Worst

40 6 13
                                    

Taekook Ficlet
Worst

cw // boyslove, harshword, toxic word, strong language, sad

Jiwanya patah, tapi sialnya ia masih memiliki keinginan hidup.

Jungkook tidak tahu, apakah ungkapan cintanya waktu itu berhasil membuatku memilikinya kendati pemikiran irasional mengenai orientasi seksual sialan yang selalu saja ia ragukan.

November, 2021.

Sickness yang dihadapi kebanyakan remaja muda sebelum usia 20 hanyalah urusan percintaan dan kehidupan keluarga yang ironis. Mengendalikan sisi dewasaku untuk lebih mengerti jika hal-hal sepele seperti ini bisa dengan mudah kuatasi, namun, dude, katakan itu pada seseorang yang tidak menandaskan gelas minumnya yang kelima.

Aku mabuk. Drunk, wine, night club, and shits.

Beberapa menit lalu, ponselku berdering. Notifikasi yang kubedakan, tidak-tidak, bukan kekasih, dia hanya, kau tahu, aku menyukainya, itu saja. Seseorang yang menyukaiku juga, haha untuk itu, aku tidak yakin. Jeon Jungkook, namanya.


"Hm?" Aku bergumam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Hm?" Aku bergumam. Lima detik setelah ia mengumpat, ia menghubungiku. Meneriakiku macam-macam. Aku tersenyum di antara rasa pahit alkohol yang masih tertinggal.

"Bar sebelah mana? Deket apart lo? Gue otw. Jangan kabur." Jungkook berkata mungkin dengan satu tarikan napas atau karena ia terlalu marah atau ia terlalu khawatir, namun yang pasti aku suka caranya memperlakukanku.

Jungkook datang. Demi Tuhan, aku tidak pernah melihat lelaki secantik itu. Rambut berantakan yang ia tutup dengan tudung hoodie juga kantung mata yang lebar karena, aku tahu, ia sama sepertiku. Tidak mudah tertidur, aku ingat kata-kata yang pernah ia jelaskan padaku. "Lo punya insomnia kronis sih kak, kata gue. Beneran gak tidur sampe tiga hari? Gue takut lo sakit kalo gini terus."

"Jung, lo dateng?" Aku menegapkan punggungku meskipun dalam keadaan separuh sober. Gaya hidup dengan toleransi alkohol yang rendah benar-benar menyebalkan.

“Menurut lo? Temen-temen lo mana?” Ia terduduk di kursi tinggi, berhadapan denganku yang kilauan matanya hampir mengabur. Apa-apa yang kulihat sekarang semuanya terpantul mengenai cahaya gelap lampu bar yang temaram. Mustahil, karena aku masihlah mampu melihat air mata Jungkook yang indah.

“Gak tau. Pulang kali,” jawabku dengan enteng.

Jungkook menggerutu. “Ck, nyusahin. Pulang ke rumah gue aja. Gue bawa mobil.” Tangannya sudah hampir menggapai lenganku sebelum yang kulakukan selanjutnya adalah menggenggam dengan erat pergelangannya. Ia terkejut dengan perlakuanku yang tiba-tiba.

“Gue juga gak nyuruh lo ke sini. Gue gak butuh lo di saat-saat gue kayak gini. Gue gak mau keliatan lemah di depan lo. Lo yang mau. Lo dateng sendiri. Lagian, gue bisa minta jemput temen gue kalo gue mau,” ujarku tepat di matanya.

Jungkook kembali terdiam, merasa kecil ketika aku bersikap sebegini intimidatif. “Hah? Bukan gitu, kak. Gue kesel aja, dikit. Gue khawatir lo hangover terus gak ada yang bantuin. Maaf, 'kay?”

“Hm.”


“Kak?”

Dari retakan-retakan dinding juga warna kuning dari bohlam halogen kamar mandinya, aku keluar setelah terperangkap 15 menit untuk mandi. Jungkook kembali dengan berusaha melingkupiku menggunakan handuknya. Pusingku menjadi lebih baik, pemuda itu pandai membuat sup rumput laut juga menyiapkan minuman hangat.

