Part 2 - Tidak Karuan

15.4K 737 19
                                    

Happy Reading.









Bali, Indonesia.

Revan sangat fokus melihat grafik kesehatan pasien di laptopnya. Sampai suara ponsel terdengar, membuat Revan mengalihkan pandangan ke samping tangannya, di mana ponselnya berada. Melihat Papanya yang menghubungi, Revan langsung mengangkat panggilan itu.

"Hallo Son," ucap Gevan.

"Ya Pa, ada apa?" tanya Revan sambil bersandar di kursi.

"Kenapa kamu gak jadi ke Jepang?" tanya Gevan dengan suara yang berubah menjadi lebih serius.

"Revan nangani operasi dadakan, Pa," jawab Revan.

"Ck. Kamu ini bikin Papa kena masalah aja," ucap Gevan berdecak.

"Sorry, Pa. Pasien 'kan lebih penting," balas Revan berusaha tenang.

"Ya, kamu benar. Papa hanya memastikan aja, karena Auntie-mu itu tidak terima kamu tidak hadir di acaranya," ucap Gevan menghela napas.

"Nanti Revan akan hubungi Auntie Rima, Pa," balas Revan.

"Okay, kalau gitu sampai bertemu weekend nanti."

Revan hanya berdeham. Panggilan berakhir. Revan menghela napas pelan menatap ponselnya, bukan operasi yang membuatnya tidak pergi ke Jepang, tapi karena negara itu sudah berhasil membuat pikirannya tidak karuan.

3 minggu berlalu, setelah terakhir dari Jepang, pulang dengan membawa beban yang membuat Revan sangat pusing jika memikirkannya.

Hanya karena seorang gadis yang tidak sengaja dirinya tolong. Ralat! Gadis itu kini sudah tidak gadis, karena dirinya sudah menyentuh gadis itu.

Gila memang! Entah ke mana kewarasannya saat itu, berawal niat menolong, malah kejadian tidak terduga terjadi.

Selama 3 minggu, Revan terus mencari tahu siapa perempuan itu, namun kesialan menghampirinya, wajah perempuan itu tidak terlihat jelas di semua CCTV hotel, sehingga semakin sulit mencari perempuan itu.

Kejadian itu seperti mimpi buruk bagi Revan, di mana saat bangun, dirinya hanya seorang diri, seolah apa yang terjadi saat malam hanya mimpi, tapi noda darah di seprai dan kertas memo di nakas, menandakan semua itu nyata.

Itulah alasan Revan tidak pergi ke Jepang. Revan memilih menghindari negara itu, sampai dirinya berhasil menemukan perempuan itu.

Setelah kejadian itu, Revan semakin kehilangan akal, melampiaskan beban pikiran dengan bekerja gila-gilaan selama 3 minggu ini.

Hanya bekerja yang dapat Revan lakukan, agar semua beban pikirannya hilang, karena ketika dirinya sudah bekerja maka hanya akan fokus pada pasien yang ditangani.

Berprofesi sebagai dokter, membuat Revan harus selalu berkonsentrasi penuh, sehingga dapat melupakan sejenak kehidupan pribadinya.

Jika sebelumnya hidup Revan hanya hitam dan putih, sempat berwarna saat bersama Diandra, lalu kembali menjadi hitam dan putih setelah kehilangan Diandra, kini hidupnya malah menjadi abu-abu.

Sudah 2 tahun berlalu, tapi Revan belum juga menemukan pengganti Diandra, perasaan cintanya untuk Diandra memang sudah tidak ada, atau mungkin Revan hanya berusaha menutupi itu, tapi rasa sayangnya untuk Diandra masih ada, dan akan selalu ada.

Itulah yang membuat Revan sulit mendapatkan pasangan, karena selama 2 tahun ini dirinya sudah terlalu malas memulai hubungan, karena takut kecewa lagi.

Kini dalam pikiran Revan, dirinya harus segera menemukan perempuan itu, untuk memastikan satu hal, berharap hal yang dikhawatirkan tidak terjadi.

***

Tokyo, Jepang.

Di ruangan kantor, Rania duduk di hadapan Ocha dan Benji sambil memijat pelipisnya.

"Kenapa harus gue?" tanya Rania menatap Benji.

"Cuma lu yang gue percaya, kita berhadapan bukan sama orang biasa. Gue yakin, pasti lawan kita punya banyak pengacara supaya bisa mengalahkan istrinya," jawab Benji.

"Terus lu mau gue tangani ini sendirian?" tanya Rania kembali memijat pelipisnya, kepalanya sungguh pusing memikirkan pekerjaannya kali ini.

"Kerjaan gue lagi banyak banget, tapi gue akan usahakan ikut, kalaupun nanti lu berangkat sendiri, gue akan tetap bantu lu dari sini, di sana udah ada team yang akan bantu lu, mereka semua gak perlu diragukan lagi kemampuannya, cuma tetap butuh satu orang untuk memimpin, dan gue percaya lu bisa memimpin mereka," jawab Benji serius.

"Ocha aja deh ikut gue. Sumpah! Gue bukan gak berani tangani ini sendiri, tapi dua bulan di sana sendirian, bisa-bisa gue kaya anak hilang. Walaupun darah negara itu ngalir di tubuh gue, tapi gue belum pernah ke sana, dan lu tau itu, Ben," ucap Rania.

"Rania, please. Sekarang gue belum bisa nentuin lu akan berangkat sama siapa ke sana, tapi gue usahain lu gak sendiri, dan Ocha gak bisa ikut ke sana, karena dia yang akan pegang semua kerjaan lu di sini, cuma kalian yang gue percaya," balas Benji.

"Ok fine, gue setuju, tapi setelah kerjaan ini selesai, gue mau cuti satu bulan," putus Rania bangun dari duduknya.

"Gak bisa gitu dong, Ran. Lu mau bunuh gue?" tanya Ocha tidak terima, ikut bangun dari duduknya.

"Setelah lu berhasil menangin kasus ini, jangankan cuti, gue akan kasih lu liburan ke Paris." Benji berucap saat sudah berdiri di antara Rania dan Ocha.

"What? Are you kidding me?" tanya Ocha menggelengkan kepalanya tidak percaya, sementara Rania memekik senang.

"Lu sama gue ikut," jawab Benji santai, membuat Ocha langsung memekik senang, kali ini Rania yang menggeleng tidak percaya.

"Oh God, kapan gue bisa liburan sendiri?" Rania mendongakkan kepalanya.

"Seperti yang tadi lu bilang, kalau lu sendirian nanti kaya anak hilang," ucap Benji tersenyum senang.

"Terserah kalian. Gue pusing."

Setelah mengucapkan itu, Rania keluar dari ruangan Benji. Ocha dan Benji langsung keluar mengejar Rania. Keakraban mereka sudah biasa dilihat karyawan yang lain, jadi sudah tidak aneh melihat satu pria di antara dua perempuan cantik.

Marriage Happiness [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang