Aku menatap deretan gaun keluaran terbaru dengan penuh pertimbangan. Semuanya bagus, tapi melihat shopping bag-ku yang sudah menggunung, mau tidak mau aku harus memilih atau mereka semua tidak bisa masuk ke dalam mobil.
Cukup lama aku berpikir, aku lantas menjatuhkan pilihanku pada salah satu gaun malam berwarna merah gelap dengan taburan manik-manik di beberapa sisinya.
Salah seorang penjaga toko ikut membantuku membawa gaun itu menuju kasir. Sebelum kasir itu menyebutkan harga, aku telah lebih dulu mengeluarkan kartu kreditku. Ia menerima kartu itu dengan sopan sebelum mulai menggeseknya.
"Mm, maaf." Kasir itu kemudian membuka suaranya. Aku menaikkan sebelah alis. Dari suaranya yang bergetar, aku tahu bahwa ada suatu hal yang tak beres. Dengan mimik wajah yang takut-takut, kasir itu kembali mengeluarkan suara. "Kartunya ... Mm, apa Anda punya kartu lain?"
Aku semakin tak mengerti maksud si kasir itu. Ia kembali melanjutkan ucapannya. "Maaf, sebelumnya. Tapi akses kartunya ditolak. Apa Anda punya kartu lain?"
"Masa, sih? Gak mungkin!" balasku tak terima. Tanpa kusadari, suaraku naik beberapa oktaf.
Kasir itu hanya diam, tak berani menjawab. Aku berdecak kesal. Sambil menahan amarah bulat-bulat, aku kembali berbicara. "Panggil manajer kamu."
"Ta-tapi..."
"Panggil."
Dan kasir itu pun mengangguk singkat sebelum berbalik untuk memanggil manajernya.
Manajernya datang tak lama kemudian. Aku menjelaskan masalah yang terjadi dan manajer itu pun meminta izin untuk mencoba kartunya sekali lagi. Dengan senang hati, aku mengizinkannya.
"Mm, maaf." Sang manajer kembali membuka suaranya setelah mencoba menggesek kartuku.
"Gimana? Bisa, 'kan? Besok-besok, tolong lebih diperhatikan lagi pegawainya terutama di bagian kasir. Pastikan mereka bisa pakai kartu untuk menangani payment method customer lewat kredit."
Sang manajer tak langsung membalas. Ia membungkukkan badannya sopan sebelum mengangsurkan kartuku kembali. "Mohon maaf sebelumnya, tapi akses kartu itu benar-benar ditolak. Apa Anda punya kartu lain?"
"Apa?!" seruku tak percaya. "Gak mungkin aksesnya ditolak! Coba lagi!"
Manajer itu menurut. Aku memperhatikannya dengan saksama. Dan benar saja, akses kartu itu benar-benar ditolak. "Gak mungkin. Ini pasti ada kesalahan! Kartu saya baik-baik aja sebelumnya."
Dua orang di hadapanku itu tak berani menjawab. Segera saja kuambil ponselku untuk laporan pada Papi. Namun, panggilanku itu tak kunjung dijawab.
Aku pun memilih untuk menyerahkan kartu lain. Sang kasir menerima kartu dari tanganku sebelum mulai menggeseknya. Namun tak lama, ia kembali menggeleng pelan.
Paham dengan maksudnya, aku kembali mengeluarkan kartu yang lainnya lagi, lagi, lagi dan lagi. Namun kartu-kartu itu menghasilkan hal yang sama. Seluruh aksesnya ditolak.
Di tengah kepanikanku, panggilan suara pada ponsel yang kugantungkan di telinga kananku pun mulai merespons. Suara Papi yang terdengar serak mulai terdengar. Aku mengabaikannya dan segera mendesak Papi, meminta penjelasan secepatnya.
"Papi! Semua akses kartu kreditku ditolak! Papi blokir kredit aku? Semuanya? Kenapa, Pi?"
Papi tak segera menjawab. Ia terdengar batuk sebentar sebelum menanggapi protesanku.
"Laura, Sayang," panggilnya pelan. Terdengar begitu menyedihkan sekali. Aku tak menyahut panggilannya.
"Papi..." suara Papi terdengar semakin memelan dan terdengar ragu-ragu. Aku menunggu Papi selesai bicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pretty Little Liars | ✔
Romance[ Seri kedua dari Marriage In Rush ] Sebagai pencetus taruhan semasa SMA, Laura Sanchez--sang gadis kaya raya dari keturunan konglomerat Sanchez yang terkenal itu--tentunya tidak boleh kalah. Ia harus menikah tahun ini. Ia tidak boleh kalah dari Agn...