[ Seri kedua dari Marriage In Rush ]
Sebagai pencetus taruhan semasa SMA, Laura Sanchez--sang gadis kaya raya dari keturunan konglomerat Sanchez yang terkenal itu--tentunya tidak boleh kalah. Ia harus menikah tahun ini. Ia tidak boleh kalah dari Agn...
Setelah Agni mengetikkan satu pesan itu, grup kembali heboh. Mereka menanyakan banyak hal. Semuanya tentang Agni. Seperti, apa yang terjadi? Mengapa sudah jarang terlihat online lagi? Dan terakhir, menanyakan hubungannya dengan si Bas-Bas itu.
Agni membalas pertanyaan mereka satu per satu. Kali ini, ia tidak mencoba menutupi kisahnya.
Agni: Gue sama Baskara, we're broke up few days ago. Inget ga waktu gue bilang kalau gue ragu?
Agni: Ternyata bener. Ragu itu bisa jadi pertanda. Dari keraguan gue, akhirnya gue bisa melihat kebusukan dia.
Agni:Dia bohongin gue. Ngaku unmarried man, tapi ternyata udah punya anak satu. Masih bayi. Baru nikah tahun lalu.
Agni: Lihat? Padahal dia udah ngelamar gue. Udah kasih gue cincin. Gue pikir, cincin itu sebagai pengikat. Tapi ternyata gue salah. Cincin itu, di mata dia, cuma jadi aksesoris yang bisa dia kasih secara cuma-cuma ke banyak perempuan.
Agni: Yang lebih gak habis pikir, i'm not the only one. Dia selingkuh sama beberapa cewek juga.
Agni: Gue gak bisa bayangin gimana perasaan istrinya. Pasti jauh lebih sakit dari yang gue rasa.
Laura menggeram kesal membaca rentetan pesan dari Agni itu. Benar-benarbajingan!
Kalau saja Laura masih punya kekuasaan, ia tidak segan-segan untuk menyewa orang agar bisa menghukum bajingan tengik itu. Jelas, setelah itu hidupnya akan sengsara. Bahkan mungkin, akan ia buat si Baskara itu tidak lagi punya keinginan untuk hidup!
Sayang sekali. Nasib Baskara terlalu bagus.
Saat ini Sanchez tidak ada apa-apanya lagi. Jangankan untuk menyewa orang, untuk hidup nyaman di rumah gedongan pun sudah tidak bisa lagi ia rasakan.
Anneth: I'm feel bad for u, mate. Keep stronger, honey.
Tintan: Yups! Jadiin ini pembelajaran. Besok-besok, lo harus lebih picky lagi soal cowok.
Ferli: Terus, apa rencana lo selanjutnya?
Maura: Lo ... masih mau lanjutin taruhannya? Untuk putaran kali ini?
Laura tak ikut menimbrung. Ia memilih untuk menunggu jawaban dari Agni. Laura berada di posisi yang tidak mengenakkan.
Di satu sisi, ia merasa buruk untuk Agni. Tapi di sisi lain, peluangnya untuk menang jadi semakin besar.
Agni: Nope. I declare defeat.
Agni: Gue mau gabung acara pelayanan sosial di gereja mulai minggu depan. Mau ikut bantu-bantu di panti asuhannya.
Anneth: Serius? Lo gak mau coba cari yang lain?
Laura mendesah berat. Si Anneth ini. Kenapa tidak bisa mengerti perasaan temannya sendiri, sih? Laura yakin, Agni pasti masih sakit hati. Jadi, mana mungkin ia bisa membuka hatinya lagi untuk lelaki lain disaat ia sendiri tengah patah hati? Setidaknya, untuk saat ini Agni hanya perlu sedikit waktu untuk memulai kembali.
Agni: Nggak dulu, deh! Next round kita coba lagi. Untuk sekarang, gue mau rehat dulu.
Dalam keadaan yang tidak mengenakkan, Laura membanting ponselnya ke atas kasur sebelum merebahkan diri. Pandangannya tertuju pada langit-langit kamar yang berwarna kusam, nampak tak bergairah.
Ia tidak tahu, ambisinya dalam taruhan ini bisa menyakiti temannya. Ia pikir, dengan taruhan ini, mereka bisa meraih kebahagiaannya masing-masing.
Seketika, Laura merasa bersalah. Ia sadar, mungkin dirinya memang terlalu berambisi. Seharusnya, Laura tidak menumbalkan teman-temannya hanya untuk ambisinya seorang.
Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Mereka tidak bisa mundur begitu saja. Laura juga tidak bisa berhenti melangkah. Ia harus tetap berjalan maju.
Baru saja terlarut dalam lamunan, ponselnya berdering. Ada panggilan masuk. Laura mengambil telepon genggamnya dan mengangkat panggilan itu tanpa melihat caller id-nya terlebih dulu.
"Halo?" sapanya malas-malasan.
"Berkas-berkasuntukGalma Company segeradipersiapkan, ya. Ah, dan berkasuntukAnugrahjuga. Jangansampaiketuker! Sebelumitukitaadainrapat internal dulusamabagian marketing. Ga akan lama. Sayacumamau tau progresmerekaaja. Jadwalkitauntukbesokcukuppadat. Tolongpersiapkansebaikmungkin. Dan jangantelatngantor!"
Dari celotehannya saja Laura sudah tahu kalau yang menelponnya itu James. Dengan sigap, Laura bangkit dari rebahannya. Ia menggarukkan leher bagian belakangnya yang tidak gatal. Apakatanyatadi?
"Halo? Kamudengarsaya, 'kan?" ucapnya lagi. Laura menutup kedua mata, mencoba menenangkan diri.
"Maaf, tapi apa boleh diulang kembali?" pinta Laura dengan sopan.
Di ujung sana, James mendengus pelan. "Gak ada siaranulang. Sayaharap, kamubisabekerjasama."
Dan sambungan pun terputus.
"Sialan!" umpat Laura tak mampu lagi menahan kekesalannya.
Jadi, setelah sok-sokan menolaknya sebagai sekretaris, kini ia mulai diperalat?
Tidak. Kata diperalat terlalu kasar. Namun Laura tak mampu mencari kosakata lain yang mendekati ungkapan itu.
"Terserahlah! Lo pikir, gue inget apa yang lo bilang barusan? Enggak! Berkas-berkas apa tadi dia bilang? Peduli setan! Kantor, kantor dia! Kalau salah juga, perusahaan dia yang rugi!"
Dan kemudian, Laura sibuk berkomat-kamit. Semuanya kata-kata umpatan yang khusus dikirimkan olehnya untuk sang atasan. Seakan ia lupa akan tujuan awalnya mendekati James.
Namun segala umpatan itu terhenti tatkala ponselnya kembali berdenting. Laura melihat ponselnya tanpa minat sebelum membuka pesan yang ternyata datang dari James itu. Melihatnya, ia tersenyum miring.
Tidak disangka. James ternyata masih punya hati dan akal sehat. Terbukti dengan pesan masuk yang baru saja ia terima. Pesan yang berisi list tugasnya untuk besok, yang tadi belum sempat terserap oleh otak cantiknya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.