Seperti yang telah Papi bilang, mereka kembali ke kediaman Sanchez yang megah itu. Semalam Laura terlalu malas untuk membereskan barang-barangnya, jadi ia memberikan kuasa penuh pada para maid-nya untuk berbenah.
Di depan rumah kontrakan yang kecil itu berjajar dua mobil mewah berwarna hitam metalik milik Abang juga Papinya. Tetangga-tetangga sekitar terlihat menengok diam-diam ke arah mereka sembari menerka-nerka di dalam hati. Tipikal tetangga rumpi yang terlalu mengurusi hidup orang lain. Laura tidak peduli itu. Ia hanya berdiri tegak di depan rumah sambil memperhatikan beberapa maid yang tengah sibuk membawa koper-koper milik mereka dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil satu per satu.
Laura mendesah berat. Gabriel yang sedari tadi mengamati sang adik, berjalan menghampiri.
"Jadi, kita kembali ke kehidupan normal?" tanya Laura begitu Gabriel telah berdiri di sampingnya. Abangnya itu terkekeh pelan. "Kehidupan normal mana yang lo maksud? Lo gak suka tinggal di sini?"
Laura bungkam. Sebenarnya, bukannya ia tak suka tinggal di sini. Hanya saja... Ia merasa tak nyaman tinggal di dalamnya.
"Di sini panas. Gak bisa Netflix and chill juga," jawab Laura sekenanya. Gabriel membalas protesan itu dalam satu kalimat. "Tapi lo bisa lebih produktif di sini."
Itu benar. Ia jadi banyak bekerja berat setelah pindah ke rumah kecil ini. Yah meskipun terjepit oleh keadaan, tapi Laura tidak akan mendebatkan hal itu. Jadi, ia membahas hal lain. "Apartemen gue, gimana?"
"Setelah berbulan-bulan tinggal bareng kita lagi, lo masih pengen tinggal sendirian di apartemen lo itu?"
Laura tak menjawab. Ia hanya merasa lebih bebas tinggal sendiri di tempat yang berbeda dengan keluarganya. Setidaknya, sebelum mereka kembali tinggal bersama selama empat bulanan ini.
"Sebenernya, apa yang bikin lo betah tinggal sendirian di apartemen? Lo gak tau apa Mami khawatir liat anak cewek satu-satunya tinggalnya misah padahal masih di satu kota?"
Gabriel melihat kekeraskepalaan adiknya itu dengan sorot mata yang tak terbaca. Ia merasa kecewa dengan keputusan Laura untuk kembali tinggal secara terpisah. "Seenggaknya tinggal di rumah utama sampai akhir tahun nanti," bujuknya kemudian.
Laura terlihat tak tergerak. Bukan tanpa alasan ia tinggal di apartemen sendiri. Tujuan Laura pindah hanya satu. Ia takut Mamanya khawatir melihat gaya hidupnya yang cenderung terlalu bebas. Keluar masuk nightclub dengan gandengan yang berbeda-beda tiap malamnya. Ibu mana yang tidak khawatir melihat lifestyle anak perempuannya yang tidak sehat itu?
Meski begitu, lama-kelamaan ia jadi betah tinggal sendiri. Laura yang berjiwa bebas sangat senang tinggal jauh dari kedua orang tuanya.
Namun Gabriel tak menyerah sampai di sana. Ia terus membujuk adiknya hingga Laura jengah sendiri. Dan sebagai jurus pamungkas, Gabriel mengajukan satu penawaran yang tak mampu Laura abaikan. "Abang gak akan ganggu hubungan kamu sama James."
Laura mengalihkan pandangannya hingga saat ini keduanya saling bertatapan. Gabriel membalas tatapan mata Laura dengan sungguh-sungguh seakan tengah memberinya sebuah janji yang pasti. "Hanya tinggal sampai akhir tahun nanti dan Abang gak akan pernah menghalangi hubungan kalian."
"Abang ... ngasih kita restu?"
Gabriel menggelengkan kepala. "Abang gak pernah ngomong apa-apa soal restu. Tolong bedakan antara memberi restu dengan tidak akan mengganggu."
Laura berdecih dan memutar kedua bola matanya.
"Tapi, Abang serius sama omongan Abang barusan." Mendengar ucapan Gabriel yang terdengar sungguh-sungguh itu kembali membuat Laura menatap Gabriel lekat-lekat. "Abang gabisa jamin hubungan kalian akan mulus melihat Papanya James yang, yah tau sendiri, lah! Tapi seenggaknya, kamu berhasil menyingkirkan 'pengganggu' lain dalam hubungan kalian."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pretty Little Liars | ✔
Roman d'amour[ Seri kedua dari Marriage In Rush ] Sebagai pencetus taruhan semasa SMA, Laura Sanchez--sang gadis kaya raya dari keturunan konglomerat Sanchez yang terkenal itu--tentunya tidak boleh kalah. Ia harus menikah tahun ini. Ia tidak boleh kalah dari Agn...