Aku menatap sekeliling apartemenku dengan tatapan sendu. Aku tinggal di sini bukan untuk satu-dua hari. Dan sudah pasti, apartemenku ini menyimpan banyak kenangan.
Aku merasa kesulitan untuk melepaskan apartemenku ini ke tangan orang lain, owner-nya suatu saat nanti. Tapi, apa daya?
Keadaan ekonomiku yang sedang sulit saat ini membuatku terpaksa merelakannya.
"Dek, ini ada surat."
Panggilan dari Abangku, Gabriel, membuat suasana mellow-ku hancur begitu saja. Aku mendengus kasar.
"Surat apaan?"
"Mm, surat... Tadi abang nemu di samping vas bunga itu, sih. Kayaknya belum dibaca. Jadi abang juga gatau itu surat apaan."
Karena penasaran, aku segera merampas amplop berwarna cokelat itu dari tangannya. Kubuka surat itu dana kubaca cepat isinya.
Dan ternyata, itu surat pemberitahuan habis masa sewa.
Kukira pegawai apartemen di depan tadi itu bohong.
"Mm, Dek."
"Apaa?" jawabku lemas.
"Ini koper-koper mau disimpen di mana? Kan mobil lu penuh?"
Aku mendengus kasar.
"Simpen aja dulu sini. Kita pindahin koper-koper yang ada di mobil aja dulu ke..."
Ucapanku terhenti saat aku menyadari bahwa kami sama sekali tak memiliki tujuan. Kami ... homeless.
Seketika, badanku lemas dan terjatuh dengan sendirinya di atas sofa. Pikiranku kosong. Aku tak lagi memiliki gairah untuk hidup.
Gabriel mencoba menyadarkanku. Beberapa kali, ia menepuk bahuku pelan. Mencoba menguatkanku.
Lamat-lamat, kudengar suara tangis Mami dari tempatku duduk. Kulirikkan pandanganku ke arahnya yang tengah sibuk ditenangkan oleh Papi di pojok ruangan.
Kucoba menguatkan diri sendiri. Saat ini, mereka membutuhkanku juga Gabriel. Aku harus kuat, seperti abangku. Karena akan sulit nantinya, jika hanya Gabriel seorang yang berusaha tetap kuat. Aku harus membantunya juga.
Tapi nahas, tak lama kemudian, Mami terjatuh dalam dekapan Papi.
Kami bertiga terkejut melihat kondisi Mami yang tiba-tiba saja tumbang. Dengan secepat kilat, aku menyuruh Gabriel untuk membawanya menuju basement. Kita harus membawa Mami ke rumah sakit secepatnya.
***
Mami segera mendapat tindakan medis begitu kami sampai di rumah sakit. Papi tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Ia pasti merasa bersalah atas apa yang terjadi pada Mami, padaku, pada Gabriel, pada keluarganya.
Gabriel nampak sibuk. Ia mencoba menghibur Papi juga mencoba menguatkanku. Kuberikan ia senyuman tipis agar rasa khawatirnya padaku dapat menghilang. "Gue gapapa kok, Bang. Gue kuat. Gue bisa lewatin ini semua."
Gabriel menyunggingkan senyum bangga padaku. Kedua matanya terlihat berkaca-kaca. Aku tahu, ini juga sulit baginya. Tapi aku ingin, ia membagi bebannya sedikit padaku. Sebagai keluarga, aku ingin meringankan bebannya walau hanya sedikit.
Suster terlihat keluar dari ruangan gawat darurat. Kami dengan seketika menghampirinya, mencoba menanyakan keadaan Mami di dalam.
"Pasien sedang berada dalam perawatan dokter, sejauh ini kondisinya stabil. Kami akan memberikan yang terbaik bagi pasien. Sambil menunggu, pihak keluarga diharapkan untuk membayar biaya administrasinya terlebih dahulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pretty Little Liars | ✔
Romance[ Seri kedua dari Marriage In Rush ] Sebagai pencetus taruhan semasa SMA, Laura Sanchez--sang gadis kaya raya dari keturunan konglomerat Sanchez yang terkenal itu--tentunya tidak boleh kalah. Ia harus menikah tahun ini. Ia tidak boleh kalah dari Agn...