Setelah melaksanakan ujian terakhirnya, Adrian memilih untuk langsung ke kantin untuk mengisi perutnya yang sudah keroncongan. Ia makan bersama Yessa dan beberapa teman angkatannya.
Laki-laki berambut panjang itu tidak lagi menjadi bahan pergunjingan untuk beberapa temannya. Terutama orang-orang yang terlibat langsung dengannya baik itu dalam proyek maupun tugas kelompok. Namun, tetap saja ada satu dua orang yang meragukannya dan masih menjadikannya topik pergunjingan.
"Gaya makan lo udah kayak nggak makan seharian." Yessa menggeleng ketika melihat Adrian sampai mengangkat mangkuknya untuk menghabiskan kuah soto.
Adrian meletakkan mangkuknya dan menatap Yessa sinis. "Emang. Gue lupa sarapan tadi pagi."
"Gila lo, hancur sudah citra laki-laki pendiam penuh misteri. Ternyata bar-bar juga." Salah satu teman yang duduk bersama mereka berbicara setelah memindahkan minuman Adrian.
Laki-laki berkulit pucat itu menenggak seluruh air dinginnya hingga hanya tersisa bongkahan es di dasar gelas. "Gue cabut duluan."
"Eh, kampret. Langsung pergi aja. Bisa sakit perut tahu nggak, itu makanan belom turun." Yessa menarik tas punggung Adrian dengan satu tangan.
"Gue buru-buru." Adrian menepis tangan sahabatnya itu dan melambai dengan senyum tipis.
Teman-teman lainnya yang ada di meja yang sama tertawa karena tingkah mereka.
"Lo belom bayar, Adrian." Yessa memenggil Adrian dengan suara kelewat lantang. Beberapa orang sampai menoleh ke meja mereka.
Adrian berbalik dan menyatukan tangannya untuk memberi kode meminta tolong pada Yessa. Laki-laki berambut cepak itu hanya menghela napas dan melanjutkan kegiatannya.
Laki-laki berambut terikat itu berjalan menuju pohon besar yang ada di pinggir lapangan rumput. Ia sudah berniat untuk tidur sejenak di sana sebelum melanjutkan aktivitasnya bekerja di kafe. Tanpa terduga, Adrian melihat seseorang yang sangat ia kenali tengah duduk di sana.
Adrian melepaskan ikat rambutnya dan mengacak rambutnya pelan. Ia melingkarkan ikat rambutnya di tangan kiri dan ia berjalan mendekati gadis itu. Gadis itu mengenakan kemeja berwarna kuning pucat dengan celana jeans biru muda. Rambutnya dibiarkan terurai dengan poni tipis yang menutupi dahinya. Gadis itu meluruskan kakinya dan tubuhnya ditopang oleh kedua tangannya. Kepalanya sibuk mendongak melihat awan.
Laki-laki berkulit pucat itu sudah membawa tasnya dengan satu tangan. Tangan lainnya sibuk menyentuh layar posel. Tanpa permisi, Adrian langsung merebahkan tubuhnya di atas rumput dengan paha Viona sebagai bantalnya. Ia membiarkan rambutnya terurai dan sebagian rambutnya jatuh di wajahnya.
"Adrian." Viona benar-benar terkejut mendapati laki-laki favoritnya itu kini ada di hadapannya dengan posisi sangat tidak terduga.
Laki-laki bermata sipit itu tersenyum. Sedari tadi ia menutup matanya. "Nebeng bentar. Gue nggak tidur semalaman."
Viona membeku di tempat. Ia bahkan lupa bernapas sejenak. Matanya mengerjap berkali-kali. Ia kesulitan memahami maksud laki-laki ini.
"Jangan lupa napas. Gue nebeng lima belas menit aja." Adrian berbicara pelan.
Viona salah tingkah. Ia bahkan tidak tahu harus melihat ke arah mana. Langit biru dan awan yang ada di atas sana selalu jadi favoritnya, tetapi laki-laki di hadapannya kini tidak boleh disia-siakan.
Akhirnya, Viona memilih untuk mengamati wajah Adrian. Laki-laki ini kelihatan sangat kelelahan. Lingkar hitam di bawah matanya lebih gelap dari hari pertama ujian. Pasti ia berusaha sangat keras untuk menaikkan nilainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ponytail ✓
Ficção GeralAdrian, memiliki kecanduan mengikat rambut. Ia sudah memiliki rambut panjang sejak SMA. Ia memilih kuliah di Universitas Jatayu karena kampus tersebut memberinya beasiswa berdasarkan latar belakang keluarganya yang kurang mampu. Setelah satu semest...