Melankoli

139 50 39
                                    

Kim Taehyung | Jeon Jungkook | Fluff | School!AU | 700 words | Jungkook is a bit tsundere

.

Kau menunjukkan padaku warna yang tidak bisa kulihat dengan siapapun, dan kau tahu bahwa
untukmu aku akan mengorbankan apapun dalam diriku. (Taylor Swift - Illicit Affairs)

.

.

.

"Tertinggal lima belas menit, Kim."


Tidak ada yang menyahut dari setiap penjuru ruangan. Derit kursi padam, sorak sorai luntur seketika. Bisikan-bisikan terdengar berkali-kali lipat lebih sadis dari semestinya. Seperti katastrofe yang baru saja sampai, puluhan pasang mata menyiratkan ketidak-inginan yang sama akan hadirnya lelaki itu di ruangan ini.

Maka, tanpa perlu menoleh pada satu-satunya atensi yang dijunjung tinggi itu, alih-alih menunduk dalam, merasa menyesal, permintaan maaf yang iba, pemuda Kim itu hanya berjalan lurus dengan gurat wajah yang jauh dari kata amikal. Tanpa sinar, bengis, dan seperti bukan manusia.

Langkahnya terhenti di depan bangku kosong—tempat di mana seseorang tidak pernah memiliki hak mengisinya—di samping seseorang. Di rentetan bangku paling belakang pemuda Kim menemuinya. Setidaknya untuk hari ini.

"Ke mana saja, sial tiga hari aku kelimpungan."

Tanpa disorot dunia, hanya semesta dan kedua hati yang tahu—bahwa untuk pagi ini pukul sepuluh lewat tiga puluh menit, Kim Taehyung tersenyum. Pemuda itu jelas tahu, kalau saat ini ia harus mengendalikan desir darah dari dalam detak jantung yang berpacu lebih cepat dari apa yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Ia tahu jika untuk saat ini, Taehyung hanya ingin memeluk Jungkook.

"Aku tidur." Taehyung hanya mengendikkan bahu kemudian bersandar pada kursinya.

"Ikuti kelas, kau tidak tahu seberapa jauh kau harus mengejar ketertinggalan." Jungkook hanya sempat melihat dari sudut matanya sebelum kembali beralih pada rententan rumus yang akhir-akhir ini berhasil mendistraksi pikirannya.

"Aku harusnya peduli padamu, bukan pada Profesor. Tidak ada pertanyaan perihal kenapa aku tidak hadir, Jung?" ucap Taehyung tanpa memindahkan posisinya bersandar dengan kedua mata yang terkatup.

"Tidak."

Mendengar itu, Taehyung beringsut menuju eksistensi pemuda yang masih berkutat pada lembar kertasnya dengan kening yang terlipat. "Aku merindukanmu," balas Taehyung di depan telinga Jungkook yang seketika memerah.

"Jangan macam-macam, Kim. Sungguh, kita bisa bicara nanti."

Nada bergetar yang terdengar diucapkan begitu payah tidak berhasil membuat Taehyung berhenti. Lelaki itu merebut pena dari genggaman Jungkook, kemudian menarik dagunya menggunakan tindakan yang impusif.

"Tatap aku, Jung."

"Tae," kata Jungkook mati-matian setengah berbisik namun tetap terdengar jelas dari jarak yang terasa begitu kacau.

"Maaf, oke?" kata Taehyung penuh implikasi.

Ada sesuatu di mata Jungkook yang membuat Taehyung selalu memandangnya dengan cara yang berbeda. Menyelami satu per satu binar jelaga yang tidak pernah menyiratkan satu hal, kecuali ketulusan.

Taehyung mencintai Jungkook dengan cara yang sama.

Jungkook masih mematung. Udara dan bising yang seketika terkedapkan oleh suara debum jantung memaksanya mengangguk sebagai jawaban dari pernyataan yang paling tidak bisa dibantah.

Taehyung kembali tersenyum. "Pukul 1, kafetaria depan kampus. Aku tunggu. Sampai jumpa, Jung."

Kemudian
—derit meja kursi mengganggu pendengarannya, seisi kelas bersuara remang atau bahkan tercekat. Saat untuk detik berikutnya melihat Taehyung pergi begitu saja meninggalkan isi kepalanya yang begitu berisik di tengah-tengah tatapan aneh orang-orang. Saat itu pula, Jungkook tidak ingin lagi mendustai perasaannya.

Hal-hal kecil yang dilakukan Taehyung menciptakan begitu banyak tendensi untuk lebih sering mencintainya. Hari ke hari, tidak ada yang berubah, segalanya tetap saja terasa monokromatik. Fraksi yang berhiaskan warna yang berpendar seolah galaksi dengan segala aspek turbulensinya. Jungkook merasa Taehyung telah sekali lagi memaksanya untuk jatuh cinta.

Impulsif, Jungkook mengejar ke mana punggung Taehyung terlihat.

"Piercing-mu kurang bagus, Tuan."

Seketika setelah menemukan Taehyung menggigit cerutunya, Jungkook menyentil pelan ujung telinganya. Berkata untuk tidak mengenakan anting-anting lagi jika berangkat, lalu Taehyung hanya menjawab, "Baiklah, Nyonya."

Itu membuat Jungkook tertawa.

"Taehyung, aku mencintaimu."

Saat asap rokoknya keluar begitu tajam, Taehyung hanya sempat mengetahui kalau ia sedang tidak mempercayai satu hal. Kemudian, sontak ia menajamkan matanya.

"Tiba-tiba sekali. Kau sakit, Jung?"

"Sialan, Kim Taehyung!"

Dengan keras Jungkook menimpuk kepalanya.

Jungkook selalu ingin mengatakan sesuatu yang mungkin tidak akan pernah ia sampaikan pada Taehyung—karena setiap detik, Jungkook tetap saja hanyut pada hasrat yang Taehyung konklusikan. Hingga pada akhirnya, Jungkook hanya akan terdiam seperti ini, terpaku sedemikian dalam pada setiap silabel yang menguar dari mulut Taehyung.

Suatu saat, Jungkook berjanji.

Kau menunjukkan padaku warna yang tidak bisa kulihat dengan siapapun, dan kau tahu bahwa
untukmu aku akan mengorbankan apapun dalam diriku.

"Kau harus tahu kalau aku juga benar-benar tidak ingin kehilanganmu."

Jungkook tidak merasa peduli pada apapun untuk saat ini. Pada apa yang orang tuanya ekspektasikan, pada suara bising orang yang meremehkan, apalagi pada detik yang merangkak begitu sialan.

"Aku tahu."

.

.

.

Vote and comment will be apreciated. Thanks🐰

Senandika | Thread of Ficlet | kth.jjkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang