Sea

92 35 123
                                    

This guy is so attractive, humble, and still try to keep move on with her crush😗. Actually, me too.

Thanks for your presence. Keep writing! Her story Twitterpatted is such a great.

——————————

Kim Taehyung | Jeon Jungkook | Another weird ficlet of mine | Rate T | with cutie Koo | 770 words

Ibu pernah bilang padaku kalau kita jangan pernah bermain ke pantai

Aku benar-benar lamat-lamat melihat halimun di atas kubangan nabastala sebentuk aliran air deras pada satu kolam yang mengikuti kemana kakiku menyeok pasir ke barat hilir

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku benar-benar lamat-lamat melihat halimun di atas kubangan nabastala sebentuk aliran air deras pada satu kolam yang mengikuti kemana kakiku menyeok pasir ke barat hilir. Lalu, angin menyibak pelan nyiur kelam di bawah udara antara rambut dan ujung daunnya.

Kilat kerlip dari milyaran pasir bumi pesisir pantai di telapak kakiku yang sekarang tidak lebih terlihat menakjubkan ketimbang apa-dan-kenapa air asin menggulung-gulung seperti himpunan odokolonye beserta pakaian-pakaian yang ditanggalkan. Ya, aku merasa. Aku—merasakannya.

Aku pernah memandangi orang-orang yang berujar mengenai papan yang mereka gunakan di sisi utara pantai. Memahami bukanlah satu-satunya jalan setelah kalimat yang kau baca disana adalah larangan mendekati pesisir. Tidak ada siapapun dari mereka yang berani merapalkan alegori yang seakan-akan bisa saja membawanya pada kematian.

Ya, area mematikan.

Ombaknya tenang, tidak pecah. Hanya menggulung saja, padahal di sisi lain ombaknya memecah besar. Tungkai-tungkai yang mengayun tertarik, lepas ke dalam gelombang pasang melewati arus air yang berjalan menyusuri pantai.

Angin sekali lagi menampar wajahku, tiba-tiba aku sadar. Aku berada dan tengah berjalan ke arah berlawanan bibir pantai. Aliran air yang memusat di bawah cekungan menyeretku, membawaku sampai garam-garam lautan menusuki lapisan epidermisku yang terbuka. Menenggelamkanku hingga diatas batas diafragma dan leherku tertutup air.

Aku sadar, warna jingga di dalam air berubah menjadi hitam-putih yang menyergapku, atau aku tidak lagi berada di dalam nyawaku sebab apa yang kutahu kemudian adalah detik dimana aku tidak lagi mengharapkan sesuatu selain bernapas.

Sayup-sayup gema suara terdengar meneriakiku, memanggilku pada kesadaran. "Jeon! Jungkook! Dengar, kembali, Jungkook! Akh, sial—"

Volume air meluap di sekitarku, kurasa kolam ini baru saja dimasuki seseorang.

Seperti mengulang kejadian saat kau hanya memakai ruas jemarimu untuk mengapit lubang hidung seseorang dan meniupkan udara ke bibirnya. Seperti helai rambut yang basah, bibir berwarna biru itu tampak lebih dingin dari kadar beku di sekujur tubuh.

Kemudian, aku tersedak yang sebelumnya aku merasa kalau tubuhku diangkat keluar dari air. Seseorang menepuk pipi dan menekan lebih dalam kedua telapak tangannya di dadaku.

"Apa dia baik-baik saja?" Suara yang selalu kudengar setiap kali aku lupa pernah membuatnya begitu khawatir.

Pria didepanku baru saja berdiri dari duduknya mendekati Ibuku dan berkata bahwa aku baik-baik saja.

"Hai," V melambaikan tangannya memperlihatkan tato berukiran papan selancar sepanjang beberapa senti di lengan kanannya. "Jungkook?"

Tidak, tidak Jungkook. Kau tidak perlu melihat bagaimana pesona V yang sepertinya berhasil membiusmu, ia hanya seorang pria yang sedang bertelanjang dada dan menatapmu. Tidakkah kau perlu mengamatinya lebih jauh? Oh, tentu tidak.

Aku menduduki pasir disampingnya. Kabut-kabut didepanku terlihat seperti benda-benda yang kukenali, walau kadang awan senja memang akan lebih terasa hangat dan sensual—atau tidak, ini aroma parfum, musk yang menyulitkan.

"Lihat apa?" Sedari tadi ditimpa kelinglungan, aku baru saja paham kalau kabut-kabut yang kusebut adalah bagian dari asap rokok milik V, juga apa aku boleh mengatakan kalau awan senja memang terasa lebih panas. Haha, atau ini hanya sebuah argumen-ku tentang V.

"Ah, tidak ada. Langitnya bagus, aku harus bermain selancar lain kali." Senyumku tidak pudar hanya kian lebar.

Rokok di genggaman dipadamkan, asap-asap kecil tumbuh di sekelilingku tapi ini tidak mengganggu mungkin karena aku juga seorang perokok ulung—ya, walau lidahku akan mati rasa jika menyesapnya lagi.

"Tidak takut?" V bertanya.

Aku memalingkan wajahku, menatapnya seperti halnya dia memandangku. Ada bahana layaknya letup-letupan percik kembang api tua di dadaku, rongga-rongga napasku menyempit seraya gelisah datang pada kedua mataku yang berkedip.

"Kupikir kau bisa saja menjadi private learning-ku atau untuk beberapa orang. Selancar terlihat menyenangkan." Aku menghela napasku ke lautan, ke langit yang makin menggelap.

V menggapai jari-jemari yang tergantung di sisi badanku, merematnya kecil serupa ruas-ruasnya hanyalah fraksi yang membutuhkan hangat tanpa peduli akan detak jantung kudus yang menggemakan pertanyaan.

Kemudian — dia tersenyum. Wajahnya ada disebalik langit yang menggelap, jelaga ada di dalam matanya pun bibir-bibir yang tidak hentinya berujar, "Bukan aku. Aku hanya melihatmu yang hampir tenggelam."

Kami berdiri, menunduk untuk rasa bersalah yang tidak juga menguap yang bahkan tidak mengerti mengapa kami melakukan ini. Aku dan V seperti berharap.

"Ibu pernah bilang padaku kalau kita jangan pernah bermain ke pantai," kata V.

"A-aku tidak ingat ada seseorang yang melepaskan bajunya kemudian berlari mendatangi ombak dan — aku mencium wangi parfum memelukku. Aku pikir—"

V memotong kalimatku, "Kau mau bermain selancar?"


Aku mengangguk dan V membawa lenganku jauh menuju pesisir dengan tanpa mencemaskan jika sebenarnya ombak dan air adalah dasar ketakutanku.

—Gue aneh, sastra gue— please don't judge me. I'm still learning.
Vote, comment akan sangat-teramat-begitu dihargai. Thanks for coming🐇

Senandika | Thread of Ficlet | kth.jjkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang