Prompt ke-20
—Mereka yang rusak seharusnya diperbaiki. Bukan malah dibuang.
Cast— Taekook
Contains— a lot of naration ; weird conversation ; flirty;
Aku hidup di sepanjang jalan ketika gelap, berteman sepuntung rokok yang memendek terkena angin. Deru motorku berisik, menyaingi suara-suara dari dalam kepalaku yang tidak kalah beringas. Earphone kabel lusuh, terpasang di kedua telingaku menggemakan suara The Weeknd. Atau ketika sayup lagu Get You terputar acak, suara Daniel Caesar semakin membuatku tidak ingin berhenti dan pulang.
Ruas-ruas retak yang diperlihatkan aspal, aku bahkan tidak cukup peduli meskipun aku harus melesatkan kecepatan di atas normal. Aku memiliki alasan untuk itu, tidak ada sesuatu yang dilakukan tanpa didasari tujuan. Menengok jam tanganku, menunjukkan pukul 9. Sial, aku terlambat.
“Jungkook!”
Kau pernah bilang kepadaku bahwa, yang rusak bukanlah kita namun keadaan yang terkadang memang tidak berpihak. Kita hanyalah dua dari anak manusia yang sedang diuji, jadi, biarkan saja angin-angin ini menerpa kita. Kita hanya perlu berdiri di sini menyambut apapun yang datang dan tidak ikut terbang. Benar begitu?
Aku memandang Jungkook dengan streetwear-nya yang panas. Ah, maksudku, ia selalu berpenampilan seperti ini. Keren, tidak neko-neko, jenis lelaki yang dapat dijatuhi hukuman sebab telah berani mengambil hatiku. Aih, apakah aku baru saja berniat menggodanya?
“Hai, V.”
Ya, aku Taehyung, tak jarang orang-orang lebih sering mengenalku dengan nama itu. Tidak buruk, ini hanya salah satu dari bentuk usahaku melupakan separuh diriku yang menyedihkan. Setidaknya ini berhasil menutupi kehidupan Taehyung yang miris. Haha.
“Dari mana yang kau mendapatkan rambut itu? Warnanya bagus sekali.” Ia bertanya tentang di mana aku menyelesaikan cat rambut hijau mint-ku.
Aku gugup. “Ah, Hoseok. Temanku mengerjakannya untukku. Sesuai permintaan. Kau juga bisa memintanya kapan-kapan, harga teman, hehe.” Ia mengangguk, mengiyakan pernyataan konyolku yang tidak jelas.
“Kau, ada yang mau kau ceritakan?”
“Em, tidak ada.” Aku menjawabnya tanpa ragu. Sambil menyesap espresso-ku yang kian menghangat.
Sneakers-ku menggema dengan ketukan abstrak sendirian. Ketukan di meja agar lebih memperjelas bahwa aku selalu gugup saat berhadapan dengan Jungkook dan itu membuatku terlihat bodoh. Aku benci terlihat menyedihkan.
“Lucu.”
“Ya?” Sialan, aku dalam hati.
“Setidaknya bergunalah menjadi teman obrolanku, Taehyung. Kau seharusnya lebih paham dengan hal seperti ini. Berapa banyak orang yang menyewa jasamu? Apa aku yang pertama?” Sial, kalimatnya sarkas sekali. Namun, aku tidak bisa menggunakan kalimat-kalimat defensifku yang lain, sebab demi apapun aku terpesona hanya karena ditatap olehnya.
“Aku kabur dari rumah,” jawabku.
“Kenapa?”
“Yeah, shits happen. Aku sudah pernah berkata padamu kalau, orang tuaku ... ” Aku menjeda kalimat yang menurutku tidak terlalu penting untuk diketahui ulang. Sebab akan bagaimanapun, aku akan muak seketika.
“Apakah jika aku jadi kau, aku akan kabur juga? Ketika Ibuku benar-benar mempertahankan keinginannya untuk menikah lagi?”
Aku pikir, Jungkook dan segala materinya akan terbiasa dengan kesepian. Tidak terlalu memusingkan pendapat-pendapat orang lain mengenai dirinya. Sepertiku yang terus saja bersikap seolah-olah aku adalah manusia paling menyedihkan. Namun, Jungkook-lah yang ternyata lebih kesepian.
“Aku pernah ingat, seseorang berkata padaku. Mereka yang rusak seharusnya diperbaiki. Bukan malah dibuang. Seharusnya, Ayahku waktu itu tidak perlu mengatakan petuah-petuah yang dianggapnya bijak dan mampu mengubah pemikiran anaknya yang kolot meski usianya masih belasan. Tidak perlu.” Aku berkata.
Setidaknya kehadiranku cukup berguna, selain menjadi pacar sewaannya, aku juga bisa menjadi pendengar yang baik. Eksistensi kita tidak seharusnya menjadi satu hal yang dapat menentang persepsi kebahagiaan. Toh, kita hanya berbicara dari mulut bukan berarti benar-benar membenci kehidupan dan mati.
Jungkook masih terdiam.
“Itu hanya akan membuatku semakin membencinya. Mau rokok?”
Jungkook mengambilnya dari kotak yang kusodorkan, mengamit batangnya dan mengarahkannya padaku berniat meminta api. Seketika, uap-uap yang ke luar teribaratkan seperti tumpukan pemikiran dan masalah-masalah yang perlahan melebur.
Aku selalu menyukai bagaimana lelaki itu menyesapnya perlahan. Getir yang ia rasakan, pastilah sama seperti apa yang saat ini kurasakan. Aku suka saat menyadari bahwa kita memiliki dunia yang sama-sama berantakan. Ketika satu-dua orang yang merasa superior menganggapku sebagai manusia-manusia tidak tahu terima kasih, Jungkook melebarkan pikirannya dan beradu nasib positif bersamaku.
“Kau benci ketika Ayahmu ternyata berselingkuh dengan Ibuku, benar?”
Aku menyilangkan kaki di atas kursiku, percakapan seperti ini tidak akan habis hanya dengan segelas kopi juga sekotak rokok. Akan memerlukan lebih banyak akal sehat, kewarasan, juga kenormalan kadar otak.
Aku dan Jungkook akan berbicara semalam suntuk, mempertahankan keadaan agar tetap sadar. Menumpang di antara warung kopi dan memesan lebih banyak kacang, bersama dinginnya malam dan perasaan kacau balau yang menguar.
Aku tersenyum.
—
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandika | Thread of Ficlet | kth.jjk
Fanfiction[25 Days Ficlet Challenge] senandika /se•nan•di•ka/ n wacana seorang tokoh dalam karya susastra dengan dirinya sendiri; percakapan (suara batin) Written in B A H A S A Taekook Ficlets | boyslove | bxb | all of genre ©2021