Katanya beberapa menit yang lalu, seperti ini, “Lo biasanya ngapain kak, kalo abis kayak gini. Mau gue siapin teh?”

“Gak. Tiduran aja sih kalo gue.”

Jungkook menaik-turunkan kepalanya gestur paham. “Yaudah, istirahat aja dulu. Kalo udah mendingan lo mandi, masih agak pusing?”

“Udah enggak.”

Pintu kamar mandi masih terbuka, handuk yang ia berikan sudah kuterima. Kemudian aku tersentak karena panggilannya yang kedua. “Ya?”

“Kalo lo mau, lo bisa nginep di sini. Udah jam 3 pagi. Masa mau pulang,” tukas Jungkook seraya berjalan ke arah tempat tidur dan mengambil ponselnya.

Kim Taehyung tidak pernah terlihat sebegini kikuk hanya karena ditawari untuk menginap. Cih, apa ada yang harus kulewatkan? Kabar baik.

“Gue di mana?”

Tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel ia menepuk ruang kosong di sampingnya kemudian menyahut, “Sinilah.”

Great.” Aku berbisik.

“Lo lagi kenapa, kak?” Aku tidak berniat melamunkan sesuatu selain karena Jungkook di depanku terlihat benar-benar menawan. “Apa yang bikin lo sampe mabuk kayak tadi?”

“Rumah. Percintaan.”

Aku melihatnya tertawa kemudian, tawa yang terdengar sesak di dadaku. Pernah sekali aku mendapati diriku sendiri menangis di tengah-tengah rasa bahagiaku karena berhasil mengenalnya. Impulsif, aku benar-benar.

“Ah, oke. Hal-hal pribadi lo ya? Gue gak ada hak buat tanya-tanya sebenernya. Tapi kalo lo mau cerita, cerita aja, kak,” ujar Jungkook setelah tawanya mereda.

“Lo berhak kok. Secara gak langsung lo yang bikin gue kayak gini.” Jungkook melebarkan bola matanya, terkejut. “Jung, gue suka sama lo.”

Obviously, me too. Kenapa?”

“Komitmen. Mau gak jadi pacar gue? Biar gue gak ngerasa sangsi tiap lo khawatirin, karena gue inget kita punya status.” Kim Taehyung tidak pernah semenyedihkan ini.

Aku melihatnya menghela napas. “Kita udah bicarain ini, kak. Gue gak bisa. Lo orang yang bebas, gak mungkin bisa tahan sama hubungan kayak gini.”

Fuck, Jungkook. Bilang aja lo masih denial. Lo gak bisa macarin cowok karena lo nganggep diri lo straight. Sedangkan, liat diri lo sendiri, berapa banyak cewek yang deketin lo tapi lo tetep aja balik sama gue. Freak!” Aku melantangkan kalimat-kalimat yang keluar dari mulutku.

“Lo maunya gimana? Gue harus gimana kalo emang gue masih denial. Bilang sama orang yang kerjaannya juga flirts to anyone.”

“Malem ini aja. Jadi milik gue, please. Berbohonglah pada diri lo sendiri kalo lo cinta sama gue, Kook.”

Aku meruntuhkan segalanya yang ada pada diriku termasuk ego yang selalu saja mengalahkanku untuk bersikap sebegini impulsif. Tidak untuk malam ini, detik di mana aku menyusuri kontur wajah Jungkook yang sempurna, berhenti untuk menatap tepat di matanya dan tirai-tirai jendela terbang mengambil peran di antara bulan dan malam untuk menyembunyikanku dan Jungkook dari dunia.

Berdua, di atas sini, menyanggupi ciuman yang kuminta, Jungkook tidak pernah terlihat begitu berusaha mengenyahkanku dari pikirannya dan untuk malam ini jiwanya patah, tapi sialnya ia masih memiliki keinginan hidup. Bersamaku sebagai satu-satunya bayangan.

fin.

Senandika | Thread of Ficlet | kth.jjkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang