Kafe bernuansa monokrom yang terletak di sudut jalan itu terlihat sepi. Hanya ada tiga orang karyawan berseragam yang tengah membersihkan meja dan menata kursi. Dua orang berada di dalam ruangan dan satu lainnya berada di luar ruangan. Laki-laki yang berada di luar ruangan itu memiliki rambut panjang dan membiarkan rambutnya menutupi sebagian wajahnya.
"Kak Adrian." Suara yang selalu Adrian dengar di kampus itu terdengar bahkan saat hari liburnya.
Adrian menggerakkan jarinya untuk menyisir rambut yang menutupi dahinya dan menghela napas lelah.
"Hai." Gadis berbaju kuning itu melambai dan tersenyum lebar. Adrian bisa melihat dengan jelas gingsul gadis itu.
"Maaf, kafe ini belum buka. Kami melayani pelanggan mulai pukul sepuluh. Silahkan kembali lagi setelah kafe dibuka." Adrian membalas sapaan gadis itu dengan kalimat yang selalu ia katakan ketika pelanggan datang lebih pagi.
"Jutek banget sih? Sepuluh menit lagi buka kok." Gadis itu tidak beranjak dari tempatnya. Ia malah memperhatikan Adrian yang kini terlihat lebih mempesona karena mengenakan apron kulit berwarna cokelat.
Laki-laki berambut panjang itu melirik sekilas dan melanjutkan kegiatannya. Ia kembali mengelap meja dan menata kursi yang belum tersusun di tempat seharusnya. Kebetulan hari ini Adrian bertugas untuk membalikkan tanda yang menunjukkan kalau kafe telah buka.
Adrian kembali menghela napas saat ia akan membalikkan papan tanda tersebut. Viona sudah berdiri di balik pintu kaca yang kini hendak ia buka.
"Selamat datang. Silahkan, Kak." Adrian tersenyum dan menyapa Viona dengan ramah. Senyuman yang sangat jarang ia tunjukkan saat berada di kampus.
"Kayaknya aku bakalan sering main ke sini. Terima kasih." Gadis itu mengedipkan mata kirinya ketika melewati Adrian.
Begitu gadis itu masuk, Adrian melepaskan ikat rambutnya yang melingkar di tangan kirinya dan mengikat rambutnya kasar.
Hari ini Adrian bertugas sebagai pelayan yang mengantarkan pesanan pelanggan. Ia mengantarkan makanan dan minuman yang dipesan oleh Viona. Laki-laki yang kini rambutnya sudah dikucir itu meletakkan pesanan Viona dan memberikan sebuah fortune cookie. Kafe mereka memang selalu memberikan fortune cookie bagi pelanggan pertama setiap harinya.
"Silahkan dinikmati. Ada yang bisa saya bantu lagi, Kak?" Adrian berusaha keras untuk menampilkan senyum.
"Shift kamu selesai jam berapa? Boleh ngobrol sebentar nggak?"
Adrian memutar bola matanya. Ia menarik napas dalam-dalam dan menatap Viona dengan tatapan sesinis mungkin.
"Jangan galak-galak. Aku nggak mau nembak kamu kok. Cuma ada yang mau diomongin aja." Viona menatap Adrian dengan mata yang penuh harap dan kelihatannya gadis itu jujur.
Akhirnya Adrian menjawab pertanyaan Viona setelah menghela napas. "Jam dua siang."
"Oke. Aku bakalan numpang nugas di sini sampai jam dua." Dengan semangat gadis itu mengeluarkan laptop dan beberapa buku.
Adrian kembali ke balik konter dan meletakkan nampannya. Ia membuka ikatan rambutnya dan mengikat mereka kembali. Kali ini jadi lebih rapi dari sebelumnya. Rekan kerja Adrian yang bertugas menerima pesanan melihat Adrian dan tertawa kecil.
"Pacarnya?" Laki-laki yang mengenakan apron serupa dengan yang digunakan Adrian itu tersenyum penuh arti.
"Bukan. Dia teman sekelas gue." Adrian menjawab sambil merapikan apron yang ia kenakan.
"Temen tapi demen?" Laki-laki tadi tersenyum hingga memperlihatkan lesung pipinya.
"Enggak, Bang. Dia cuma teman gue aja." Adrian berkata demikian dengan nada datar. Namun, ia meragukan kata-katanya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ponytail ✓
Ficción GeneralAdrian, memiliki kecanduan mengikat rambut. Ia sudah memiliki rambut panjang sejak SMA. Ia memilih kuliah di Universitas Jatayu karena kampus tersebut memberinya beasiswa berdasarkan latar belakang keluarganya yang kurang mampu. Setelah satu semest...