerita." Gadis itu protes hingga bangkit dari duduknya.
"Tahu dong, Mami gitu loh." Wanita dengan rambut bergelombang itu tertawa setelah melihat Viona ngambek. Gadis itu langsung memutar tubuhnya dan mengambil handuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ponytail ✓
General FictionAdrian, memiliki kecanduan mengikat rambut. Ia sudah memiliki rambut panjang sejak SMA. Ia memilih kuliah di Universitas Jatayu karena kampus tersebut memberinya beasiswa berdasarkan latar belakang keluarganya yang kurang mampu. Setelah satu semest...