Laura memutuskan untuk kembali ke kontrakannya sebelum terlalu larut. Meninggalkan Tante Kamila yang memilih menginap di unit putranya untuk semalam.
Dari dalam mobilnya, ia menatap rumah kontrakan yang telah ia tempati selama kurang lebih empat bulan ini. Itu berarti, hanya tersisa lima bulan baginya untuk bisa memenangkan taruhan.
Jujur saja, Laura merasa sedikit pesimis pada awalnya. Ia menyadari pergerakannya yang dirasa lambat. Namun, kedatangan Tante Kamila hari ini mau tak mau meningkatkan lagi rasa percaya dirinya. Laura kembali optimis. Ia yakin, dengan bantuan--tidak, kesalahpahaman lebih tepatnya--Tante Kamila, James bisa menjadi suaminya. Tinggal sedikit lagi dan James akan berada dalam genggamannya.
Laura membuka pintu mobil dan melangkah memasuki kontrakan. Dilihatnya Gabriel yang tengah berada di ruang tengah bersama laptopnya. Ia nampak serius. Seolah tengah memegang hidup dan matinya seseorang. Dengan jahil, Laura mencoba mengejutkannya dari arah belakang.
Gabriel berjengit sebelum memukul pundak Laura sebagai balasan. "Astagfirullah!" serunya refleks. Laura terkikik pelan sambil mendudukkan diri di samping kakak semata wayangnya itu.
Padahal mereka bukan bagian dari umat yang mengerjakan ibadah lima kali sehari, tapi kakaknya yang satu itu selalu menyebut satu kata itu disaat terkejut. Dasar aneh!
"Ngerjain apaan, sih? Sibuk banget keliatannya!"
Gabriel menjawab seraya menutup layar laptopnya. "Biasa. Laporan. Yah, namanya juga mulai dari awal lagi. Kerjaan numpuk. Mana dikejar deadline, sibuk. Yang ada elo tuh. Gak keliatan sibuk sama sekali. Kerja gak, sih?"
Meski tahu Gabriel hanya menggodanya, tapi dalam hati Laura merasa gugup. Ia tidak menyangka abangnya akan memperhatikannya seperti ini.
"Ya gue juga sibuk, lah! Masa enggak?! Tapi yang namanya kerjaan itu kerjainnya di kantor. Bukan di rumah," alibi Laura sambil memasang mimik wajah yang meyakinkan. Laura bersyukur Gabriel tak lagi banyak bertanya setelahnya.
"Keadaan Mami ... gimana?" tanya Laura lagi. Gabriel menjawab pertanyaan itu sambil mengelus kepalanya pelan.
"Keadaan Mami udah jauh lebih baik setelah beberapa kali kontrol ke dokter. Lo gak perlu khawatir."
"Mana bisa gak khawatir?!" gerutu Laura pelan. Gabriel terkekeh. Namun tak lama, pandangannya meredup. Ia menatap Laura lekat-lekat.
"Kalau kerjaan lo di perusahaan Williams itu dirasa berat, lo bisa bilang ke Abang, ya? Elo gak perlu bertahan di sana untuk waktu yang lama. Jangan cemas soal biaya hidup. Pendapatan Abang sekarang bisa dibilang cukup untuk biaya berobat Mami dan kebutuhan sehari-hari."
Laura merasa tersentuh mendengarnya. Ia tahu, meski Gabriel tidak pernah menunjukkannya secara jelas, tapi abangnya itu akan selalu merasa khawatir padanya.
Merespon kata-kata dari abangnya itu, Laura tersenyum menenangkan. "I'm alright. Ga ada yang perlu dikhawatirin."
"Elo gak lagi bohongin gue, 'kan?"
Dengan sigap, Laura menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Mencoba menghindari rasa curiga Gabriel.
Tapi Laura salah perhitungan. Bukannya merasa lega, Abangnya malah merasa ada yang tidak beres dari adik kecilnya itu. Namun ia tak banyak bicara. Untuk saat ini, Gabriel memilih diam dan mempercayai adiknya.
"Ya, udah. Sana mandi! Jangan tidur kemaleman."
Laura tersenyum lebar sambil memeluk abangnya sekilas. Setelahnya, ia berjalan menjauh menuju kamarnya.
***
Bukannya tidur, sehabis mandi, Laura malah asyik membuka sosial medianya. Dan kemudian gerakannya terhenti di salah satu postingan akun majalah nasional.
![](https://img.wattpad.com/cover/231492307-288-k504037.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Pretty Little Liars | ✔
Romansa[ Seri kedua dari Marriage In Rush ] Sebagai pencetus taruhan semasa SMA, Laura Sanchez--sang gadis kaya raya dari keturunan konglomerat Sanchez yang terkenal itu--tentunya tidak boleh kalah. Ia harus menikah tahun ini. Ia tidak boleh kalah dari Agn...